Tag Archives: Mongol Stres

Review: Lamaran (2015)

lamaran-posterJika judul sebuah film dapat diibaratkan sebagai sebuah kata pembuka yang mampu memberikan penonton perkenalan mengenai jalan cerita film yang akan mereka saksikan, maka Lamaran jelas bukanlah sebuah judul yang tepat bagi film terbaru arahan Monty Tiwa (Operation Wedding, 2013) ini. Kembali menggarap naskah cerita yang ditangani oleh Cassandra Massardi (Aku, Kau & KUA, 2014), Lamaran memang berkisah tentang kerumitan hubungan asmara antara seorang gadis berdarah Batak dengan seorang pemuda berdarah Sunda akibat tekanan adat yang datang dari kedua keluarga mereka. Namun, kisah romansa tersebut hanyalah satu dari sekian banyak konflik yang dihadirkan dalam film berdurasi 105 menit ini dan sama sekali tidak pernah benar-benar menjadi fokus penceritaan utama film. Hal inilah yang seringkali membuat Lamaran gagal untuk tampil solid dalam mengisahkan penceritaan seluruhnya.

Jalan cerita Lamaran sendiri dimulai ketika seorang pengacara wanita ambisius bernama Tiar Sarigar (Acha Septriasa) dengan berani mengambil langkah untuk menangani sebuah kasus korupsi yang membuatnya berhadapan dengan seorang pimpinan kelompok mafia bernama Arif Rupawan (Dwi Sasono). Untuk melindungi Tiar dari ancaman yang dapat membahayakan hidupnya selama menangani kasus tersebut, dua agen rahasia, Ari (Arie Kriting) dan Sacha (Sacha Stevenson), akhirnya ditugaskan untuk mengawal keberadaannya. Ari dan Sacha kemudian merekrut resepsionis kantor Tiar yang polos, Aan (Reza Nangin), untuk berpura-pura sebagai kekasih Tiar agar dapat terus berada di samping gadis berdarah Batak tersebut. Sialnya, keberadaan Aan yang berdarah Sunda mendapat tentangan dari keluarga Tiar yang lebih memilih agar Tiar mendapatkan suami yang juga memiliki latar belakang adat yang sama dengan dirinya. Keributan antar keluarga tentang hubungan asmara Tiar dengan Aan jelas tidak dapat dihindari.

Lamaran bukannya hadir tanpa momen-momen romansa maupun komedi yang mampu menghibur penontonnya. Beberapa bagian film ini akan sukses mengundang tawa, khususnya yang berasal dari karakter Bu Sarigar yang diperankan oleh Mak Gondut atau dari interaksi antara karakter Arie dan Sacha, serta beberapa momen romansa yang muncul dari hubungan karakter Aan dan Tiar. Sayangnya, Lamaran terlalu banyak mencoba untuk menghadirkan begitu banyak konflik dalam jalan ceritanya. Mulai dari konflik latar belakang adat antara keluarga karakter Tiar dan Aan, perkembangan hubungan antara Tiar dan Aan hingga kasus korupsi yang sedang ditangani karakter Tiar. Akibatnya, tak satupun diantara konflik tersebut yang mampu berkembang dengan penuh dan akhirnya terasa muncul sebagai potongan-potongan kisah yang tersaji secara setengah matang.

Banyaknya konflik yang hadir juga menyisakan ruang yang minim bagi banyak karakter yang hadir dalam jalan cerita film ini untuk mendapatkan pengembangan kisahnya. Yang paling miris jelas terlihat pada karakter Aan yang seringkali hanya ditampilkan sebagai karakter yang tidak melakukan tindakan apapun – meskipun sosoknya adalah salah satu sosok karakter utama. Untungnya Reza Nangin memiliki daya tarik tersendiri yang mampu membuat karakternya tetap tampil menarik. Chemistry yang ia jalin bersama Acha Septriasa jelas bukanlah salah satu on-screen chemistry terkuat yang pernah tampil dalam sebuah film Indonesia. Meskipun begitu, hubungan antara karakter Aan dan Tiar tetap mampu ditampilkan secara manis, khususnya di paruh akhir penceritaan film.

Acha Septriasa sendiri tampil tidak mengecewakan – terlepas dari aksen Batak-nya yang lebih sering berkesan stereotypical daripada meyakinkan sebagai seorang wanita berdarah Batak. Para pemeran pendukung dalam Lamaran cukup mampu mencuri perhatian, seperti Mak Gondut, duo Arie Kriting dan Sacha Stevenson ataupun Dwi Sasono dan Mongol Stres meskipun keduanya hadir tanpa plot penceritaan dan karakter yang begitu jelas. Lamaran, secara keseluruhan, bukanlah presentasi yang benar-benar buruk. Film ini hanya melantur terlalu banyak dengan menyajikan terlalu banyak konflik yang gagal untuk dikembangkan dengan baik dalam penceritaannya sehingga gagal untuk benar-benar mampu menampilkan sebuah jalan cerita yang solid. [C-]

Lamaran (2015)

Directed by Monty Tiwa Produced by Gope T. Samtani Written by Cassandra Massardi Starring     Reza Nangin, Acha Septriasa, Arie Kriting, Sacha Stevenson, Cok Simbara, Mak Gondut, Wieke Widowati, Mongol Stres, Restu Sinaga, Marwoto, Tora Sudiro, Dwi Sasono, Eka D. Sitorus, Dharty Manulang, Ozzol Ramdan, Project Pop Music by Ganden Bramanto Cinematography by Rollie Markiano Editing by Ganda Harta Studio  Rapi Films Running time 100 minutes Country Indonesia Language Indonesian

Review: Comic 8: Casino Kings – Part 1 (2015)

comic-8-casino-kings-part-1-posterComic 8: Casino Kings – Part 1 adalah bagian pertama dari dua bagian film yang telah direncanakan sebagai sekuel dari film Comic 8 yang berhasil meraih predikat sebagai film Indonesia dengan jumlah penonton terbanyak ketika dirilis pada awal tahun 2014 lalu. Seperti layaknya sebuah sekuel, Anggy Umbara merancang Comic 8: Casino Kings – Part 1 sebagai sebuah sajian yang lebih mewah dan megah jika dibandingkan dengan pendahulunya. Berhasil? WellComic 8: Casino Kings – Part 1 memang mampu tampil dengan deretan guyonan yang beberapa kali berhasil mengundang tawa penonton. Jajaran pemerannya yang berisi (sangat) banyak wajah familiar di industri film Indonesia juga tampil menyenangkan dalam peran komikal mereka. Namun, terlepas dari penampilannya yang lebih mewah, Comic 8: Casino Kings – Part 1 masih gagal untuk menghindar dari kesalahan yang telah dibuat oleh film pendulunya. Hal ini masih ditambah dengan keberadaan sindrom film yang jalan ceritanya dibagi menjadi dua bagian yang kemudian membuat Comic 8: Casino Kings – Part 1 terasa berjalan begitu bertele-tele khususnya di bagian akhir pengisahannya.

Dengan naskah cerita yang masih digarap oleh Anggy Umbara bersama dengan Fajar Umbara, Comic 8: Casino Kings – Part 1 melanjutkan kisah seri pendahulunya ketika delapan agen rahasia yang berada dibawah pimpinan Indro Warkop untuk menyamar menjadi komika demi mencari seorang komika yang menjadi penghubung ke seorang pemilik kasino terbesar di Asia yang sering disebut dengan sebutan nama The King. Jelas bukan sebuah tugas yang mudah. Kedelapan agen rahasia tersebut masih harus dikejar-kejar pihak kepolisian akibat tindakan perampokan bank yang telah mereka lakukan di seri sebelumnya. Mereka juga harus menghadapi sederetan kelompok penjahat yang berusaha menghalangi agar tugas mereka gagal untuk terselesaikan.

Bagian awal penceritaan Comic 8: Casino Kings – Part 1 jelas merupakan bagian terbaik dari film ini. Anggy Umbara memulai filmnya dengan tampilan visual berteknologi tinggi yang akan mampu memuaskan setiap penonton yang menginginkan lebih banyak adegan aksi dari film ini. Para pemeran film, mulai dari delapan komika yang berperan sebagai agen rahasia hingga para pemeran pendukung lain seperti Boy William, Prisia Nasution, Dhea Ananda hingga Gita Bhebita, juga berhasil mengeksekusi dialog-dialog penuh komedi mereka dengan sangat baik. Anggy Umbara sendiri mengemas Comic 8: Casino Kings – Part 1 sebagai satuan potongan-potongan cerita dan kemudian seperti mengacak linimasa penceritaan sehingga tidak lantas berjalan linear. Sayang, pengacakan linimasa yang dihadirkan dalam film ini terkesan sebagai gimmick belaka tanpa pernah benar-benar terasa sebagai sebuah hal yang esensial maupun berpengaruh pada kualitas penceritaan secara keseluruhan.

Memasuki pertengahan penceritaan, seiring dengan semakin banyaknya karakter yang memenuhi garis pengisahan film, Comic 8: Casino Kings – Part 1 mulai terasa kehilangan arah. Banyak diantara karakter yang hadir tampil tanpa peran penceritaan yang kuat. Begitu juga dengan plot penceritaan yang hadir dengan konflik yang terkesan sengaja ditahan untuk disimpan dan disimpan pada bagian film berikutnya. Hasilnya jelas membuat Comic 8: Casino Kings – Part 1 terasa tidak maksimal dalam presentasinya. Setelah dimulai dengan berbagai keberhasilan untuk tampil menghibur, paruh kedua dan ketiga penceritaan film serasa berjalan melamban tanpa pernah sekalipun mampu menghasilkan kualitas hiburan yang sama seperti paruh penceritaan pendahulunya. Cukup disayangkan mengingat Comic 8: Casino Kings – Part 1 memiliki potensi yang sangat kuat untuk menjadi film aksi komedi yang cukup fantastis.

Adalah mudah untuk mengetahui bahwa Anggy Umbara memiliki konsep yang sangat megah untuk sekuel Comic 8. Sayangnya, sebagai sebuah film yang diniatkan untuk hadir dalam dua bagian film, Comic 8: Casino Kings – Part 1 jelas masih memiliki garis penceritaan yang cukup rapuh. Berbagai plot dan konflik yang sengaja ditampilkan setengah matang untuk kemudian diselesaikan pada bagian film selanjutnya justru membuat Comic 8: Casino Kings – Part 1 kehilangan banyak momen emasnya. Jajaran pemeran film ini memang masih sangat mampu memberikan banyak hiburan kepada para penonton. Namun, lebih dari itu, Comic 8: Casino Kings – Part 1 gagal untuk menjadi sebuah sajian yang kuat secara keseluruhan. Mudah-mudahan saja Comic 8: Casino Kings – Part 2 yang rencananya dirilis awal tahun mendatang dapat tampil lebih baik dari bagian pertamanya ini. [C]

Comic 8: Casino Kings – Part 1 (2015)

Directed by Anggy Umbara Produced by Frederica Written by Fajar Umbara Starring Mongol Stres, Ernest Prakasa, Kemal Palevi, Bintang Timur, Babe Cabiita, Fico Fachriza, Arie Kriting, Ge Pamungkas, Indro Warkop, Sophia Latjuba, Prisia Nasution, Nikita Mirzani, Pandji Pragiwaksono, Hannah Al Rashid, Yayan Ruhian, Cak Lontong, Joehana Sutisna, Boy William, Ence Bagus, Donny Alamsyah, Agung Hercules, Agus Kuncoro, Candil, Barry Prima, George Rudy, Willy Dozan, Lydia Kandou, Sacha Stevenson, Soleh Solihun, Dhea Ananda, Bagus Netral, Ray Sahetapy, Arief Didu, Adjis Doaibu, Isman HS, Gilang Bhaskara, Akbar Kobar, Asep Suaji, Awwe, Uus, Temon, Boris Bokir, Lolox, Bene Rajagukguk, Gita Bhebhita, Mo Sidik, Jovial da Lopez, Andovi da Lopez, DJ Karen Garrett Music by Indra Q Cinematography by Dicky R. Maland Editing by Andi Mamo Studio  Falcon Pictures Running time 104 minutes Country Indonesia Language Indonesian

Review: Si Jago Merah 2: Air & Api (2015)

air-dan-api-posterMerupakan sekuel bagi film Si Jago Merah (Iqbal Rais, 2008), Si Jago Merah 2: Air & Api kini melanjutkan kisah perjalanan karir dua karakter dari seri sebelumnya, Gito (Deddy Mahendra Desta) dan Rojak Panggabean (Judika Sihotang), sebagai anggota petugas pemadam kebakaran. Dibawah kepemimpinan Komandan Dicky (Bucek Depp), keduanya kini ditugaskan untuk membina calon petugas pemadam kebakaran yang baru. Diantara pendatang baru tersebut terdapat Radit (Tarra Budiman) yang dipaksa sang ayah untuk bergabung dalam kelompok tersebut, Dipo (Dion Wiyoko) yang bergabung karena keinginannya untuk dapat menolong orang banyak meskipun hal tersebut mendapat larangan dari sang ayah (Ferry Salim) serta Sisi (Enzy Storia) yang ingin mengikuti jejak almarhum sang ayah sebagai seorang petugas pemadam kebakaran. Tentu saja, ada banyak tantangan dalam melatih para personel baru, mulai dari masalah cinta lokasi antara sesama petugas hingga keahlian masing-masing petugas ketika diturunkan dalam lokasi bencana.

Masalah terbesar yang dihadapi oleh Si Jago Merah 2: Air & Api sendiri harus diakui datang dari konten yang terkandung dalam naskah ceritanya. Sebagai sebuah film yang mengisahkan tentang para petugas pemadam kebakaran – karakter yang kisahnya masih sangat amat jarang ditemukan dalam jalan cerita film Indonesia, Si Jago Merah 2: Air & Api justru lebih banyak mengangkat masalah romansa yang terjadi antara para karakter yang hadir dalam jalan cerita film ini. Bukan masalah yang cukup besar jika garisan cerita romansa tersebut mampu dikemas menarik (dan berimbang). Sayangnya, kisah cinta segitiga yang tergambar antara karakter Radit, Sisi dan Dipo terasa begitu mengganggu akibat penggalian materi cerita yang dangkal sehingga terasa bertele-tele dalam penyampaiannya. Materi kisah cinta segitiga tersebut juga mengambil porsi yang (terlalu) luas sehingga seringkali menghalangi plot-plot kisah lain yang coba ditonjolkan oleh film ini. Hasilnya, meskipun Si Jago Merah 2: Air & Api berkisah mengenai kehidupan para petugas pemadam kebakaran, film ini sama sekali tidak pernah mampu menjadi sebuah film yang benar-benar dapat bercerita panjang kali lebar mengenai kehidupan para petugas pemadam kebakaran.

Tidak hanya dari penceritaannya. Penggambaran karakter-karakter dalam film ini juga harus diakui terasa digambarkan cukup lemah. Kedangkalan sikap beberapa karakter dalam menghadapi masalah personal mereka jelas terasa berlawanan dengan tugas berat mereka sebagai petugas pemadam kebakaran. Si Jago Merah 2: Air & Api memanglah sebuah fiksi. Namun ketika sebuah jalan cerita film dihadapkan atau dikaitkan pada beberapa karakter yang memang telah familiar karakteristiknya, jelas hal tersebut harusnya menjadi pertimbangan tersendiri dalam pendalaman penulisan dari masing-masing karakter dalam cerita. Lemahnya penceritaan memang harus terasa cukup mengganggu. Meskipun begitu, arahan Raymond Handaya (I Love You Masbro, 2012) bagi film ini masih mampu terasa kekuatannya. Pemilihan alur penceritaan yang berjalan cepat setidaknya membuat Si Jago Merah 2: Air & Api tetap terasa lugas dalam perjalanannya. Raymond juga mampu memberikan arahan yang baik bagi tata teknikal film yang beberapa kali disajikan dengan tuntutan adanya efek visual pada gambarnya. Seluruh tatanan teknikal mampu dieksekusi dengan lancar dan terasa nyaman untuk dinikmati penonton.

Raymond Handaya juga rasanya beruntung diberkahi barisan pengisi departemen akting yang kuat dalam film ini. Mulai dari Tarra Budiman, Dion Wiyoko, Enzy Storia hingga pemeran pendukung seperti Bucek Depp, Ferry Salim dan Joehana Sutisna mampu memberikan kontribusi terbaik mereka dalam menghidupkan kehadiran setiap karakter. Namun, jelas adalah Deddy Mahendra Desta dan Judika Sihotang yang selalu berhasil menjadi pencuri perhatian utama dalam Si Jago Merah 2: Air & Api. Keduanya mampu menjalankan plot komedi dan drama yang diberikan pada karakter mereka dengan baik. Sejujurnya, mungkin Si Jago Merah 2: Air & Api akan menjadi lebih menarik jika saja fokus penceritaan tetap diberikan pada karakter yang diperankan Deddy Mahendra Desta dan Judika Sihotang seperti yang disajikan Iqbal Rais dalam seri sebelumnya. [C-]

Si Jago Merah 2: Air & Api (2015)

Directed by Raymond Handaya Produced by Chand Parwez Servia, Fiaz Servia Written by Raymond Handaya, Hilman Mutasi, Away Martianto (screenplay), Hilman Mutasi, Fajar Nugros (characters) Starring Judika Sihotang, Deddy Mahendra Desta, Dion Wiyoko, Tarra Budiman, Enzy Storia, Abdur Arsyad, Bucek Depp, Marissa Nasution, Girindra Kara, Joehana Sutisna, Putri Una, Ferry Salim, Meriam Bellina, Dwi Yan, Volland Humonggio, Lina Marpaung, Kezia Karamoy, Umar Lubis, Sacha Stevenson, Ingrid Widjanarko, Joshua Pandelaki, Mongol Stres, Laila Sari, Iranty Purnamasari Music by Andhika Triyadi Cinematography Yoyok Budi Santoso Editing by Wawan I. Wibowo, Dody Chandra Studio Starvision Running time 99 minutes Country Indonesia Language Indonesian

Review: Comic 8 (2014)

Comic 8 9Falcon Pictures, 2014)
Comic 8 (Falcon Pictures, 2014)

Bahkan hanya dengan dua film layar lebar yang baru diarahkannya, Mama Cake (2012) dan Coboy Junior the Movie (2013), Anggy Umbara telah mampu mencuri perhatian para penikmat film Indonesia – kebanyakan karena kegemarannya untuk menampilkan visualisasi dari cerita filmnya dengan warna-warna benderang maupun tampilan a la komik yang begitu terkesan eksentrik. Kegemarannya tersebut kembali ia hadirkan dalam Comic 8, sebuah film aksi komedi yang menampilkan penampilan akting dari delapan pelaku stand up comedy – atau yang lebih akrab dikenal dengan sebutan komik – yang saat ini tengah meraih popularitas yang cukup tinggi di Indonesia. Momen-momen komedi memang mampu mengalir lancar dalam pilihan ritme penceritaan cepat yang dipilihkan Anggy untuk film ini. Namun, naskah yang terasa lemah dalam eksplorasi ceritanya seringkali membuat Comic 8 banyak menghabiskan durasi filmnya dalam atmosfer penceritaan yang cenderung datar daripada tampil benar-benar menghibur penontonnya.

Continue reading Review: Comic 8 (2014)

Review: Mursala (2013)

mursala-header

Dengan latar belakang kebudayaan Batak yang kental serta iringan gambar yang berisikan eksotisme keindahan alam Pulau Mursala yang terletak di kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, Mursala mencoba memaparkan konflik cinta yang mungkin terdengar sederhana namun memiliki penyelesaian yang cukup rumit: ketika cinta harus berhadapan dengan hukum yang diterapkan oleh adat istiadat semenjak ratusan tahun yang lalu. Sebuah premis yang jelas terasa cukup menyegarkan jika melihat banyaknya tema penceritaan yang hampir senada pada kebanyakan film-film romansa Indonesia belakangan ini.  Namun, tentu saja, sebuah premis yang menarik tidak akan berarti apa-apa tanpa sebuah eksekusi yang mampu mengekplorasinya dengan tepat. Dan, sayangnya, disanalah letak kelemahan terbesar dari Mursala

Continue reading Review: Mursala (2013)

Review: Finding Srimulat (2013)

finding-srimulat-header

Didirikan pada tahun 1950 oleh pasangan suami istri Slamet Teguh Rahardjo dan Raden Ajeng Srimulat di kota Solo, Jawa Tengah, kelompok komedi Srimulat memulai karirnya sebagai kelompok seni keliling yang melakukan pementasan musik dan komedi dari satu kota ke kota lainnya. Seiring dengan perkembangan zaman, kelompok Srimulat turut melakukan adaptasi terhadap cara pementasan karya seni mereka: mulai dari tampil secara menetap, konten pementasan yang sarat dengan pesan dan kritik sosial, melakukan bongkar pasang personel untuk memberikan penyegaran pada penampilan mereka hingga akhirnya merambah dunia televisi sehingga mampu menjangkau pasar penggemar yang lebih luas lagi. Berbagai perubahan itulah yang secara perlahan membesarkan nama mereka serta menjadikan Srimulat sebagai salah satu kelompok komedi terbesar dan paling ditunggu kehadirannya di Indonesia sebelum akhirnya kelompok tersebut vakum dari berbagai kegiatannya pada tahun 2006.

Continue reading Review: Finding Srimulat (2013)

Review: Operation Wedding (2013)

operation-wedding-header

Setelah merilis Sampai Ujung Dunia dan Test Pack: You’re My Baby pada tahun lalu – yang berhasil membuktikan bahwa film drama dewasa Indonesia mampu dikemas secara ringan namun tetap berhasil tampil emosional, Monty Tiwa kembali hadir dengan film terbarunya yang kali ini bernafaskan drama komedi, Operation Wedding. Dengan departemen akting yang diisi oleh jajaran pemeran muda berbakat di industri film Indonesia, Operation Wedding sepertinya akan dapat dengan mudah menjadi sebuah film drama komedi yang menghibur dan, tentu saja, menarik perhatian banyak penonton. Well… para jajaran pemeran muda dengan penampilan sangat atraktif tersebut memang mampu membuat Operation Wedding menjadi sangat menyenangkan untuk dilihat. Namun ketika berhubungan dengan jalan cerita yang mereka lakoni… buruk mungkin hanya satu-satunya kesan yang dapat disematkan pada film ini.

Continue reading Review: Operation Wedding (2013)