Tag Archives: Eriska Rein

Review: Teka-teki Tika (2021)

Dalam film cerita panjang keenam yang ia tulis dan arahkan, Ernest Prakasa (Imperfect, 2019) mencoba untuk keluar dari wilayah nyaman penuturan komedi yang sebelumnya telah begitu melekat pada setiap karyanya. Well… Prakasa sebenarnya tidak menghilangkan unsur komedi secara utuh dari linimasa pengisahan Teka-teki Tika. Meskipun kental dengan nuansa drama misteri, film ini disajikan dengan bangunan konflik dan dialog yang cenderung ringan. Prakasa juga masih menghadirkan sosok karakter bernilai komikal guna mengeksekusi dialog-dialog pemancing senyum maupun tawa yang digarapnya. Tetap saja, Teka-teki Tika adalah sebuah penyegaran dalam filmografi Prakasa – meskipun tidak diiringi dengan kualitas cerita yang terasa mampu menyegarkan. Continue reading Review: Teka-teki Tika (2021)

Review: Layla Majnun (2021)

Setelah Test Pack: You Are My Baby (2012), sutradara Monty Tiwa kembali mempertemukan Reza Rahadian dengan Acha Septriasa dalam film arahannya yang terbaru, Layla Majnun. Merasa familiar dengan judul tersebut? Meskipun bukanlah adaptasi langsung dari kumpulan puisi legendaris Layla and Majnun karangan sastrawan asal Azerbaijan, Nezami Ganjavi, namun naskah cerita film yang ditulis oleh Alim Sudio (Mariposa, 2020) masih menggunakan esensi serta tema cerita senada seperti yang diusung oleh barisan puisi karya Ganjavi yang alur kisahnya mendapat julukan The Romeo and Julie of the East karena kandungan cerita cinta tak berbalasnya yang mengingatkan banyak orang pada kisah Romeo and Juliet yang ditulis oleh William Shakespeare. Lalu bagaimana eksplorasi cerita yang dilakukan oleh Tiwa dan Sudio dalam mengelola alur dan konflik romansa yang sebenarnya telah dituturkan berulang kali? Continue reading Review: Layla Majnun (2021)

Review: A Man Called Ahok (2018)

Merupakan film panjang naratif pertama Putrama Tuta setelah sebelumnya mengarahkan versi teranyar dari Catatan Harian Si Boy (2011), A Man Called Ahok adalah film biopik yang berkisah tentang kehidupan mantan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, dengan naskah cerita yang digarap oleh Tuta bersama dengan Ilya Sigma (Rectoverso, 2013) dan Dani Jaka Sembada (Pizza Man, 2015) berdasarkan buku berjudul sama yang ditulis oleh Rudi Valinka. Daripada menitikberatkan pengisahan film pada karakter Basuki Tjahaja Purnama serta tindakan dan pemikiran politik yang membuat keberadaannya begitu dikenal seperti saat ini, A Man Called Ahok sendiri memilih untuk mengekplorasi masa muda dari sang karakter, kehidupan masa kecilnya di Belitung, serta hubungannya dengan sang ayah yang nantinya membentuk karakter dari Basuki Tjahaja Purnama dewasa. Pilihan yang menarik walau naskah garapan Tuta, Sigma, dan Sembada kemudian kurang mampu menghadirkan keseimbangan penceritaan antara karakter Basuki Tjahaja Purnama dengan karakter sang ayah yang juga tampil mendominasi linimasa penceritaan film. Continue reading Review: A Man Called Ahok (2018)

Review: YouTubers (2015)

youtubers-posterSetelah I Know What You Did on Facebook (2010) dan #republiktwitter (2012), jelas tidak mengherankan jika saluran media sosial internet lain kemudian menjadi sumber inspirasi bagi film Indonesia lainnya. Diarahkan serta ditulis naskahnya oleh duo Kemal Palevi dan Jovial da Lopez, YouTubers adalah sebuah film yang sepertinya ingin memperkenalkan para penggiat video kreatif YouTube asal Indonesia ke khalayak yang lebih luas sekaligus memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengetahui setiap langkah proses pembuatan sebuah video sebelum akhirnya video tersebut diunggah ke berbagai saluran YouTube dan disaksikan jutaan pasang mata dari seluruh penjuru dunia. Terdengar terlalu serius? Tidak juga. Disajikan dalam nada pengisahan komedi yang kental, YouTubers mampu tampil cukup menghibur meskipun dengan beberapa kelemahan yang hadir di berbagai sudut penampilannya.

Jalan cerita YouTubers sendiri dimulai dengan pengisahan tentang seorang pemuda bernama Jovial da Lopez (Jovial da Lopez) yang demi berusaha untuk mengesankan sang kekasih, Alexandra (Anggika Bolssterli), kemudian mengikuti proses casting sebuah film yang diarahkan oleh Hanung Bramantyo. Tidak hanya mendapatkan penolakan, proses casting yang diikuti Jovial berjalan begitu memalukan. Lebih sial lagi, adik Jovial, Andovi da Lopez, merekam seluruh proses casting tersebut dan kemudian mengunggahnya ke YouTube. Jelas Jovial kemudian merasa Andovi telah mempermalukan dirinya. Namun, ketika melihat reaksi internet yang cukup positif terhadap unggahan video tersebut yang dinilai lucu dan menghibur, Jovial dan Andovi mulai menyusun rencana untuk membuat video yang akan diunggah ke YouTube secara regular. Dalam waktu singkat, saluran YouTube yang dimiliki oleh Jovial dan Andovi mendapatkan banyak penggemar dan membuka pintu mereka untuk berkenalan sekaligus bekerjasama dengan banyak penggiat video YouTube lainnya.

Meskipun masih mampu hadir dengan beberapa guyonan yang harus diakui cukup menghibur namun naskah cerita YouTubers jelas merupakan bagian terlemah dari presentasi keseluruhan film ini. Naskah cerita garapan Kemal Palevi dan Jovial da Lopez terkesan hanyalah sebagai kumpulan beberapa sketsa komedi yang kemudian berusaha direkatkan oleh jalinan kisah utama hubungan karakter Jovial da Lopez dan Andovi da Lopez dalam usaha mereka untuk bersaing dan memproduksi deretan video yang akan mereka unggah ke YouTube. Tidak benar-benar buruk namun jelas masih terasa sebagai sebuah usaha yang minimalis ketika baik Kemal Palevi maupun Jovial da Lopez masih memperlakukan debut penyutradaraan mereka setara dengan usaha untuk mengarahkan sebuah video berdurasi singkat yang biasa mereka unggah ke YouTube.

YouTubers juga memberikan ruang yang (terlalu) luas bagi kehadiran cameo yang berisikan wajah-wajah familiar di industri film Indonesia sekaligus banyak para penggiat video kreatif YouTube popular asal Indonesia. Sayangnya, deretan cameo ini secara perlahan lebih sering terasa sebagai distraksi terhadap jalan cerita yang sedang berjalan daripada sebagai elemen hiburan maupun pelengkap bagi pengisahan YouTubers. Cukup mengganggu khususnya ketika film ini menghabiskan cukup banyak durasi penceritaannya bagi kehadiran deretan cameo tersebut dan bukan untuk penggalian kisah yang lebih mendalam. YouTubers mungkin diniatkan sebagai sebuah sajian untuk bersenang-senang – termasuk dengan penampilan para jajaran pemerannya yang hampir seluruhnya hadir sebagai diri mereka sendiri. Namun hal tersebut jelas bukan alasan untuk menyajikannya sebagai sebuah komedi dangkal. [C-]

YouTubers (2015)

Directed by Kemal Palevi, Jovial da Lopez Produced by Chand Parwez Servia, Fiaz Servia Written by Kemal Palevi, Jovial da Lopez Starring Jovial da Lopez, Andovi da Lopez, Anggika Bolsterli, Kemal Palevi, Donna Harun, DJ Yasmin, Ge Pamungkas, Yuniza Icha, Adinda Thomas, Rayi Putra, Marlo Ernesto, Hanung Bramantyo, Zaskia Adya Mecca, Fajar Nugros, Rani Ramadhany, Pandji Pragiwaksono, Tyas Mirasih, Eriska Rein, Pamela Bowie, Akbar Kobar, Sacha Stevenson, Natasha Farani, Ucok Baba, Agung Herkules, Benakribo, Edho Zell, Chandra Liow, Bayu Skak, Alfi Sugoi, Eno Bening, Duo Serigala, Raza Servia, Cesa David Luckmansyah Music by Andhika Triyadi Cinematography Roby Herbi Editing by Cesa David Luckmansyah Studio Starvision Running time 96 minutes Country Indonesia Language Indonesian

Review: Aku Cinta Kamu (2014)

Aku Cinta Kamu adalah sebuah omnibus yang berisikan empat film pendek yang diarahkan oleh empat sutradara berbeda. Persamaan antara keempat film pendek tersebut? Seluruh film pendek yang mengisi Aku Cinta Kamu naskah ceritanya ditulis oleh Cassandra Massardi (Slank Nggak Ada Matinya, 2013) berdasarkan lagu-lagu yang ditulis oleh Satriyo Yudi Wahono – sosok yang di blantika musik Indonesia lebih dikenal dengan sebutan Piyu. Well… seperti yang mungkin dapat digambarkan banyak penonton dari judul film ini, Aku Cinta Kamu berniat untuk memberikan gambaran mengenai berbagai peristiwa besar nan dramatis yang dapat terjadi dalam kehidupan manusia akibat dipicu dari penggunaan kalimat sederhana “aku cinta kamu”. Sounds romantic? Mungkin saja. Sayangnya, kecuali Anda menganggap kedangkalan penceritaan, pengarahan yang lemah, akting yang kaku dan jauh dari meyakinkan adalah sesuatu hal yang romantis, maka Anda kemungkinan besar tidak akan menemukan satupun sentuhan romansa dalam jalan penceritaan Aku Cinta Kamu.

Continue reading Review: Aku Cinta Kamu (2014)

Review: Manusia Setengah Salmon (2013)

manusia-setengah-salmon-header

Mudah-mudahan Anda masih belum merasa jenuh dengan kehadiran Raditya Dika. Hanya dalam jeda beberapa bulan setelah merilis Cinta Brontosaurus dan Cinta dalam Kardus, sang raja stand up comedy Indonesia kini hadir lagi dalam film ketiganya di tahun 2013, Manusia Setengah Salmon. Seperti halnya Cinta Brontosaurus, Manusia Setengah Salmon diadaptasi dari buku populer berjudul sama karya Raditya Dika yang juga sekaligus menjadi sekuel bagi Cinta Brontosaurus. Layaknya sebuah sekuel, Manusia Setengah Salmon masih berbagi begitu banyak kemiripan dengan seri pendahulunya: Anda masih akan melihat karakter-karakter yang sama, gaya humor khas Raditya Dika yang familiar serta sederetan dialog bernuansa puitis yang jelas akan segera menjadi kutipan favorit para penonton remaja. Namun, berbeda dengan Cinta Brontosaurus, Raditya Dika mampu memberikan struktur jalan cerita yang lebih terpadu pada Manusia Setengah Salmon sehingga membuatnya menjadi lebih matang dalam bercerita dan jauh lebih menyenangkan untuk diikuti.

Continue reading Review: Manusia Setengah Salmon (2013)

Review: Cinta Brontosaurus (2013)

cinta-brontosaurus-header

Diangkat dari buku berjudul sama karya Raditya Dika, Cinta Brontosaurus berkisah mengenai deretan ketidakberuntungan yang dialami oleh seorang pemuda bernama Dika (Raditya Dika) ketika ia harus berhadapan dengan masalah cinta. Ketika hubungan romansanya dengan Nina (Pamela Bowie) berakhir kandas seperti deretan kisah percintaannya yang telah lalu, Dika akhirnya mendeklarasikan bahwa ia tidak akan lagi mau merasakan yang namanya jatuh cinta. Dika bahkan menyamakan perasaan cinta tersebut layaknya seekor brontosaurus yang suatu saat akan menemukan masa kadaluarsanya… dan kemudian menghilang begitu saja. Pernyataan tersebut jelas ditolak oleh sahabat sekaligus agen penerbitan Dika, Kosasih (Soleh Solihun), yang disaat bersamaan sedang menjalin hubungan romansa dengan Wanda (Tyas Mirasih). Kosasih lantas berinisiatif untuk memperkenalkan Dika dengan beberapa gadis yang dinilainya sesuai dengan kriteria pemuda tersebut.

Continue reading Review: Cinta Brontosaurus (2013)

Review: Negeri 5 Menara (2012)

Tidak salah jika Negeri 5 Menara kemudian mendapatkan perbandingan dalam skala berat terhadap film Laskar Pelangi (2008) yang legendaris itu. Sama-sama merupakan film dengan naskah cerita yang mengadaptasi sebuah novel popular, sama-sama mengisahkan mengenai perjuangan beberapa anak dari keluarga dari strata sosial menengah ke bawah yang mencoba untuk mencapai mimpi besar mereka serta, tentunya, sama-sama mengisahkan mengenai persahabatan erat yang kemudian terjalin antara mereka terlepas dari berbagai perbedaan yang terdapat dalam diri masing-masing, Negeri 5 Menara, sayangnya tidak memiliki kedalaman cerita seperti yang dimiliki Laskar Pelangi. Affandi Abdul Rachman (The Perfect House, 2011) kembali membuktikan kehandalannya dalam mengarahkan cerita dan para pengisi departemen akting filmnya. Namun jalan cerita yang minim konflik yang berarti membuat Negeri 5 Menara terasa tidak memiliki esensi cerita yang kuat untuk disampaikan.

Continue reading Review: Negeri 5 Menara (2012)