Review: 99 Nama Cinta (2019)


Setelah Sabtu Bersama Bapak (Monty Tiwa, 2016) dan Bangkit! (Rako Prijanto, 2016), Acha Septriasa dan Deva Mahenra kembali tampil bersama dalam terbaru arahan Danial Rifki (Melbourne Rewind, 2016) yang berjudul 99 Nama Cinta. Septriasa berperan sebagai Talia, seorang presenter sekaligus produser sebuah acara infotainmen popular yang kini harus berhadapan dengan kenyataan pahit bahwa penayangan acaranya harus dihentikan karena tersandung oleh masalah hukum. Tidak berhenti disana, Talia kini juga dialihtugaskan untuk menjadi produser bagi acara reliji yang tayang di pagi hari dan dikenal sebagai program yang paling tidak diminati di stasiun televisi tempatnya bekerja. Pun begitu, Talia tidak menyerah begitu saja. Usahanya untuk menghidupkan acara reliji tersebut kemudian membawanya pada sosok Kiblat (Mahenra) – seorang ustaz muda yang sebenarnya juga merupakan sahabat Talia di masa kecilnya. Meskipun dengan sejarah persahabatan diantara mereka serta hubungan akrab yang terjalin antara orangtua keduanya, perbedaan jalan sekaligus pandangan hidup di masa dewasa membuat Talia dan Kiblat sama-sama terasa tidak pernah akur. Tetap saja, cinta selalu dapat menemukan jalannya untuk mencuri hati setiap insan yang diincarnya.

Tidak mudah untuk menggarap sebuah film dengan naskah cerita yang berniat untuk mengangkat pesan maupun nilai moral keagamaan. Dengan pengembangan yang kurang handal, banyak diantara film-film yang mengemban nilai reliji tersebut kemudian berakhir dengan citarasa yang tendensius dalam penyampaian alur ceritanya. Beruntung, 99 Nama Cinta bukanlah salah satu film yang gagal dalam melaksanakan tugasnya. Walau menjadikan Asma’ul Husna – sebutan untuk nama-nama atau gelar bagi Allah yang dikenal oleh umat Muslim – sebagai benang merah bagi barisan konflik yang disajikan dalam paparan penceritaannya, naskah cerita 99 Nama Cinta garapan Rifki bersama dengan Priesnanda Dwisatria (Rectoverso, 2013) dan Mustafa yang dikembangkan berdasarkan ide cerita yang ditulis oleh Garin Nugroho (Kucumbu Tubuh Indahku, 2018) menyajikannya dalam tuturan yang lembut namun tetap lugas sekaligus tegas melalui konflik maupun dialog yang disampaikan para karakter. Hal inilah yang membuat film ini kemudian dapat berbicara secara luas dan tidak terkungkung dengan elemen keagamaan yang dihantarkannya.

Selain hadir dengan penyampaian kisah yang memikat, linimasa cerita 99 Nama Cinta juga mampu menghadirkan barisan karakter yang terbangun dengan baik. Menariknya, karakter-karakter tersebut, dengan berbagai warna dan gambaran kepribadian, tidak pernah diberikan “penghakiman” sebagai sosok yang benar ataupun salah di sepanjang pengisahan film. 99 Nama Cinta mengalun dengan lancar dan membiarkan setiap penonton untuk memberikan reaksi mereka sendiri terhadap berbagai pilihan sikap yang diambil oleh setiap karakter. Meskipun begitu, film ini tidak sepenuhnya luput dari beberapa kelemahan. Sejumlah konflik tampil dengan tingkat kematangan yang kurang memuaskan – pemaparan tentang bencana alam di paruh ketiga film, contohnya, terasa terlalu monoton dalam penyampaiannya. Ritme pengarahan Rafki juga acapkali tampil terbata-bata. Banyak elemen kisah yang disajikan terburu-buru sehingga kurang mampu untuk mendapatkan sentuhan emosional yang lebih mendalam. Kualitas departemen produksi yang terasa jauh dari kesan istimewa turut menghadang film ini untuk tampil dengan potensi unggul yang lebih utuh.

Departemen akting 99 Nama Cinta sendiri hadir dengan nyaris tanpa cela. Chemistry antara Septriasa dan Mahenra mampu memberikan dorongan energi bagi alur pengisahan film. Secara personal, baik Septriasa maupun Mahenra juga tampil kuat guna menghidupkan karakter-karakter yang mereka perankan. Penampilan keduanya sekaligus menjadi jiwa sekaligus nyawa bagi tiap detak kehidupan jalan penceritaan film. Departemen akting film ini juga menghadirkan penampilan yang begitu mencuri perhatian dari Adinda Thomas. Perannya sebagai asisten bagi karakter yang diperankan oleh Septriasa yang bernama Mlenuk mampu dihadirkan dengan sentuhan komikal yang tepat namun, di saat yang bersamaan, juga tidak pernah terasa konyol. Penampilan dari Ira Wibowo, Donny Damara, Susan Sameh, dan Chicki Fawzi semakin mempersolid kualitas departemen akting film ini.

popcornpopcornpopcornpopcorn3popcorn2

99-nama-cinta-acha-septriasa-deva-mahenra-film-indonesia-movie-poster99 Nama Cinta (2019)

Directed by Danial Rifki Produced by Ferry Ardiyan Written by Priesnanda Dwisatria, Mustafa, Danial Rifki (screenplay), Garin Nugroho (story) Starring Acha Septriasa, Deva Mahenra, Ira Wibowo, Donny Damara, Chicki Fawzi, Adinda Thomas, Susan Sameh, Dzawin, Robby Purba Music by Andi Rianto Cinematography Gunung Nusa Pelita Edited by Wawan I. Wibowo Production company MNC Pictures Running time 106 minutes Country Indonesia Language Indonesian

2 thoughts on “Review: 99 Nama Cinta (2019)”

Leave a Reply