Review: Bumi Manusia (2019)


Merupakan buku pertama dari rangkaian Tetralogi Buru yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer dan diterbitkan dari tahun 1980 hingga tahun 1988, Bumi Manusia mungkin merupakan salah satu buku paling popular – dan paling penting – di dunia kesusastraan Indonesia. Pelarangan terbit dan edar yang diberlakukan pemerintah Republik Indonesia terhadap buku tersebut dengan tuduhan mempropagandakan ajaran-ajaran Marxisme-Leninisme dan Komunisme pada tahun 1981 hingga masa jatuhnya rezim Orde Baru tidak pernah mampu meredupkan kepopulerannya. Bumi Manusia bahkan mendapatkan perhatian khalayak internasional dan kemudian diterbitkan dalam 33 bahasa. Usaha untuk menterjemahkan narasi Bumi Manusia dari bentuk buku menjadi tatanan pengisahan audio visual sendiri telah dimulai semenjak tahun 2004 dan sempat melibatkan nama-nama sineas kenamaan Indonesia seperti Deddy Mizwar, Garin Nugroho, hingga Mira Lesmana dan Riri Riza. Langkah nyata untuk membawa Bumi Manusia ke layar lebar akhirnya benar-benar terwujud pada tahun 2018 ketika Falcon Pictures mengumumkan bahwa rumah produksi tersebut akan memproduksi film adaptasi Bumi Manusia dengan Hanung Bramantyo (Sultan Agung, 2018) bertindak sebagai sutradara.

Dengan naskah cerita yang ditulis oleh Salman Aristo (Buka’an 8, 2018), Bumi Manusia memiliki latar belakang pengisahan pada awal abad 20 ketika Indonesia masih berada di bawah jajahan Belanda. Kala itu, tatanan sosial yang berlaku di masyarakat dibangun berdasarkan pada struktur rasial – para penjajah dan/atau pendatang berdarah Eropa menempati kelas sosial paling tinggi serta, tentu saja, warga pribumi menjadi pesakitan dan dipandang rendah keberadaannya. Minke (Iqbaal Ramadhan), seorang pribumi keturunan Jawa ningrat, mendapati dirinya jatuh cinta terhadap sosok Annelies Mellema (Mawar de Jongh), seorang gadis berdarah campuran akibat hubungan di luar nikah antara ayahnya yang berasal dari Belanda, Herman Mellema (Peter Stark), dengan seorang wanita pribumi yang dikenal dengan sebutan Nyai Ontosoroh (Sha Ine Febriyanti). Hubungan tersebut jelas mendapatkan penolakan dan pandangan negatif dari banyak pihak. Namun, Minke tidak gentar. Bahkan, dari perjalanan pribadi kisah cintanya tersebut, Minke mulai tersadar mengenai lemahnya kondisi bangsanya sendiri.

Dengan kisah yang memuat cukup banyak konflik internal yang terjadi di dalam diri para protagonisnya sekaligus berbagai catatan mengenai kehidupan rakyat Indonesia di bawah pemerintahan kolonial Belanda, Bumi Manusia memang bukanlah sebuah satuan pengisahan yang mudah untuk ditaklukkan. Bramantyo dan Aristo sendiri lantas memilih untuk menempatkan kisah cinta antara karakter Minke dan Annelies Mellema sebagai tulang punggung pengisahan adaptasi Bumi Manusia yang secara perlahan kemudian membuka ruang bagi berbagai konflik lain bernuansa sejarah untuk tampil dan berkisah. Berhasil? Tidak juga. Usaha Aristo untuk mencakup seluruh konflik dan karakter yang terdapat dalam novel Bumi Manusia dalam naskah ceritanya lebih sering terasa sebagai ringkasan daripada penuturan ulang yang solid. Efeknya, semenjak mulai berkisah, Bumi Manusia terburu-buru dalam menampilkan setiap konflik dan karakter tanpa pernah mampu untuk menggali ataupun menyelami konflik maupun karakter tersebut dengan baik – bahkan ketika tata cerita tersebut telah diberikan ruang pengisahan selama 181 menit. Banyak konflik dan karakter hadir dan menghilang dengan begitu saja.

Di saat yang bersamaan, Bumi Manusia juga tampil kesulitan untuk memberikan sentuhan emosional yang kuat bagi kisah cinta yang terjalin antara karakter Minke dan Annelies Mellema. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh minimalisnya pengembangan karakter yang dialami oleh kedua karakter tersebut. Aristo tidak mampu untuk menjadikan karakter Minke terlihat meyakinkan sebagai sosok pemuda yang kritis ataupun cerdas dalam menghadapi setiap problema hidupnya. Keputusan-keputusan yang diambilnya lebih sering terasa dipengaruhi oleh sosok karakter lain sementara kemampuannya dalam menulis tidak pernah benar-benar berhasil ditonjolkan. Karakter Annelies Mellema bahkan mengalami nasib yang lebih buruk. Semenjak awal hingga akhir, karakter tersebut nyaris tampil pasif dan hadir tanpa daya tarik – kecuali kecantikannya, tentu saja – sama sekali. Tidak mengherankan jika kisah cinta antara karakter Minke dan Annelies Mellema gagal untuk tampil mengikat dan cenderung bertele-tele dalam penyampaiannya.

Penyebab lain mengapa sulit untuk merasakan kedalaman kisah cinta yang dihadirkan oleh Bumi Manusia juga datang dari penampilan akting yang serba terbatas dari Ramadhan dan de Jongh. Ramadhan terasa kesulitan untuk menghadirkan jangkauan emosional yang lebih luas bagi karakternya – hal yang membuat penampilan Ramadhan beberapa kali tergelincir dan terlihat sebagai karakter ikoniknya dalam Dilan 1990 (Fajar Bustomi, Pidi Baiq, 2018). Chemistry-nya dengan de Jongh – yang juga tampil dalam kapabilitas akting yang cenderung lemah – juga gagal hadir secara meyakinkan. Departemen akting Bumi Manusia masih beruntung memiliki penampilan kuat Febriyanti yang begitu mengikat dan mampu membuat setiap penonton lupa akan berbagai kelemahan penceritaan film ini setiap karakternya muncul dalam adegan film.

Terlepas dari berbagai kelemahannya, Bumi Manusia sebenarnya bukanlah sebuah presentasi yang buruk. Bramantyo setidaknya masih mampu membangun ritme pengisahan yang cukup mudah untuk dinikmati. Penonton mungkin tidak akan mendapati diri mereka tenggelam dalam berbagai penghayatan sejarah yang kini nyaris hanya tampil sebagai latar belakang saja bagi kisah cinta antara karakter Minke dan Annelies Mellema. Namun, Bramantyo setidaknya sukses membuat Bumi Manusia bercerita secara lugas – sebuah tantangan yang cukup besar ketika Anda sedang menyaksikan presentasi cerita sepanjang 181 menit. Bungkusan tata teknis yang mumpuni juga memberikan dukungan apik bagi kualitas presentasi keseluruhan film. Sebagai film yang dirangkai untuk menjadi sebuah presentasi yang bernilai kolosal, Bumi Manusia terasa tidak mengecewakan. Terasa mewah dan megah meski kadang tampil kurang autentik untuk mewujudkan atmosfer awal peradaban 20 yang ingin dibawakan cerita film ini. [C-]

bumi-manusia-iqbaal-ramadhan-movie-posterBumi Manusia (2019)

Directed by Hanung Bramantyo Produced by Frederica Written by Salman Aristo (screenplay), Pramoedya Ananta Toer (book, Bumi Manusia) Starring Iqbaal Ramadhan, Mawar de Jongh, Sha Ine Febriyanti, Giorgino Abraham, Bryan Domani, Jerome Kurnia, Donny Damara, Ayu Laksmi, Dewi Irawan, Chew Kin Wah, Kelly Tandiono, Christian Sugiono, Hans de Kraker, Ciara Brosnan, Amanda Khairunnisa, Edward Suhadi, Jeroen Lezer, Rob Hammink, Tom de Jong, Peter Sterk, Salome van Gruinsven, Dorien Verdouw, Angelica Reitsma, Ton Feil, Whani Darmawan, Robert Prein, Derk Visser, Arjan Onderdenwijngaard, Peter van Luijk, Annisa Hertami Music by Andhika Triyadi Cinematography Ipung Rachmat Syaiful Edited by Sentot Sahid, Reynaldi Christanto Production company Falcon Pictures Running time 181 minutes Country Indonesia Language Indonesian

3 thoughts on “Review: Bumi Manusia (2019)”

Leave a Reply