Sebelas tahun semenjak perilisan Iron Man (Jon Favreau, 2008) dan sembilan belas film lain yang dirilis guna mengisi linimasa pengisahan Marvel Cinematic Universe, Marvel Studios merilis Captain Marvel yang menandai kali perdana dimana sosok pahlawan super perempuan menjadi karakter utamanya. Seperti halnya film-film pertama para pahlawan super buatan Marvel Studios sebelumnya, Captain Marvel juga merupakan sebuah origin story yang akan memperkenalkan pada penonton mengenai sosok sang pahlawan super, kekuatan yang dimilikinya, hingga berbagai masalah yang menghampirinya ketika ia berusaha untuk mengenal sekaligus mengendalikan kekuatan yang ia miliki tersebut. Sebuah plot pengisahan yang cukup mendasar bagi sebuah film yang berasal dari semesta cerita tentang kehidupan para pahlawan super. Namun, terlepas dari berbagai elemen familiar dari penceritaan tersebut, garapan duo sutradara Anna Boden dan Ryan Fleck (It’s Kind of a Funny Story, 2010) berhasil mengemas Captain Marvel tetap menjadi sajian yang terasa segar dan sangat, sangat menyenangkan untuk diikuti. Continue reading Review: Captain Marvel (2019)
Tag Archives: Jude Law
Review: Fantastic Beasts: The Crimes of Grindelwald (2018)
Merupakan film kedua dari lima film yang direncanakan akan hadir dalam seri Fantastic Beasts yang naskah ceritanya dikembangkan dari buku Fantastic Beasts and Where to Find Them garapan J. K. Rowling, Fantastic Beasts: The Crimes of Grindelwald memiliki linimasa yang berlatar waktu pengisahan beberapa bulan setelah terjadinya berbagai konflik yang dikisahkan pada Fantastic Beasts and Where to Find Them (David Yates, 2016). Dikisahkan, penyihir hitam Gellert Grindelwald (Johnny Depp) yang sebelumnya telah ditangkap oleh Magical Congress of the United States of America dengan bantuan Newt Scamander (Eddie Redmayne) kini berhasil melarikan diri dan segera mulai mengumpulkan banyak pengikutnya untuk dapat membantunya mewujudkan ambisi terbesarnya: mengumpulkan seluruh penyihir berdarah murni dan kemudian menguasai seluruh umat manusia. Rencana yang jelas akan menimbulkan perpecahan di dunia sihir tersebut jelas mendapatkan tentangan dari banyak pihak, termasuk dari Albus Dumbledore (Jude Law), yang di masa lalu sebenarnya memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Gellert Grindelwald. Percaya bahwa hanya Newt Scamander yang memiliki kemampuan untuk dapat mengalahkan Gellert Grindelwald, Albus Dumbledore akhirnya meminta bantuan pada mantan muridnya tersebut. Continue reading Review: Fantastic Beasts: The Crimes of Grindelwald (2018)
Review: King Arthur: Legend of the Sword (2017)
Kisah King Arthur dan pedang legendarisnya, Excalibur, jelas merupakan salah satu kisah yang familiar bagi kebanyakan umat manusia yang ada di permukaan Bumi. Tidak hanya popular, kisah tersebut bahkan telah berulangkali diadaptasi dalam berbagai bentuk media, mulai dari buku, serial televisi, animasi, drama panggung, video permainan hingga, tentu saja, film – yang bahkan tercatat pernah menampilkan cerita tentang King Arthur semenjak era film bisu di tahun 1904. Yang teranyar, sutradara asal Inggris, Guy Ritchie (The Man from U.N.C.L.E., 2015), berusaha memberikan interpretasinya sendiri atas kisah mitologi Britania Raya tersebut lewat King Arthur: Legend of the Sword. Lantas, apa yang dapat ditawarkan oleh Ritchie pada pengisahan King Arthur miliknya? Cukup banyak, ternyata. Continue reading Review: King Arthur: Legend of the Sword (2017)
Review: Spy (2015)
Setelah kesuksesan luar biasa dari Bridesmaids (2011) dan The Heat (2013), Paul Feig melanjutkan kerjasamanya dengan aktris Melissa McCarthy lewat Spy. Menilik premis yang ditawarkan oleh film yang naskah ceritanya juga ditangani oleh Feig ini, Spy dapat dengan mudah memberikan kesan sebagai sebuah versi alternatif dari The Heat yang juga menggunakan sentuhan aksi dan komedi sebagai nada penceritaannya namun tanpa kehadiran Sandra Bullock dalam jajaran pemeran utamanya. Is it a bad thing? Well… mungkin Spy menjadi terkesan (terlalu) familiar. Namun Feig sekali lagi membuktikan kehandalannya dalam mengolah jalan cerita yang sederhana menjadi sebuah sajian hiburan yang tetap mampu tampil berkelas dengan deretan guyonan yang begitu mampu ia kreasikan secara lugas. Dan, tentu saja, dukungan penampilan komikal McCarthy yang selalu berhasil menghadirkan momen-momen komedi yang liar semakin mampu menjadikan Spy sebagai salah satu film komedi terbaik tahun ini.
Meskipun merupakan salah satu lulusan terbaik dari pendidikan para agen rahasia yang dimiliki oleh Central Intelligence Agency, namun rasa kepercayaan diri yang rendah membuat Susan Cooper (McCarthy) menolak untuk bekerja langsung di lapangan sebagai seorang agen rahasia dan memilih profesi sebagai analis yang bertugas untuk mendampingi setiap agen rahasia yang sedang menjalankan misi mereka. Namun, kematian rekan kerjanya, Bradley Fine (Jude Law), sekaligus ancaman bahaya yang diterima oleh seluruh agen rahasia yang dibawahi CIA kemudian membuat Susan akhirnya mau menerima misi sebagai seorang agen rahasia. Tugas perdana Susan sendiri tidaklah mudah: Ia bertugas untuk mengamankan Rayna Boyanov (Rose Byrne) yang diduga akan menjual senjata pemusnah massal buatan ayahnya pada komplotan teroris.
Harus diakui, Feig jelas masih menggunakan formula aksi komedi yang sama seperti yang digunakannya pada The Heat dalam merangkai jalinan penceritaan Spy. Feig juga membangun Spy sebagai sebuah presentasi yang memanfaatkan dengan penuh talenta komedi Melissa McCarthy – sebuah hal yang dapat dirasakan bahwa Spy kehilangan gregetnya ketika karakter Susan Cooper yang diperankan McCarthy tidak muncul dalam beberapa adegan cerita film. Di saat yang bersamaan, Feig juga mampu menyusun unsur aksi dan komedi dari filmnya untuk berjalan beriringan dan mendukung satu sama lain. Tampilan aksi yang disajikan Feig mampu dieksekusi secara total sehingga tidak terkesan hanyalah sebagai adegan aksi yang menempel pada sebuah film komedi yang sekaligus membuat Spy terasa begitu dinamis dalam bercerita. Kualitas penulisan naskah Spy sendiri memang masih berada di bawah The Heat ataupun Bridesmaids. Namun kemampuan Feig untuk menghasilkan dialog-dialog komedi yang akan benar-benar mampu mengocok perut penontonnya jelas masih berada pada tingkatan yang masih sangat mengagumkan.
Jika Bridesmaids adalah sebuah film yang mampu mengenalkan sisi jenius dari penampilan komikal seorang Melissa McCarthy kepada seluruh dunia dan The Heat menampilkan dirinya sebagai pasangan yang mampu menghasilkan chemistry yang begitu erat dengan lawan mainnya, maka Spy menjadi ajang pembuktian bahwa McCarthy adalah seorang bintang yang mampu membawakan sebuah film secara sendirian dengan begitu sempurna. Tentu, Spy adalah sebuah film komedi dengan jenis guyonan yang memang telah menjadi zona nyaman dalam kapabilitas komedi McCarthy. Namun Spy jelas terasa hadir lebih hangat dan menggigit – bahkan di momen-momen terlemahnya – berkat penampilan McCarthy. McCarthy berhasil mengeksekusi setiap dialog yang dihantarkan karakter yang ia perankan dengan baik, menjalin chemistry yang sangat meyakinkan dengan setiap pemeran pendukung film serta, secara keseluruhan, menjadikan penampilan Spy terlihat lebih cerdas dari kualitas yang sebenarnya.
Feig tidak hanya mendapatkan penampilan yang solid dari McCarthy. Jajaran pemeran pendukung Spy juga hadir dengan penampilan komikal yang solid. Jason Statham membuktikan bahwa jangkauan aktingnya mampu tampil lebih luas daripada sekedar tampil sebagai sosok tangguh dalam film-film aksi yang selalu dilakoninya. Dalam Spy, Statham tampil sebagai versi komikal dari karakter-karakter tangguh yang sering ia perankan. Dan ia berhasil mengeksekusinya dengan sangat baik. Statham sebagai seorang bintang komedi di masa yang akan datang? Kenapa tidak. Meskipun karakternya hadir dengan latar belakang cerita yang tidak terlalu mendalam, Rose Byrne juga tampil penuh komitmen sebagai karakter antagonis (dengan sikap yang tidak terlalu antagonis) dalam jalan cerita film ini. Begitu pula dengan Jude Law, Allison Janney, Bobby Cannavale dan Miranda Hart. Oh. Dan 50 Cent juga hadir sebagai salah satu pengisi departemen akting film ini. Sebagai dirinya sendiri. That’s kinda exciting right? [B-]
Spy (2015)
Directed by Paul Feig Produced by Paul Feig, Jessie Henderson, Peter Chernin, Jenno Topping Written by Paul Feig Starring Melissa McCarthy, Jason Statham, Jude Law, Rose Byrne, Miranda Hart, Bobby Cannavale, Allison Janney, Peter Serafinowicz, Björn Gustafsson, Curtis Jackson, Morena Baccarin, Will Yun Lee, Nargis Fakhri, Zach Woods, Jessica Chaffin, Carlos Ponce Music by Theodore Shapiro Cinematography Robert Yeoman Editing by Dean Zimmerman, Don Zimmerman Studio Chernin Entertainment/Feigco Entertainment Running time 120 minutes Country United States Language English
Review: Anna Karenina (2012)
Dikenal dengan kemampuannya dalam mengeksplorasi kisah-kisah period dan costume drama yang telah dibuktikannya lewat Pride and Prejudice (2005) serta Atonement (2007), mungkin tidak akan ada banyak orang yang terkejut ketika mendengar Joe Wright memutuskan untuk mengadaptasi Anna Karenina sebagai proyek film yang akan ia produksi berikutnya. Diangkat dari novel legendaris berjudul sama karya penulis asal Rusia, Leo Tolstoy, yang pertama kali dirilis pada tahun 1873, Wright bukanlah orang pertama yang membawa kisah Anna Karenina ke layar lebar. Tercatat, Anna Karenina telah diadaptasi ke dalam bentuk film layar lebar semenjak tahun 1914 dengan nama-nama aktris legendaris seperti Greta Garbo, Vivien Leigh, Jacqueline Bisset, Sophie Marceau hingga Helen McCrory pernah memerankan karakter tersebut. Lalu… apa yang ditawarkan Wright pada adaptasi Anna Karenina yang diproduksinya?
Review: Rise of the Guardians (2012)
Diangkat dari seri buku cerita berjudul The Guardians of Childhood karya William Joyce – yang film animasi pendek-nya, The Fantastic Flying Books of Mr. Morris Lessmore, memenangkan Academy Awards pada tahun lalu, Rise of the Guardians mencoba untuk menggabungkan beberapa tokoh mitos ikonik ke dalam satu rangkaian cerita. Dikisahkan, North (yang merupakan penggambaran dari Santa Claus, Alec Baldwin), E.Aster Bunnymund (yang merupakan penggambaran dari kelinci Paskah, Hugh Jackman), Tooth (yang merupakan penggambaran dari Peri Gigi, Isla Fisher) serta Sandy (penggambaran dari The Sandman yang bertugas untuk memberikan mimpi baik bagi para anak-anak) telah lama dipilih oleh Man in the Moon menjadi Guardians yang memiliki tanggung jawab untuk menjaga agar perasaan bahagia selalu hadir dalam hati setiap anak-anak di dunia. Sebaliknya, kebahagiaan dari anak-anak dan kepercayaan mereka terhadap karakter-karakter mitos tersebut adalah sebuah kekuatan tersendiri yang akan tetap mampu menjaga keberadaan dari para Guardians.
Review: Hugo (2011)
Berbeda dengan Raging Bull (1980), Goodfellas (1990) atau The Departed (2006) yang berhasil menghantarkannya untuk memenangkan Academy Awards, Hugo sama sekali tidak menghadirkan tema kejahatan dan kekerasan yang biasa dihadirkan Martin Scorsese dalam film-film yang berhasil membawa namanya ke jajaran sutradara legendaris dan paling dihormati di dunia. Diangkat dari novel The Invention of Hugo Cabret karya Brian Selznick, Hugo merupakan sebuah bentuk dedikasi Scorsese pada dunia film yang ia geluti dan begitu ia cintai selama ini. Dengan penggarapan cerita yang begitu hangat dan dirangkum dengan tampilan visual berteknologi 3D yang mempesona, penonton juga akan dapat dengan mudah merasakan bagaimana kecintaan dan hasrat Scorsese yang besar kepada dunia perfilman.
Review: Sherlock Holmes: A Game of Shadows (2011)
Walaupun terasa datar di beberapa bagian cerita, serta kurangnya chemistry yang terbentuk antara Robert Downey, Jr. serta dua lawan mainnya, Jude Law dan Rachel McAdams, Guy Ritchie berhasil memberikan sebuah sentuhan yang unik dalam penceritaan Sherlock Holmes (2009) yang kemudian berhasil membuat film tersebut mampu tampil menarik bagi banyak penonton film dunia, khususnya bagi mereka yang memang gemar akan plot-plot kisah bernuansa detektif dan misteri. Diinspirasi dari cerita pendek karya Arthur Conan Doyle yang berjudul The Final Problem (1893), sekuel dari film yang sukses mengumpulkan pendapatan sebesar lebih dari US$500 juta selama masa edarnya tersebut dan diberi judul Sherlock Holmes: A Game of Shadows akan memperkenalkan penonton pada musuh terbesar Sherlock Holmes, Professor James Moriarty. Premis yang menjanjikan sebuah pertemuan antara karakter protagonis utama dengan karakter antagonis utama jelas memang akan menjadi sebuah premis yang menggiurkan. Namun, apakah Guy Ritchie berhasil membuat Sherlock Holmes: A Game of Shadows mampu tampil lebih baik dari prekuelnya?
Continue reading Review: Sherlock Holmes: A Game of Shadows (2011)
Review: Contagion (2011)
Adalah mudah untuk mendapatkan banyak bintang tenar untuk membintangi setiap film yang akan Anda produksi. Sepanjang Anda memiliki biaya produksi yang mencukupi, rasanya proses pemilihan aktor maupun aktris manapun yang Anda kehendaki tidak akan menemui masalah yang terlalu besar. Yang menjadi permasalahan, tentunya, adalah bagaimana Anda akan membagi dan memanfaatkan setiap talenta yang telah Anda dapatkan dalam jalan cerita film yang akan Anda produksi. Seperti yang telah dibuktikan oleh banyak film-film yang menampilkan jajaran pemeran yang terdiri dari nama-nama besar di Hollywood, kebanyakan dari talenta-talenta tersebut tampil kurang maksimal akibat minimnya karakterisasi dari peran yang harus mereka tampilkan. Pun begitu, jika Anda adalah Steven Soderbergh – yang telah mengumpulkan seluruh isi Hollywood dalam film-film seperti Traffic (2000) hingga The Ocean Trilogy (2001 – 2007) – Anda tahu bahwa Anda memiliki detil yang kuat untuk menampilkan setiap sisi terbaik dari kemampuan akting talenta pengisi film Anda.
Review: The Imaginarium of Doctor Parnassus (2009)
Kematian aktor Heath Ledger yang secara tiba-tiba ternyata masih menyimpan satu permasalahan ketika ia ternyata belum sempat menyelesaikan proses pengambilan gambar untuk film yang disutradarai oleh Terry Gilliam, The Imaginarium of Doctor Parnassus. Karena hal tersebut pulalah, proses pembuatan film ini sempat terhenti pada Januari 2008, dan sempat dianggap mati oleh Gilliam mengingat peran Ledger yang sangat vital di dalam naskah cerita film ini.
Continue reading Review: The Imaginarium of Doctor Parnassus (2009)
Review: Sherlock Holmes (2009)
Jika ada satu orang yang harus disalahkan atas kefanatikan saya terhadap kegiatan membaca berbagai jenis buku ketika saya berada di usia sekolah, maka orang tersebut adalah Ayah saya. Beliau adalah orang yang selalu menanamkan ide bahwa pergi ke perpustakaan daerah adalah ide terbaik untuk menghabiskan waktu selama masa liburan. And it works, actually. Continue reading Review: Sherlock Holmes (2009)