Review: Jane Eyre (2011)


Berbeda dengan Pride and Prejudice (1813) yang ditulis oleh Jane Austen, novel karya Charlotte Brontë, Jane Eyre, memiliki struktur cerita yang lebih kelam dan tragis, meskipun sama-sama merupakan sebuah kisah romansa yang kisahnya dipimpin oleh seorang karakter wanita yang memiliki jalan pemikiran maju dan melebihi orang-orang di sekitarnya. Dirilis pertama kali pada tahun 1847, dengan konteks dan tema cerita yang kompleks namun diselimuti dengan kisah romansa yang begitu efektif, Jane Eyre kemudian mendapatkan tempat khusus di hati berjuta pecinta karya sastra dunia sekaligus menjadikannya sebagai karya terpopuler Brontë di sepanjang karirnya sebagai seorang novelis. Tidak mengherankan jika kemudian Jane Eyre banyak diadaptasi ke dalam medium penceritaan lainnya. Tercatat, versi teranyar dari Jane Eyre yang diarahkan oleh Cary Joji Fukunaga (Sin Nombre, 2009) merupakan film layar lebar ke-16 yang mengadaptasi jalan cerita novel karya Brontë tersebut.

Seiring dengan banyak film yang mengadaptasi karya sastra popular, Fukunaga sebenarnya tidak memberikan sebuah terobosan baru dalam caranya menceritakan kisah Jane Eyre. Pun begitu, bukan berarti Fukunaga gagal dalam menghantarkan kualitas yang mampu mengimbangi megahnya kualitas jalan cerita novel tersebut. Dengan naskah cerita yang diadaptasi oleh Moira Buffini (‘Tamara Drewe‘, 2010), Jane Eyre mengalami banyak penyederhanaan jalan cerita dengan mengeliminasi banyak karakter-karakter pendukung yang sebenarnya hadir dan memiliki beberapa andil di dalam jalan cerita versi novel dari Jane Eyre. Penyederhanaan tersebut kemudian berhasil tereksekusi dengan baik ketika Fukunaga murni memfokuskan kisah Jane Eyre pada sang karakter utamanya, kisah cintanya serta jalan pemikirannya terhadap kehidupan yang ia jalani. Ditambah dengan kemampuan akting dari para pemeran serta kualitas kelas atas dari tata produksi film ini, versi adaptasi film terbaru dari Jane Eyre berhasil muncul sebagai salah satu adaptasi karya sastra terbaik yang pernah dihasilkan.

Mia Wasikowska berperan sebagai Jane Eyre, seorang wanita dengan susunan masa lalu kelam yang kemudian membuat jiwanya lebih sering merasa terisolasi dari dunia luar. Penonton pertama kali menjumpai Jane ketika ia sedang berlari tak tentu arah dalam keadaan duka yang mendalam sebelum akhirnya ditolong oleh pendeta muda bernama St. John Rivers (Jamie Bell) bersama kedua adiknya, Diana (Holliday Grainger) dan Mary Rivers (Tamzin Merchant). Walau pada awalnya masih bersikap dingin pada tiga orang penyelamatnya tersebut, Jane secara perlahan mulai membuka dirinya, meskipun sama sekali tidak pernah mau menceritakan dari mana ia berasal dan mengapa ia dapat berada di dalam situasi yang hampir merenggut nyawanya. Berusaha keras untuk berlari dari masa lalunya, Jane tidak akan pernah lupa pada sosok seorang Edward Fairfax Rochester (Michael Fassbender) yang telah berhasil mencuri hati dan cintanya.

Edward – atau yang sering disebut Jane sebagai Mr Rochester – adalah seorang pria yang mempekerjakan Jane untuk menjadi seorang guru bagi Adèle Varens (Romy Settbon Moore), anak dari kekasih simpanan Mr Rochester yang telah meninggal dunia yang hanya mampu berkomunikasi dengan Bahasa Perancis. Dengan kehangatan dan talenta alaminya sebagai seorang guru, Adèle yang diakui oleh Mr Rochester sebagai seorang anak yang tidak cerdas dan tidak memiliki bakat sama sekali mampu berkembang dengan pesat. Kemampuan Jane dalam menangani Adèle yang kemudian berhasil mencuri perhatian Mr Rochester. Walau hubungan keduanya berjalan alot pada awalnya, namun benih cinta secara perlahan mulai tumbuh pada Jane dan Mr Rochester. Namun, Jane bukanlah satu-satunya orang yang memiliki masa lalu yang kelam. Seiring dengan semakin dekatnya hubungan Jane dengan Mr Rochester, sebuah masa lalu kelam milik Mr Rochester siap untuk hadir dan memisahkan hubungan percintaan mereka.

Moira Buffini melakukan beberapa perubahan pada warna maupun struktur penceritaan Jane Eyre. Selain mengeliminasi peran beberapa karakter dari jalan cerita secara keseluruhan, Buffini juga mengurangi warna penceritaan yang sedikit berbau supranatural yang terasa cukup kental pada jalan cerita versi novel dari Jane Eyre. Versi film dari Jane Eyre tetap terasa kelam, namun citra tersebut lebih banyak muncul dari kelamnya kisah hidup beberapa karakternya dan bukan dari sebuah jalan cerita pendukung seperti yang dihadirkan di versi novel dari Jane Eyre. Penyederhanaan dan pewarnaan ulang terhadap struktur cerita Jane Eyre tersebut harus diakui mampu membuat Jane Eyre lebih mudah dinikmati bagi penonton kontemporer yang mungkin akan menemukan novel karya Brontë terlalu kompleks dengan banyaknya karakter yang hadir dan deretan konteks cerita yang terselip diantara rentetan kisah yang hadir dalam Jane Eyre. Pun begitu, Fukunaga tetap berhasil menghadirkan konteks-konteks cerita asli Jane Eyre seperti feminisme, moral, kekeluargaan dan kekerabatan, status sosial serta keagamaan ke dalam versi film Jane Eyre. Dengan jalan yang lebih sederhana dan mudah untukm diserap.

Jane Eyre bukannya hadir tanpa cela. Setelah pengisahan awal yang cukup menarik dan berhasil ditampilkan secara dramatis serta menyentuh, penceritaan Jane Eyre mulai terasa sedikit kehilangan fokusnya di bagian pertengahan – ketika jalan cerita Jane Eyre sedang beradu antara kisah cinta karakter Jane Eyre dan Mr Rochester serta masa lalu kelam mereka yang siap untuk menghadang kisah cinta mereka. Di bagian ini, Jane Eyre terasa kehilangan unsur emosionalitasnya sehingga berjalan terlalu datar. Beberapa bagian kisah pendukung – khususnya kisah mengenai hubungan antara karakter Jane Eyre dan St. John Rivers – juga gagal untuk dikembangkan secara sempurna sehingga seringkali terasa tidak begitu esensial atau malah terlalu diburu-buru. Untungnya, secara perlahan jalan cerita Jane Eyre mampu kembali tampil stabil seiring dengan berjalannya durasi film menuju akhir dan membuat Jane Eyre kembali berhasil tampil prima.

Departemen akting dan tata produksi Jane Eyre didukung oleh kualitas talenta prima dan berkelas. Di barisan terdepan departemen akting, terdapat dua nama bintang yang cukup bersinar sepanjang tahun 2011 lalu, Mia Wasikowska dan Michael Fassbender. Keduanya berhasil tampil sempurna dalam menghidupkan karakternya – karakter-karakter yang kelam, terluka akan masa lalu yang menyakitkan dan akhirnya malah menemukan sebuah cahaya terang di diri pasangannya. Penampilan Wasikowska dan Fassbender adalah kunci utama mengapa Jane Eyre berhasil berjalan begitu dinamis dan seringkali terasa menyentuh. Dukungan dari para pengisi departemen akting lainnya, seperti Jamie Bell, Judi Dench dan Sally Hawkins juga semakin menambah keapikan struktur departemen akting dari Jane Eyre.

Di bidang tata produksi, Fukunaga berhasil mengumpulkan talenta-talenta produksi yang mampu memberikan kualitas gambar, suara dan atmosfer cerita yang begitu mendukung jalan penceritaan Jane Eyre yang kelam namun mampu tetap tampil hangat dan romantis. Yang paling berhasil tampil istimewa adalah tata musik arahan Dario Marianelli yang berhasil memberikan dukungan kuat bagi sisi emosional cerita film ini. Beberapa akan merasa begitu akrab dengan tata musik arahan Marianelli yang terdengar mirip dengan karyanya di film Joe Wright, Pride and Prejudice (2005) dan Atonement (2007). Namun tetap saja, tata musik tersebut berhasil tampil begitu emosional dan kuat di banyak adegan penceritaan Jane Eyre.

Tidak memiliki keistimewaan berarti yang mampu membuat Jane Eyre tampil berbeda dengan begitu banyak film yang mengadaptasi karya-karya sastra populer tidaklah mampu mengeliminasi Jane Eyre dari deretan film-film adaptasi karya sastra terbaik yang pernah dihasilkan. Moira Buffini mampu menyederhanakan jalan cerita Jane Eyre sehingga film ini mampu lebih mudah untuk dinikmati namun tetap tidak pernah kehilangan arah dalam menyampaikan konteks dan tema asli yang dibawakan versi novel Jane Eyre yang ditulis oleh Charlotte Brontë. Pengarahan Cary Joji Fukunaga juga berhasil tampil begitu kuat dalam mengeluarkan permainan terbaik dari para pengisi departemen akting serta tim tata produksi dari film ini. Merupakan adaptasi karya sastra popular yang familiar, namun Jane Eyre tetap berhasil tampil indah dengan penceritaan yang kuat dan seringkali begitu menyentuh.

Jane Eyre (Focus Features/BBC Films/Ruby Films, 2011)

Jane Eyre (2011)

Directed by Cary Joji Fukunaga Produced by Alison Owen, Paul Trijbits Written by Moira Buffini (screenplay), Charlotte Brontë (novel, Jane Eyre) Starring Mia Wasikowska, Michael Fassbender, Jamie Bell, Judi Dench, Sally Hawkins, Holliday Grainger, Tamzin Merchant, Simon McBurney, Imogen Poots, Sophie Ward, Jayne Wisener, Amelia Clarkson, Romy Settbon Moore, Freya Parks, Harry Lloyd, Valentina Cervi Music by Dario Marianelli Cinematography Adriano Goldman Editing by Melanie Oliver Studio Focus Features/BBC Films/Ruby Films Running time 120 minutesCountry United Kingdom, United States Language English, French

4 thoughts on “Review: Jane Eyre (2011)”

  1. SAYA SUKA SEKALI DENGAN FILM INI CINMATOGRFINYA KEREN MIA W JUARA BANGET SALAH SATU YG TERBAIK BUAT SAYA THN INI

  2. This is the reason why the pageviews for my Jane Eyre’s post ‘s been increasing…, tapi saya bahas yg tahun 1943, disutradarai Robert Stevenson, jane eyre dimainkan Joan Fontaine, yg mungkin wajahnya familiar karena bermain di salah satu masterpiece hithcock, Suspicion. Sedangkan rochester dimainkan the great Orson Welles.

  3. saya kok lebih suka versi toby stephens dan ruth wilson. mia whatshername dan fasbender chemistry dan passion zero. mia terlalu kaku tanpa emosi. yang menolong cuma cinematografi, music dan kostum aja.

  4. kalo menurutku Mia & Michael sudah cocok memerankan karakter masing-masing, cuman sayang chemstry kurang dapet. Lebih sayang lagi di film ini nggak ada adegan keren dari buku, yaitu saat Mr. Rochester menyamar jadi gipsi. Too bad! 😦

Leave a Reply