“Jelangkung. Jelangkung. Disini ada pesta kecil-kecilan. Datang tak dijemput. Pulang tak diantar.” Masih ingat dengan mantra tersebut? Mantra tersebut sempat menjadi barisan kalimat yang begitu popular di kalangan masyarakat Indonesia setelah kesuksesan fenonemal yang diraih oleh film horor arahan Rizal Mantovani dan Jose Poernomo, Jelangkung (2001). Tidak hanya berhasil untuk menarik perhatian penikmat film Indonesia untuk datang dan menyaksikannya di bioskop, kesuksesan Jelangkung bahkan mampu “menginspirasi” para produser film Indonesia lainnya untuk memproduksi puluhan (ratusan?) film horor lainnya untuk dirilis ke pasar film nasional – yang secara perlahan kemudian membuat layar bioskop Indonesia didominasi oleh judul-judul horor selama bertahun-tahun. Jelangkung sendiri kemudian diikuti oleh tiga film berikutnya yang berada dalam seri film tersebut: dua buah sekuel berjudul Tusuk Jelangkung (Dimas Djayadiningrat, 2003) dan Jelangkung 3 (Angga Dwimas Sasongko) serta sebuah subseri berjudul Angkerbatu (Poernomo, 2007).
16 tahun semenjak perilisan Jelangkung, Mantovani dan Poernomo kembali bekerjasama untuk mengarahkan Jailangkung. Selain menawarkan judul film yang disajikan dalam pengejaan yang berbeda, Jailangkung memang tidak memiliki hubungan maupun keterkaitan secara langsung dengan film pendahulunya, baik dari sisi cerita maupun karakter-karakter yang dihadirkan. Mantovani dan Poernomo bahkan menghadirkan sebuah frasa baru yang digunakan sebagai mantra dalam film ini. Sayangnya, alih-alih menjadi Jelangkung bagi penonton yang umumnya berasal dari barisan generasi baru dan berbeda, Jailangkung justru terjebak dalam pola pengisahan deretan film horor medioker yang dahulu mencoba mengekor kesuksesan Jelangkung dengan naskah cerita dan pengarahan yang terlampau lemah. Sebuah presentasi yang jelas sangat, sangat mengecewakan.
Selain menjadi ajang reuni bagi Mantovani dan Poernomo, Jailangkung juga mempertemukan kembali Jefri Nichol dan Amanda Rawles yang sebelumnya meraih sukses luar biasa lewat drama remaja, Dear Nathan (Indra Gunawan, 2017). Rawles berperan sebagai Bella seorang gadis yang mencoba menolong sang ayah, Ferdi (Lukman Sardi), yang telah sekian lama terbaring tak sadarkan diri di rumah sakit semenjak ditemukan dalam keadaan koma di sebuah rumah misterius. Atas petunjuk yang diberikan teman Bella yang memahami dunia metafisika, Rama (Nichol), Bella bersama dengan sang kakak, Angel (Hannah Al Rasyid), dan adik, Tasya (Gabriella Quinlyn), akhirnya memilih untuk mengunjungi rumah misterius tempat sang ayah ditemukan dan memulai penyelidikan mereka. Di rumah tersebut, mereka tidak hanya menemukan sebuah rahasia kelam yang telah lama disimpan rapat-rapat oleh Ferdi. Mereka juga menemukan ancaman yang siap mengintai nyawa mereka kapan saja.
Jika ingin menilik dari kualitas produksinya, Jailangkung sebenarnya bukanlah sabuah tayangan yang buruk. Terlepas dari pendekatan visual yang masih bertumpu pada gaya pengambilan gambar sebuah music video serta pengambilan gambar dari udara yang terlalu sering dieksploitasi tanpa kegunaan yang terlalu esensial, Mantovani dan Poernomo cukup mampu menghadirkan atmosfer horor yang sesuai untuk film ini. Kehadiran sosok-sosok menyeramkan juga mampu dikontrol sedemikian rupa sehingga tidak pernah terasa terlalu berlebihan maupun mengganggu keberadaannya. Departemen akting juga tidak mengecewakan. Nichol dan Rawles masih hadir dengan chemistry yang solid. Penampilan apik mereka juga didukung oleh penampilan yang cukup solid dari Al Rasyid – meskipun entah mengapa tata rias film ini membuat penampilannya lebih pas berperan sebagai adik dari karakter yang diperankan Wulan Guritno daripada kakak bagi karakter yang diperankan Rawles – dan Butet Kertaradjasa. Sardi justru tampil lemah di sepanjang pengisahan Jailangkung. Ia tidak pernah sekalipun terlihat meyakinkan baik sebagai sesosok karakter ayah maupun sesosok suami yang begitu merindukan keberadaan istrinya.
Namun, masalah terbesar dari Jailangkung terletak pada naskah cerita yang digarap oleh Baskoro Adi (The Professionals, 2016). Semenjak pengisahan Jailangkung bergulir, Adi telah tampil kontradiktif dalam penceritaan yang ia bawakan. Adegan pembuka yang sebenarnya sangat potensial untuk dikembangkan sama sekali tidak dieksplorasi dengan baik. Begitu pula dengan pemanfaatan sentuhan budaya mistis Jawa dalam beberapa bagian cerita. Logika dari karakter Bella yang memilih untuk didampingi karakter Rama dalam penyelesaian misteri sang ayah hanya dengan berbasis pengetahuan bahwa karakter Rama adalah seorang penggemar dunia metafisika juga cukup menggelikan. Dua hal tersebut adalah segelintir dari sederetan kelemahan-kelemahan lain yang terpapar dalam penulisan cerita dan karakter yang diberikan Adi untuk film ini. Horor mungkin tidak membutuhkan terlalu banyak logika dalam penyampaian ceritanya. Namun ketika seorang penulis naskah justru menentang rumus penceritaan yang sebenarnya telah ia terapkan sendiri well… jelas tidak banyak yang dapat diharapkan dari naskah cerita tersebut. Bad, bad, screenplay!
Pengarahan cerita yang diberikan Mantovani dan Poernomo juga tidak banyak membantu. Pada kebanyakan bagian, kedua sutradara tersebut terasa gagal untuk memadukan berbagai elemen pengisahan yang terdapat dalam naskah cerita Jailangkung. Beberapa bagian kisah yang bertutur secara romansa maupun film keluarga tidak mampu berpadu dengan baik sebagai satu kesatuan cerita horor yang utuh. Ritme pengisahan Jailangkung juga tampil cukup berantakan. Kadang terasa berjalan begitu lamban dan kadang terkesan begitu diburu-buru pada bagian lainnya. Jailangkung, secara keseluruhan, akhirnya gagal untuk tampil menyaingi atau bahkan menyamai performa film pendahulunya dan berakhir sebagai sebuah pengalaman horor yang membosankan dan jauh dari kesan menyenangkan. [D]
Jailangkung (2017)
Directed by Jose Poernomo, Rizal Mantovani Produced by Sukhdev Singh, Wicky V. Olindo Written by Baskoro Adi Starring Amanda Rawles, Jefri Nichol, Hannah Al Rashid, Gabriella Quinlyn, Wulan Guritno, Lukman Sardi, Augie Fantinus, Butet Kertaradjasa, Egy Fadly Music by Joseph S. Djafar Cinematography Jose Poernomo Edited by Wawan I. Wibowo Production company Screenplay Films/Legacy Pictures Running time 86 minutes Country Indonesia Language Indonesian
6 thoughts on “Review: Jailangkung (2017)”