Tag Archives: Deva Mahenra

Review: Jailangkung: Sandekala (2022)

Jailangkung: Sandekala jelas merupakan usaha teranyar untuk menghidupkan sekaligus memberikan penyegaran bagi seri film Jailangkung. Kini diarahkan oleh Kimo Stamboel (Ivanna, 2022), film yang naskah ceritanya ditulis oleh Stamboel bersama dengan Rinaldy Puspoyo (Dilema, 2012) sendiri tidak memiliki keterikatan kisah dengan film-film Jailangkung sebelumnya, baik dua film Jailangkung (2017 – 2018) arahan Jose Poernomo dan Rizal Mantovani – meskipun sebuah adegan dalam film ini memberikan rujukan kecil bagi kedua film tersebut – maupun Jelangkung (2001) garapan Poernomo dan Mantovani yang legendaris itu beserta film-film sekuel dan lepasannya yang dirilis hingga tahun 2007 serta melibatkan Dimas Djayadiningrat dan Angga Dwimas Sasongko untuk duduk di kursi penyutradaraan. Jailangkung: Sandekala bahkan dihadirkan dengan tata penuturan bernuansa misteri investigasi yang jelas cukup menjauh dari atmosfer horor supranatural yang dibawakan oleh film-film Jelangkung/Jailangkung sebelumnya. Continue reading Review: Jailangkung: Sandekala (2022)

Review: Ghost Writer 2 (2022)

Setelah perilisan Gara-gara Warisan (2022) yang menjadi debut pengarahan film cerita panjangnya, Muhadkly Acho kembali duduk di kursi penyutradaraan untuk Ghost Writer 2 – sekuel bagi Ghost Writer (2019) yang juga merupakan debut pengarahan film cerita panjang bagi Bene Dion Rajagukguk. Tidak hanya sebagai sutradara, Acho juga menggantikan posisi Rajagukguk sebagai penulis naskah film bersama dengan Nonny Boenawan. Rajagukguk – yang baru saja meraih sukses besar lewat film Ngeri-ngeri Sedap (2022) yang ia arahkan – hanya bertugas sebagai produser bagi film ini. Bukan sebuah masalah besar. Seperti halnya yang ditunjukkan Rajagukguk dalam Ghost Writer, Acho juga memiliki kemampuan yang mumpuni dalam menghidupkan paduan antara horor dan komedi yang dibawakan oleh Ghost Writer 2 – walaupun kemudian terasa terbata dalam pengembangan elemen pengisahan dramanya. Continue reading Review: Ghost Writer 2 (2022)

Review: Serigala Langit (2021)

Diarahkan oleh Reka Wijaya (Sule Detektif Tokek, 2013) berdasarkan naskah cerita yang ditulis oleh Titien Wattimena (Milea: Suara dari Dilan, 2020) dan Rifki Ardisha, Serigala Langit bercerita tentang Gadhing Baskara (Deva Mahenra) yang merupakan seorang penerbang pesawat tempur bagi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara dan baru saja bergabung dengan Skadron Serigala Langit. Sebagai lulusan terbaik di Akademi Angkatan Udara dan Sekolah Penerbang Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara, Gadhing Baskara sempat merasa dirinya memiliki kemampuan yang lebih baik dari rekan-rekannya – sikap yang lantas membuat keberadaannya kurang disenangi oleh sejumlah seniornya. Karena langkah awal yang salah, Gadhing Baskara kini harus berjuang keras untuk membuktikan kelayakan dirinya untuk bergabung di Skadron Serigala Langit. Di saat yang bersamaan, Gadhing Baskara juga sedang dihantui oleh hubungannya yang memburuk dengan sang ayah (Nugie) yang kini sedang terbaring di rumah sakit dan terus menanyakan keberadaan dirinya. Continue reading Review: Serigala Langit (2021)

Review: 99 Nama Cinta (2019)

Setelah Sabtu Bersama Bapak (Monty Tiwa, 2016) dan Bangkit! (Rako Prijanto, 2016), Acha Septriasa dan Deva Mahenra kembali tampil bersama dalam terbaru arahan Danial Rifki (Melbourne Rewind, 2016) yang berjudul 99 Nama Cinta. Septriasa berperan sebagai Talia, seorang presenter sekaligus produser sebuah acara infotainmen popular yang kini harus berhadapan dengan kenyataan pahit bahwa penayangan acaranya harus dihentikan karena tersandung oleh masalah hukum. Tidak berhenti disana, Talia kini juga dialihtugaskan untuk menjadi produser bagi acara reliji yang tayang di pagi hari dan dikenal sebagai program yang paling tidak diminati di stasiun televisi tempatnya bekerja. Pun begitu, Talia tidak menyerah begitu saja. Usahanya untuk menghidupkan acara reliji tersebut kemudian membawanya pada sosok Kiblat (Mahenra) – seorang ustaz muda yang sebenarnya juga merupakan sahabat Talia di masa kecilnya. Meskipun dengan sejarah persahabatan diantara mereka serta hubungan akrab yang terjalin antara orangtua keduanya, perbedaan jalan sekaligus pandangan hidup di masa dewasa membuat Talia dan Kiblat sama-sama terasa tidak pernah akur. Tetap saja, cinta selalu dapat menemukan jalannya untuk mencuri hati setiap insan yang diincarnya. Continue reading Review: 99 Nama Cinta (2019)

Review: Ghost Writer (2019)

Setelah menuliskan naskah cerita untuk beberapa film Indonesia dengan jumlah penonton terbanyak sepanjang masa seperti Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! – Part 1 (Anggy Umbara, 2016) dan Suzzanna: Bernapas dalam Kubur (Rocky Soraya, Umbara, 2018), Bene Dion Rajagukguk kini mengarahkan film layar lebar perdananya lewat Ghost Writer. Memadukan unsur horor dengan komedi, film yang naskah ceritanya digarap oleh Rajagukguk bersama dengan Nonny Boenawan ini bercerita mengenai seorang penulis novel, Naya (Tatjana Saphira), yang menemukan sebuah buku harian yang lantas dijadikannya inspirasi cerita bagi novel terbaru yang sedang digarapnya. Sial, buku harian tersebut ternyata pernah dimiliki oleh seorang pemuda bernama Galih (Ge Pamungkas) yang telah meninggal dunia akibat bunuh diri dan kini menghantui Naya karena tidak setuju isi buku hariannya dijadikan konsumsi publik. Ketakutan dengan teror yang dilakukan oleh Galih, Naya akhirnya mencoba berbicara dengan arwah penasaran tersebut yang kemudian ternyata menghasilkan sebuah kerjasama beda dunia antara mereka berdua. Continue reading Review: Ghost Writer (2019)

Review: Belok Kanan Barcelona (2018)

Diadaptasi dari novel berjudul Travelers’ Tale – Belok Kanan: Barcelona! yang ditulis oleh Adhitya Mulya, Alaya Setya, Iman Hidajat, dan Ninit Yunita – dengan Mulya bertugas untuk menggarap naskah cerita film ini, Belok Kanan Barcelona berkisah mengenai persahabatan antara Francis (Morgan Oey), Retno (Mikha Tambayong), Ucup (Deva Mahenra), dan Farah (Anggika Bolsterli) yang telah terjalin semenjak masa SMA. Meski kini mereka telah tinggal di empat negara berbeda dalam menjalani karir mereka, Francis, Retno, Ucup, dan Farah masih menjaga hubungan dan komunikasi mereka dengan baik. Suatu hari, ketika keempatnya sedang berkomunikasi melalui perantaraan video conference, Francis mengumumkan bahwa dirinya akan segera menikahi kekasihnya, Inez (Millane Fernandez), dan menggelar pesta pernikahan mereka di Barcelona, Spanyol. Sebuah pernyataan yang tidak hanya terkesan tiba-tiba bagi teman-teman Francis namun juga memicu munculnya kembali perasaan dan memori dari masa lampau yang kemudian menghantui hubungan persahabatan keempatnya. Continue reading Review: Belok Kanan Barcelona (2018)

Review: Partikelir (2018)

Nama Pandji Pragiwaksono jelas bukanlah nama baru di industri perfilman Indonesia. Semenjak namanya popular sebagai seorang komika, Pragiwaksono juga telah berkesempatan menunjukkan kemampuan aktingnya lewat film-film seperti Make Money (Sean Monteiro, 2013), Comic 8 (Anggy Umbara, 2014), {rudy habibie} (Hanung Bramantyo, 2016), Stip & Pensil (Ardy Octaviand, 2017), dan Ayat-ayat Cinta 2 (Guntur Soeharjanto, 2017). Mengikuti jejak rekan-rekan komikanya seperti Kemal Palevi, Raditya Dika, Ernest Prakasa, dan Bayu Skak, Pragiwaksono kini menguji kemampuannya dalam penyutradaraan sebuah film lewat Partikelir. Juga berperan sebagai aktor dan penulis naskah cerita bagi film drama komedi aksi ini, Partikelir menghadirkan elemen-elemen komedi yang mungkin telah terasa familiar bagi para penggemar celotehan Pragiwaksono. Sayang, sebagai sebuah presentasi cerita keseluruhan, Partikelir tidak mampu berbicara banyak dan seringkali terasa goyah dalam banyak bagian pengisahannya. Continue reading Review: Partikelir (2018)

Review: Satu Hari Nanti (2017)

Dengan naskah cerita yang ditulis dan diarahkan oleh Salman Aristo (Cinta dalam Kardus, 2013), Satu Hari Nanti berkisah mengenai dua pasang kekasih yang juga saling bersahabat, Bima (Deva Mahenra) dan Alya (Adinia Wirasti) serta Din (Ringgo Agus Rahman) dan Chorina (Ayushita Nugraha), yang sedang bekerja sekaligus mengejar mimpi mereka di negara Swiss. Hubungan kedua pasangan tersebut bukannya berjalan tanpa tantangan: karir bermusik Bima yang berjalan di tempat terasa menghalangi mimpi Alya untuk menjadi seorang chocolatier yang handal sementara Din tidak pernah berhenti untuk berselingkuh dengan wanita lain di belakang Chorina. Setelah terjadi sebuah pertengkaran besar antara Bima dan Alya, keduanya lantas menyadari bahwa mereka telah jatuh hati dengan sosok lain – sahabat mereka sendiri. Jalinan kisah cinta baru tersebut secara perlahan mulai mengubah hidup Bima, Alya, Din, dan Chorina sekaligus mimpi dan cara pandang mereka mengenai masa depan. Continue reading Review: Satu Hari Nanti (2017)

Review: Cinta Laki-Laki Biasa (2016)

Setelah sebelumnya bekerjasama dalam Jilbab Traveler: Love Sparks in Korea (2016), sutradara Guntur Soeharjanto kembali bekerjasama dengan penulis Asma Nadia dan Alim Sudio untuk Cinta Laki-Laki Biasa. Well… Judul film ini mungkin akan membuat beberapa orang lantas memandang sebelah mata. Atau malah premis yang dijual tentang kisah cinta segitiga dalam balutan nuansa reliji yang, harus diakui, telah terlalu sering “dieksploitasi” oleh banyak pembuat film Indonesia. Namun, jika Anda mampu melepas segala prasangka dan memberikan film ini sebuah kesempatan, Cinta Laki-Laki Biasa adalah sebuah drama romansa yang tergarap dengan cukup baik, mulai dari penataan naskah dan ritme penceritaan hingga chemistry yang terasa begitu hangat dan meyakinkan antara dua bintang utamanya, Deva Mahenra dan Velove Vexia. Continue reading Review: Cinta Laki-Laki Biasa (2016)

Review: Romeo + Rinjani (2015)

romeo-rinjani-posterLooks can be deceiving… Jika, dengan menilai penampilan poster film ini, Anda mengira bahwa Romeo + Rinjani akan hadir dengan kisah petualangan beberapa karakter yang berpetualang di liarnya alam Gunung Rinjani a la 5 cm (2012) atau Sagarmatha (2013), maka bersiaplah untuk kecewa. Sesungguhnya, cukup sulit untuk menilai apa yang sebenarnya diinginkan oleh Fajar Bustomi lewat film ini. Romeo + Rinjani menawarkan begitu banyak warna penceritaan dalam deretan konflik film ini – mulai dari drama, romansa, komedi hingga thriller – yang sayangnya kemudian gagal untuk dieksplorasi dan akhirnya membuat setiap konflik dalam film ini gagal untuk berkembang dan berkisah dengan baik. Bukan sebuah presentasi yang teramat buruk namun jelas masih jauh dari kesan memuaskan.

Romeo + Rinjani sendiri berkisah mengenai Romeo (Deva Mahenra), seorang fotografer tampan yang memiliki kemampuan untuk menarik perhatian setiap wanita yang didekatinya. Sial, salah satu wanita yang ia kencani, Raline (Kimberly Ryder), kemudian hamil dan menuntut pertanggungjawabannya. Walau merasa berat, Romeo menyetujui permintaan Raline untuk menikahinya seusai dirinya selesai melaksanakan tugasnya untuk mengambil gambar di wilayah Gunung Rinjani. Dalam perjalanan tugasnya tersebut, Romeo lantas bertemu dengan gadis cantik bernama Sharon (Alexa Key) yang jelas kemudian menggoda perhatian Romeo. Romeo dan Sharon, yang ternyata seorang pecinta kegiatan petualangan, kemudian memutuskan untuk berangkat menjelajahi Gunung Rinjani bersama. Sebuah keputusan yang mungkin akan disesali Romeo dalam seumur hidupnya kelak.

Kesalahan jelas tidak selayaknya dibebankan penuh di pundak Fajar Bustomi sebagai seorang sutradara. Naskah film yang ditulis oleh Angling Sagaran jelas memegang peranan penting bagi kedangkalan penampilan penceritaan film ini. Romeo + Rinjani sebenarnya memulai kisahnya dengan baik, menyentuh beberapa ide cerita yang tergolong segar bagi sebuah film Indonesia – sebuah film yang anti pernikahan? – hingga karakter utama dengan karakteristik yang jelas akan sulit disukai oleh banyak penontonnya. Namun, secara perlahan, awal yang menjanjikan tersebut kemudian berubah menjadi sajian yang sukar dinikmati dengan baik akibat pengembangan konflik-konfliknya yang kurang matang. Warna penceritaan film mulai hadir silih berganti dengan jalan cerita yang hadir tanpa konsistensi yang kuat. Membingungkan, khususnya ketika setiap konflik yang tersaji terasa hadir hanyalah sebagai deretan sketsa belaka tanpa pernah mampu digambarkan sebagai penceritaan yang kuat maupun utuh.

Kedangkalan penceritaan jelas juga memberikan pengaruh pada karakter-karakter yang tersaji dalam jalan cerita film. Banyak karakter yang akhirnya tampil tanpa adanya pendalaman yang jelas, termasuk dua karakter pendukung utama yang diperankan Kimberly Ryder dan Alexa Key. Kedua karakter tersebut nyaris hadir hanya sebagai plot device untuk memberikan permasalahan dalam kehidupan sang karakter utama. Lebih dari itu, penonton sama sekali tidak diberikan kesempatan untuk mengenal lebih dalam siapa karakter tersebut meskipun keduanya memiliki peran yang cukup krusial dalam jalan cerita. Begitu pula dengan karakter-karakter lain yang terlihat hilir mudik di dalam jalan penceritaan film tanpa pernah mendapatkan ruang pengisahan yang tepat.

Departemen akting Romeo + Rinjani sendiri diisi deretan pemeran muda dengan penampilan yang tidak mengecewakan. Deva Mahenra, yang mendapatkan peran utama perdananya di film ini, mampu menunjukkan bahwa dirinya layak diperhitungkan sebagai aktor utama yang kuat bagi banyak film Indonesia di masa mendatang. Alexa Key dan Kimberly Ryder sendiri tampil dalam penampilan yang sesuai dengan kapasitas akting mereka. Tidak istimewa, namun jelas bukanlah dua penampilan yang buruk. Sayang, kedangkalan penulisan karakter dalam film ini menghalangi setiap aktor yang berperan di dalamnya untuk dapat tampil lebih lugas lagi dalam menghidupkan setiap karakter yang mereka perankan. [C-]

Romeo + Rinjani (2015)

Directed by Fajar Bustomi Produced by Chand Parwez Servia, Fiaz Servia Written by Angling Sagaran Starring Deva Mahenra, Kimberly Ryder, Alexa Key, Donna Harun, Fico Fachriza, Ryn Chibi, Novi Chibi, Gary Iskak, Ananda Faturrahman, Sam Brodie, Sammy Not a Slim Boy, Sandrinna Michelle Skornicki, Uus, Amel Alvie, Iranty Purnamasari, Gani Kurniawan, Jefan Nathanio, Adjis Doaibu Music by Tya Subiakto Satrio Cinematography Paps Bill Siregar Editing by Cesa David Luckmansyah Studio Starvision Running time 80 minutes Country Indonesia Language Indonesian

Review: Guru Bangsa Tjokroaminoto (2015)

guru-bangsa-tjokroaminoto-posterMembuat sebuah film biopik jelas bukanlah sebuah perkara mudah. Masalah terbesar? Lupakan bagaimana cara untuk menemukan pemeran yang tepat – dan, ada baiknya, memiliki karakteristik fisik yang serupa – untuk memerankan karakter tersebut. Yes. It sure is a big problem. Namun menyajikan rangkuman perjalanan panjang kehidupan satu karakter dalam sebuah alur penceritaan dengan sebuah batasan waktu jelas adalah masalah yang lebih pelik. Masalah itulah yang seringkali menghantui banyak film biopik – buatan lokal maupun internasional, tidak terkecuali pada film biopik terbaru garapan Garin Nugroho mengenai salah satu tokoh pelopor pergerakan Indonesia, Oemar Said Tjokroaminoto, yang berjudul Guru Bangsa Tjokroaminoto.

Naskah cerita Guru Bangsa Tjokroaminoto yang digarap oleh Ari Syarif dan Erik Supit berdasarkan ide cerita yang mereka kembangkan bersama Sabrang Mowo Damar Panuluh, Garin Nugroho dan Kemal Pasha Hidayat sendiri sebenarnya telah membatasi perjalanan film ini untuk hanya meliputi masa perjuangan Oemar Said Tjokroaminoto yakni ketika ia mendirikan organisasi Sarekat Islam pada tahun 1912 hingga ia kemudian ditahan oleh pihak Belanda pada tahun 1921 – dengan sekelumit kisah tambahan dari berbagai dimensi kehidupannya. Namun, dengan kehadiran banyaknya plot cerita hingga karakter pendukung yang berada dalam kehidupannya, kisah Oemar Said Tjokroaminoto masih tetap terasa cukup kompleks bahkan untuk dipadatkan dalam durasi penceritaan sepanjang 161 menit.

Penumpukan konflik dan karakter dalam Guru Bangsa Tjokroaminoto benar-benar terasa di bagian awal penceritaan. Garapan Garin Nugroho yang menyajikan kisahnya dengan tempo yang lumayan cepat juga tidak banyak membantu: penonton jelas akan merasa sedikit dipusingkan dengan kehadiran banyak konflik maupun karakter yang secara silih berganti hadir di hadapan mereka tanpa pernah diberi kesempatan untuk mengenal konflik maupun karakter tersebut dengan lebih seksama. Pun begitu, seiring dengan melambannya tempo pengisahan cerita sekaligus mengerucutnya konflik dan karakter yang hadir dalam jalan cerita, Guru Bangsa Tjokroaminoto baru menemukan pijakan penceritaan yang pas. Garin secara perlahan mulai memberikan ruang yang cukup bagi setiap konflik untuk berkembang dengan baik maupun setiap karakter untuk mendapatkan fungsi penceritaan mereka dengan tepat. Membutuhkan waktu namun jelas kemudian mampu tampil dengan garapan yang kuat.

Berbeda dengan film biopik Soegija (2012) garapan Garin sebelumnya yang dipenuhi dengan berbagai kiasan maupun metafora, Guru Bangsa Tjokroaminoto jelas terasa lebih mudah diakses kisahnya. Garin tetap menghadirkan satu, dua metafora dalam penceritaan film ini – bersuasana teatrikal dengan tujuan untuk lebih memadatkan jalan cerita – namun tetap terasa ringan sekaligus emosional untuk diikuti. Tidak lupa, Garin juga menyajikan filmnya dengan tatanan teknikal yang benar-benar berkelas. Sinematografi arahan Ipung Rachmat Syaiful yang puitis melengkapi kekuatan jalan penceritaan Guru Bangsa Tjokroaminoto. Begitu pula dengan tata musik garapan Andi Rianto yang begitu mampu meningkatkan sisi emosional dari setiap adegan film tanpa pernah membuatnya terasa mendayu-dayu secara berlebihan. Bahkan, adalah cukup adil untuk meletakkan komposisi musik Andi Rianto untuk film ini sebagai salah satu komposisi musik film Indonesia terbaik dalam beberapa tahun terakhir. It’s that good!

Dipimpin oleh Reza Rahadian yang berperan sebagai sang karakter utama, departemen akting Guru Bangsa Tjokroaminoto juga tergarap dengan sangat baik – jika Anda tidak ingin menyebutnya sempurna. Anda lelah dengan kehadiran Reza Rahadian dalam setiap film Indonesia yang Anda saksikan? Mungkin saja. Namun, dengan melihat dedikasi kuatnya dalam berperan sebagai Oemar Said Tjokroaminoto, siapapun jelas tidak akan mampu memungkiri bahwa Reza Rahadian adalah aktor terbaik di generasinya. Aktor yang dapat memerankan setiap karakter dengan begitu sempurna – dan membuat aktingnya terlihat begitu mudah untuk dilakukan.

Penampilan Reza juga didukung dengan penampilan dan chemistry yang sangat erat dari Putri Ayudya yang berperan sebagai istri dari karakter Oemar Said Tjokroaminoto, Soeharsikin. Penampilan menarik lain datang dari Deva Mahenra – yang terlihat sangat meyakinkan sebagai sosok Soekarno muda yang begitu polos, Chelsea Islan – yang semakin mampu menunjukkan kematangan aktingnya serta Ibnu Jamil, Tanta Ginting dan Ade Firman Hakim yang masing-masing mampu menghidupkan karakter mereka dengan begitu baik. Tidak lupa, dukungan dari aktor dan aktris senior seperti Soedjiwo Tedjo, Christine Hakim dan Didi Petet juga semakin memperkuat kualitas departemen akting film ini. Jangan pula lewatkan penampilan komikal dari seniman ludruk asal Jawa Timur bernama Unit yang perannya sebagai Mbok Toen dalam film ini akan sangat mampu mencuri perhatian tiap penonton.

Guru Bangsa Tjokroaminoto jelas sekali lagi membuktikan kehandalan seorang Garin Nugroho. Meskipun hadir dengan beberapa masalah penumpukan konflik dan karakter khususnya di awal pengisahan namun secara keseluruhan Guru Bangsa Tjokroaminoto tetap mampu hadir sebagai sebuah film biopik yang mampu hadir kuat dengan garapan tata teknikal yang berkelas, penampilan para pengisi departemen akting yang sangat solid serta, tentu saja, pengarahan cerita yang akan sangat mampu membuat setiap penontonnya tergugah mengenai bagaimana situasi politik Indonesia saat ini tidak begitu banyak berubah dari masa pergerakan yang dikawal oleh Oemar Said Tjokroaminoto. Indonesia’s finest period piece since Sang Penari (2011). A grand beauty! [B]

Guru Bangsa Tjokroaminoto (2015)

Directed by Garin Nugroho Produced by Christine Hakim, Didi Petet, Dewi Umaya Rachman, Sabrang Mowo Damar Panuluh, Nayaka Untara, Ari Syarif Written by Ari Syarif, Erik Supit (screenplay), Ari Syarif, Erik Supit, Sabrang Mowo Damar Panuluh, Garin Nugroho, Kemal Pasha Hidayat (story) Starring Reza Rahadian, Putri Ayudya, Maia Estianty, Christine Hakim, Ibnu Jamil, Alex Komang, Tanta Ginting, Chelsea Islan, Sudjiwo Tejo, Egi Fedly, Christoffer Nelwan, Deva Mahenra, Didi Petet, Ade Firman Hakim, Alex Abbad, Gunawan Maryanto, Jay Widjajanto, Arjan Onderdenwijngaard, Gerard Mosterd, Rudi Corens, Martin Van Bommel, Joanna Dudley, Paul Agusta Music by Andi Rianto Cinematography Ipung Rachmat Syaiful Editing by Wawan I. Wibowo Studio Pic[k]lock Production/Yayasan Keluarga Besar HOS Tjokroaminoto/MSH Films Running time 161 minutes Country Indonesia Language Indonesian

Garin Nugroho Garap ‘Guru Bangsa: Tjokroaminoto’

Setelah menggarap Soegija (2012) yang berhasil merebut perhatian penonton Indonesia sekaligus memperoleh beberapa penghargaan film di tingkat nasional maupun internasional, sutradara Garin Nugroho kembali hadir dengan karya terbarunya yang juga mengupas tentang kehidupan salah satu tokoh nasional Indonesia. Kali ini, Garin menghadirkan film berjudul Guru Bangsa: Tjokroaminoto yang akan mengangkat kehidupan tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, Haji Oemar Said Tjokroaminoto, pada era tahun 1890 – 1920an. Continue reading Garin Nugroho Garap ‘Guru Bangsa: Tjokroaminoto’

Review: Slank Nggak Ada Matinya (2013)

slank-gak-ada-matinya-header

Jika Generasi Biru (2009) yang disutradarai oleh Garin Nugroho, John De Rantau dan Dosy Omar adalah sebuah film musikal eksperimental yang dibuat untuk memperingati 25 tahun perjalanan karir bermusik Slank, maka Slank Nggak Ada Matinya mungkin akan lebih tepat dilihat sebagai retrospektif terhadap 30 tahun keberadaan Slank di industri musik Indonesia dengan jalan penceritaan yang lebih berfokus pada setiap pribadi yang mengisi kelompok musik tersebut. Berbeda dengan Generasi Biru dimana masing-masing personel Slank turut berlaku sebagai pemeran utama dalam film tersebut, Slank Nggak Ada Matinya menempatkan Adipati Dolken, Ricky Harun, Aaron Shahab, Ajun Perwira dan Deva Mahendra yang masing-masing berperan sebagai para personel Slank. Lalu, apakah kelima aktor muda Indonesia tersebut mampu memerankan serta menghidupkan karakter para personel Slank yang semenjak lama dikenal sebagai sosok yang cukup eksentrik tersebut?

Continue reading Review: Slank Nggak Ada Matinya (2013)