Review: Atomic Blonde (2017)


Charlize Theron is a badass who loves to kick asses. Semenjak namanya mulai meraih perhatian banyak perhatian – sekaligus berhasil memenangkan Academy Awards sebagai Best Actress in a Leading Role – ketika memerankan sosok pembunuh berantai bernama Aileen Wuornos dalam Monster (Patty Jenkins, 2003), yang dilanjutkan dengan memerankan karakter pejuang wanita bernama Æon Flux dalam Æon Flux (Karyn Kusama, 2005), hingga kemudian mencuri perhatian sepenuhnya dari Tom Hardy ketika dirinya berperan sebagai Imperator Furiousa dalam Mad Max: Fury Road (George Miller, 2016), para penikmat film dunia tahu bahwa Theron adalah sosok aktris yang gemar untuk memerankan karakter-karakter wanita kuat sekaligus tangguh dalam menghadapi berbagai konflik yang merintanginya. Kegemarannya tersebut kini berlanjut dalam Atomic Blonde – sebuah film aksi yang diproduseri oleh Theron bersama dengan produser film John Wick (Chad Stahelski, 2014), David Leitch, yang kali ini juga membuat debut pengarahan film layar lebarnya.

Dengan naskah cerita yang ditulis oleh Kurt Johnstad (300: Rise of an Empire, 2014) berdasarkan novel grafis berjudul The Coldest City karya Antony Johnston dan Sam Hart, Atomic Blonde memiliki latarbelakang waktu pengisahan di tahun 1989 – tepatnya di hari-hari menjelang keruntuhan Tembok Berlin yang telah memisahkan Jerman Timur dengan Jerman Barat semenjak tahun 1961. Dikisahkan, seorang agen rahasia MI6 asal Inggris, James Gascoigne (Sam Hargrave), ditembak dan dibunuh oleh seorang agen rahasia KGB asal Uni Soviet, Yuri Bakhtin (Jóhannes Jóhannesson), yang sekaligus mencuri daftar nama seluruh agen rahasia yang bertugas di Uni Soviet yang dikenal dengan sebutan The List. MI6 lantas mengirimkan salah satu agen rahasia terbaiknya, Lorraine Broughton (Theron), dengan misi untuk merebut kembali The List sekaligus membunuh seorang agen ganda bernama Satchel yang diduga telah mengkhianati James Gascoigne sekaligus menjual berbagai informasi penting kepada pihak Uni Soviet selama bertahun-tahun.

Tidak seperti John Wick yang hadir dengan karakter sekaligus plot pengisahan yang cenderung minimalis, Atomic Blonde tampil dengan penceritaan bernuansa spionase yang diisi dengan kehadiran banyak karakter serta deretan intrik yang cukup rumit. Dalam 115 menit durasi presentasi film ini, Leitch secara perlahan memaparkan karakter demi karakter dan intrik demi intrik yang telah digariskan oleh naskah cerita buatan Johnstad yang mampu membawa penontonnya ke dalam rasa penasaran dari pertanyaan siapa karakter yang harus dipercaya dalam pengisahan film ini. Tidak selamanya mampu berjalan dengan mulus. Pada beberapa bagian cerita, Atomic Blonde terasa berjalan dengan ritme yang terlalu datar dalam menyajikan misteri spionasenya. Banyak karakter dan konflik yang tersaji juga kurang mampu untuk dihadirkan dengan pendalaman kisah yang lebih kuat. Beruntung, dengan kelihaian Leitch dalam menggarap deretan adegan aksi yang memukau sekaligus daya tarik Theron yang kuat, Atomic Blonde sama sekali tidak pernah terasa jatuh dalam kesan penceritaan yang membosankan.

Tidak hanya memperkuat garapan penampilan aksi film, Leitch juga melengkapi Atomic Blonde dengan penampilan yang begitu stylish. Warna-warna terang neon – yang mungkin akan mengingatkan sebagian penonton kepada film-film arahan Nicolas Winding Refn – menghiasi banyak adegan film. Leitch juga merangkai tiap adegan filmnya dengan deretan lagu dari Depeche Mode, George Michael, Nena, Duran Duran, Queen hingga Led Zeppelin yang mampu menghasilkan lebih banyak energi pada pengisahan film ini. Tambahan tata musik bernuansa elektronik hasil garapan Tyler Bates serta tata gambar buatan Elísabet Ronaldsdóttir kemudian mampu menghasilkan deretan adegan aksi yang benar-benar memikat untuk dinikmati. Harus diakui, tampilan stylish yang diberikan Leitch pada Atomic Blonde terkadang mendistraksi penonton dari konflik pengisahan yang sedang berlangsung. Meskipun begitu, pilihan Leitch untuk menjadikan filmnya tampil lebih hidup dan hangat jelas bukanlah sebuah pilihan yang salah.

Selain Theron, yang hadir dengan kapasitas akting dan kemampuan beraksi yang maksimal, jajaran pengisi departemen akting film ini juga diisi nama-nama dengan kemampuan akting yang juga jelas tidak perlu diragukan lagi. Nama-nama seperti James McAvoy, John Goodman, Toby Jones, Eddie Marsan hingga Til Schweiger mampu memberikan film ini detak kehidupan yang begitu meyakinkan – meskipun karakter mereka seringkali hadir dalam kapasitas yang (terlalu) minimalis. Aktris Sofia Boutella juga tampil dengan chemistry dan kharisma yang mampu menyaingi kehadiran Theron. Sayangnya, karakter yang diperankan Boutella tampil begitu terbatas hingga akhirnya penampilannya yang seringkali mencuri perhatian gagal untuk memberikan kesan yang lebih mendalam. Selebihnya, Atomic Blonde adalah presentasi aksi yang tidak mengecewakan. Mungkin tidak sesolid yang diharapkan namun kemampuan pengarahan Leitch mampu membuat Atomic Blonde tampil lebih dari sekedar film aksi kacangan. [B-]

atomic-blonde-charlize-theron-movie-posterAtomic Blonde (2017)

Directed by David Leitch Produced by Charlize Theron, Beth Kono, A. J. Dix, Kelly McCormick, Eric Gitter, Peter Schwerin Written by Kurt Johnstad (screenplay), Antony Johnston, Sam Hart (graphic novel, The Coldest City) Starring Charlize Theron, James McAvoy, John Goodman, Til Schweiger, Eddie Marsan, Sofia Boutella, Toby Jones, Bill Skarsgård, Sam Hargrave, James Faulkner, Roland Møller, Barbara Sukowa, Jóhannes Jóhannesson Music by Tyler Bates Cinematography Jonathan Sela Editing by Elísabet Ronaldsdóttir Studio Denver and Delilah Productions/Closed on Mondays Entertainment/87Eleven Running time 115 minutes Country United States Language English

4 thoughts on “Review: Atomic Blonde (2017)”

Leave a Reply