Dengan naskah cerita yang ditulis dan diarahkan oleh aktor sekaligus komika, Muhadkly Acho – yang menjadikan film ini sebagai debut penyutradaraan film cerita panjangnya, Gara-gara Warisan memulai linimasa penceritaannya ketika seorang pemilik penginapan, Dahlan (Yayu Unru), berusaha untuk menemukan sosok yang tepat diantara ketiga anak-anaknya, Adam (Oka Antara), Laras (Indah Permatasari), dan Dicky (Ge Pamungkas), untuk menggantikan posisinya dalam mengelola penginapan ketika mengetahui dirinya mengidap penyakit yang sukar untuk disembuhkan. Dengan masalah perekonomian yang sedang menghimpit ketiganya, Adam, Laras, dan Dicky bersaing keras untuk memperebutkan warisan sang ayah yang jelas diharapkan dapat membantu kehidupan mereka. Di saat yang bersamaan, persaingan tersebut secara perlahan membuka kembali berbagai perseteruan, duka, hingga luka yang dirasakan setiap anggota keluarga tersebut semenjak lama. Continue reading Review: Gara-gara Warisan (2022)
Tag Archives: McDanny
Review: Yowis Ben II (2019)
Terlepas dari barisan dialognya yang didominasi oleh Bahasa Jawa, perilisan Yowis Ben (Fajar Nugros, Bayu Skak, 2018) mampu memberikan kejutan ketika film tersebut berhasil mencuri perhatian banyak penikmat film Indonesia. Secara perlahan, film komedi yang juga menjadi debut penyutradaraan bagi Skak tersebut menyaingi keberadaan film-film lokal dan internasional lain yang dirilis di saat yang bersamaan, bertahan cukup lama di banyak layar bioskop – khususnya yang berada di Pulau Jawa, untuk kemudian sukses mengumpulkan lebih dari sembilan ratus ribu penonton selama masa tayangnya. Dengan ukiran prestasi tersebut, tidak mengherankan bila Nugros dan Skak kembali bekerjasama dan berusaha untuk mengulang (atau malah memperbesar) kesuksesan mereka dengan merilis sebuah sekuel bagi Yowis Ben. Dan dengan formula cerita dan guyonan yang masih setia dengan film pendahulunya, Yowis Ben 2 dipastikan akan tetap dapat menghibur para barisan penggemarnya – dan bahkan mungkin akan mampu mendapatkan beberapa penggemar baru. Continue reading Review: Yowis Ben II (2019)
Review: Sweet 20 (2017)
Diarahkan oleh Ody C. Harahap (Kapan Kawin?, 2015), Sweet 20 berkisah tentang kehidupan seorang nenek berusia 70 tahun, Fatmawati (Niniek L. Kariem), yang berubah drastis setelah dirinya secara magis bertransformasi menjadi seorang gadis berusia 20 tahun. Untuk menutupi identitasnya, Fatmawati lantas menggunakan nama Mieke (Tatjana Saphira) sesuai dengan nama artis idolanya, Mieke Wijaya. Dengan identitas barunya tersebut, Mieke merasa mendapatkan kesempatan sekali lagi untuk meraih berbagai mimpi terdahulunya yang belum sempat ia wujudkan. Di saat yang bersamaan, dengan penampilan, sikap dan bakatnya yang bersinar, Mieke berhasil menarik perhatian dua orang pemuda, Juna (Kevin Julio) dan Alan (Morgan Oey), sekaligus membuat sahabatnya, Hamzah (Slamet Rahardjo), yang sedari dulu telah meyimpan perasaan suka pada dirinya kembali jatuh hati kepada dirinya. Continue reading Review: Sweet 20 (2017)
Review: Moammar Emka’s Jakarta Undercover (2017)
Ketika pertama kali dirilis pada tahun 2003, buku Jakarta Undercover karangan Moammar Emka berhasil menjadi bahan perbincangan hangat di kalangan pecinta literatur Indonesia, khususnya karena buku tersebut berisi kumpulan cerita yang dengan berani mengangkat berbagai sisi kehidupan seksual warga Jakarta yang selama ini masih belum banyak diketahui atau malah dianggap tabu untuk dibicarakan. Emka kemudian melanjutkan kesuksesan bukunya dengan menerbitkan dua seri Jakarta Undercover lainnya, Jakarta Undercover 2: Karnaval Malam yang dirilis pada tahun 2006 serta Jakarta Undercover 3: Forbidden City yang hadir setahun setelahnya. Layaknya banyak novel sukses lainnya, Jakarta Undercover menarik perhatian produser Erwin Arnada yang berniat untuk mengadaptasi buku tersebut menjadi sebuah film layar lebar. Dengan bantuan penulis naskah Joko Anwar, versi film dari Jakarta Undercover yang diarahkan oleh Lance dan dibintangi Luna Maya, Lukman Sardi, Fachri Albar serta Christian Sugiono akhirnya dirilis pada awal tahun 2007. Sayang, terlepas dari banyaknya perhatian yang diberikan pada versi film dari Jakarta Undercover akibat deretan permasalahan yang harus dihadapi film tersebut ketika berhadapan dengan Lembaga Sensor Film, Jakarta Undercover mendapatkan reaksi yang tidak begitu menggembirakan, baik dari banyak kritikus film maupun para penonton film Indonesia. Continue reading Review: Moammar Emka’s Jakarta Undercover (2017)
Review: This is Cinta (2015)
It’s only February but hey… it’s never too early to release the likely strong contender for the year’s worst movie, right? Dan beruntung, This is Cinta memiliki semua unsur yang akan membuat penontonnya merasa berdosa telah menghabiskan uang maupun waktu mereka guna menyaksikan film ini. Yes. It’s that bad.
Dengan naskah yang ditulis oleh Haqi Achmad (Refrain, 2013), This is Cinta bercerita mengenai seorang gadis bernama Rachel (Yuki Kato) dan seorang pemuda bernama Farel (Shawn Adrian Khulafa) yang dikisahkan telah menyukai satu sama lain semenjak mereka bersekolah di tingkat dasar namun kemudian terpisah ketika keluarga Rachel membawa gadis tersebut ke luar negeri. Meskipun terpisah dan sama sekali tidak pernah berkomunikasi satu sama lain, rasa suka antara keduanya tidak pernah menghilang dan justru terus menguat. Dua belas tahun kemudian, Rachel akhirnya kembali ke Indonesia. Tentu saja, Rachel dengan segera mencari dimana keberadaan Farel. Sayang, hubungan antara Rachel dan Farel kini terhambat oleh perjodohan yang dibentuk oleh Mama Rachel (Aida Nurmala) dengan anak dari sahabatnya, Nico (Fandy Christian).
Ada begitu banyak masalah dalam presentasi cerita This is Cinta. Yang pertama, dan mungkin sumber utama masalah terbesar bagi film ini, adalah naskah ceritanya. This is Cinta sebenarnya menawarkan garis penceritaan yang familiar dan jelas telah diramu oleh banyak film sejenis sebelumnya. Namun, ramuan Haqi Achmad untuk film ini terasa lemah di begitu banyak bagiannya – mulai dari penulisan dialog, karakter-karakter pendukung yang hadir tanpa porsi penceritaan yang jelas hingga motif dari beberapa karakter yang gagal untuk dikembangkan dengan baik. Lihat saja bagian dimana Mama Rachel digambarkan begitu membenci hubungan persahabatan antara anaknya dengan Farel tanpa penyebab yang pasti atau bagaimana karakter Nico tiba-tiba digambarkan menjadi sosok psikopat yang mampu menculik gadis idamannya atau ketika karakter Sasha (Fahira Alidrus) yang begitu menyukai Farel hadir di banyak adegan tanpa pernah dilibatkan atau serasa berguna dalam adegan tersebut. Terasa begitu konyol dan sangat, sangat menggelikan.
Tidak berhenti sampai disitu. Naskah cerita This is Cinta juga beberapa kali mengalami perubahan nada cerita pada paruh kedua dan ketiganya. Selain perubahan dari pengisahan drama romansa menjadi thriller ketika adegan karakter Nico digambarkan menculik dan menyekap Rachel, film ini juga berubah menjadi drama supranatural ketika jiwa dari karakter Rachel digambarkan terperangkap di dunia arwah dan tak mampu kembali lagi ke dunia nyata. Usaha yang sepertinya ingin meniru Just Like Heaven (Mark Waters, 2005) atau The Lovely Bones (Peter Jackson, 2009) namun sekali lagi berakhir sangat mamalukan akibat penulisan yang sangat lemah. Perubahan nada-nada penceritaan yang seringkali hadir secara tiba-tiba inilah yang membuat naskah cerita This is Cinta semakin terpuruk seiring dengan berjalannya durasi penceritaan film ini.
Pengarahan dari Sony Gaokasak (Bidadari-Bidadari Surga, 2012) juga jelas sama sekali tidak membantu. Sony terasa mengarahkan jalan cerita This is Cinta dengan tanpa adanya dorongan semangat sama sekali. This is Cinta akhirnya berjalan dengan ritme penceritaan yang berantakan dan datar dalam penyampaian emosionalnya. Keputusan Sony untuk menghadirkan gambar-gambar indah bagi This is Cinta memang cukup sesuai dengan mood penceritaan bagi film-film sejenis. Sayangnya, naskah penceritaan dan pengarahan yang demikian buruk telah mendorong kualitas This is Cinta untuk jatuh sedemikian dalam. Begitu pula dengan arahan musik dari Andhika Triyadi yang menampilkan tatanan musik khas film drama romansa Indonesia sejenis: berusaha (memaksa?) untuk menyentuh sanubari penonton dengan susunan musik orkestra di banyak adegan film.
Dari departemen akting, hampir seluruh jajaran pemeran film ini tampil lugas dalam menghidupkan karakter yang mereka perankan. Hampir, karena pemeran utama pria dalam film ini, Shawn Adrian Khulafa, sama sekali tidak berakting dalam film ini. Dan mengingat bahwa ia merupakan pemeran utama yang tampil hampir di setiap adegan maka ketidakmampuan Shawn jelas menjadi sebuah lubang yang sangat besar lainnya bagi kualitas film. Di sepanjang penceritaan film, Shawn Adrian Khulafa tampil dengan mimik wajah dan pengucapan dialog yang sangat, sangat datar. Mungkin Shawn berniat menampilkan sosok karakternya seperti karakter… let’s say… Edward Cullen dalam seri The Twilight Saga (2008 – 2012). Namun bahkan sosok pria yang telah bangkit dari kematiannya saja akan memiliki ekspresi wajah yang berbeda ketika ia baru saja mengalami kecelakaan dan kemudian lari kesana-kemari di rumah sakit untuk mencari tahu keadaan sang kekasih yang juga terlibat kecelakaan tersebut. Shawn Adrian Khulafa? Tidak. Tampil tetap dengan wajah datarnya yang sangat mengesalkan. Dan oh… Suara Shawn juga tampil sama datarnya ketika berduet dengan Yuki Kato dalam menyanyikan lagu tema film yang berjudul This is Cinta. Ouch.
Pemeran lain tampil tidak begitu mengecewakan. Yuki Kato cukup lugas dalam memerankan Rachel. She’s a good actress. Sayang Yuki seringkali terjebak dalam film-film berkualitas buruk atau medioker. Ari Wibowo dan Unique Priscilla tampil lumayan dalam peran yang begitu terbatas. Begitu pula dengan Fandy Christian dan Sasha Alidrus. Sementara itu, Aida Nurmala seringkali terlihat berlebihan dalam menterjemahkan karakternya sebagai seorang ibu yang overprotective terhadap anaknya. But well… this movie probably deserves that kind of overacting and half-hearted performance. [E]
This is Cinta (2015)
Directed by Sony Gaokasak Produced by Fiaz Servia Written by Haqi Achmad Starring Yuki Kato, Shawn Adrian Khulafa, Unique Priscilla, Ari Wibowo, Aida Nurmala, Fandy Christian, Sandrinna Skornicki, Alwi Assegaf, Richelle Skornicki, Fahira Alidrus, Indra Bekti, Yuka Idol, Yama Carlos, Joe Richard, Joshua Pandelaki, Monica Oemardi, Emmie Lemu, McDanny, Uus, Mosidik, Faradilla Yoshi Music by Andhika Triyadi Cinematography Hani Pradigya Edited by Cesa David Luckmansyah Studio Starvision Running time 88 minutes Country Indonesia Language Indonesian