Review: Thor: Love and Thunder (2022)


Rasanya tidak mengherankan jika Marvel Studios mendapuk Taika Waititi untuk kembali duduk di kursi penyutradaraan bagi film keempat Thor, Thor: Love and Thunder. Setelah racikan Alan Taylor untuk Thor: The Dark World (2013) gagal untuk mengikuti standar tinggi yang telah diterapkan Kenneth Branagh dalam Thor (2011) – yang bahkan menjadikan film tersebut sebagai salah satu produk dengan kualitas terlemah dalam linimasa pengisahan Marvel Cinematic Universe, Waititi sukses memberikan penyegaran bagi tata penuturan seri film Thor ketika ia menghadirkan Thor: Ragnarok (2017) dengan sentuhan komedi yang begitu menyenangkan sekaligus begitu berbeda dengan tuturan komedi yang sebelumnya pernah ditampilkan oleh film-film yang tergabung dalam semesta pengisahan sinematik milik Marvel. Bekerjasama dengan penulis naskah Jennifer Kaytin Robinson (Unpregnant, 2020), Waititi berusaha untuk mengulang kembali penuturan komikal Thor: Ragnarok sekaligus memadukannya dengan sejumlah paparan dramatis yang bernilai emosional. Dan lumayan berhasil.

Konflik utama dalam linimasa penceritaan Thor: Love and Thunder hadir dalam sosok Gorr (Christian Bale) yang setelah kematian orang-orang yang berada di sekelilingnya menyadari bahwa Dewa yang disembahnya selama ini tidak pernah benar-benar ada untuk memperhatikan para pemujanya. Puncaknya, setelah kematian puteri semata wayangnya, Love (India Rose Hemsworth), Gorr bersumpah untuk membunuh para dewa. Tentu saja, secara perlahan, perjalanan Gorr dalam menunaikan sumpahnya membawanya untuk berhadapan dengan Thor (Chris Hemsworth). Serangan Gorr terhadap New Asgard berhasil dihalangi oleh Thor yang bekerjasama dengan Valkyrie (Tessa Thompson), Korg (Waititi), dan Jane Foster (Natalie Portman) yang menjelma menjadi sosok kuat bernama Mighty Thor setelah dirinya dipilih oleh serpihan Mjolnir yang menyatu kembali untuk dapat mengangkat senjata berbentuk palu yang sebelumnya dimiliki oleh Thor tersebut. Sial, Gorr dapat memanfaatkan kelengahan Thor dan rekan-rekannya untuk kemudian menculik beberapa anak Asgard serta menjadikan mereka tameng agar Thor mau menuruti keinginannya.

Jika Waititi memaksudkan Thor: Love and Thunder untuk dapat menyentuh dan menyamai tingkat komikal nan nyeleneh yang dahulu membuat Thor: Ragnarok begitu menghibur, maka garapan cerita yang dibentuknya bersama Robinson berhasil melakukannya dengan baik. Mulai dari guyonan akan “cinta segi empat” yang terbentuk antara karakter Thor dengan senjata barunya Stormbreaker dengan karakter Jane Foster dengan Mjolnir, keberadaan dua ekor kambing berukuran raksasa milik dari karakter Thor yang selalu berteriak dalam setiap kehadirannya, ataupun adegan pertemuan para dewa di Omnipotence City yang dipimpin oleh karakter Zeus (Russell Crowe), Waititi selalu mampu menemukan cara yang tak terduga guna mengocok perut para penonton. Hal ini masih ditambah dengan susunan dialog yang terjalin antar karakter maupun pilihan lagu-lagu yang dipilihkan Waititi – mulai dari Enya, ABBA, ke Ciara, dan Guns N’ Roses – untuk melatari adegan-adegan filmnya. Sukar untuk membantah jika Waititi adalah salah satu sutradara dengan nalar komedi terbaik yang dimiliki oleh Hollywood saat ini.

Di saat yang bersamaan, elemen komedi yang (terlalu) kental memberikan sejumlah hambatan bagi tuturan drama yang terkandung dalam pengisahan Thor: Love and Thunder untuk dapat berkembang secara lebih maksimal – khususnya dengan tema dan konflik drama yang cenderung bernilai lebih serius dan humanis jika dibandingkan dengan dramatisasi yang dihadirkan oleh tiga seri film Thor sebelumnya. Bukan berarti paparan drama dalam film ini berakhir dengan kesan buruk. Konflik yang dibawakan oleh keberadaan karakter Gorr tentu akan mengingatkan tema yang sebelumnya dibawakan oleh Eternals (Chloé Zhao, 2021) mengenai hubungan antara Sang Pencipta dengan makhluk ciptaan-Nya.

Dalam banyak kesempatan, keseriusan penyampaian tema tersebut acapkali mendapatkan distraksi dari guyonan maupun paparan komedi yang dihadirkan Thor: Love and Thunder. Mungkin mudah untuk merasakan kekecewaan yang dirasakan oleh karakter Gorr terhadap sosok dewa yang dipujanya – khususnya berkat penampilan apik Bale serta struktur cerita yang memang membentuk para dewa tersebut sebagai sosok-sosok yang penuh dengan sikap angkuh dan sembrono. Namun, sukar untuk benar-benar mendalami sisi emosional dari elemen cerita tersebut ketika film ini seringkali terasa mengenyampingkan – jika tidak ingin menyebutnya sebagai menenggelamkan – keberadaannya.

Hal yang sama juga hampir dapat dirasakan pada elemen kisah romansa antara karakter Thor dengan Jane Foster. Setelah keberadaannya absen pada Thor: Ragnarok, kembalinya karakter Jane Foster tidak hanya digunakan untuk membangkitkan plot romansa antara karakter tersebut dengan karakter Thor. Sosok karakter Jane Foster juga dijadikan sebagai salah satu sosok karakter pahlawan super dalam film ini dan, yang paling krusial, diberikan plot tentang perjuangan karakter tersebut dalam melawan penyakit kanker yang menggerogoti tubuhnya. Unsur romansa antara karakter Thor dengan karakter Jane Foster masih dapat bekerja secara efektif ketika dihadirkan dengan sentuhan komedi romansa. Pada kesempatan lain, momen heroik karakter Jane Foster sebagai Mighty Thor atau kisah karakter tersebut sebagai pejuang kanker tereksekusi secara canggung. Ketidakseimbangan dalam elemen-elemen cerita ini yang juga mendorong Thor: Love and Thunder untuk hadir dengan penuturan yang berkesan tidak teratur. Kadang bergerak terlalu cepat, kadang berfokus pada satu titik pengisahan terlalu lama.

Meskipun tidak berjalan mulus, Thor: Love and Thunder setidaknya tidak pernah terasa hambar dalam penuturannya. Selain mampu menghasilkan momen-momen komikal segar nan efektif, Waititi juga sukses menghadirkan komponen adegan aksi yang memukau. Tidak lupa, film ini juga diberkahi kekuatan yang maksimal dari penampilan yang diberikan oleh barisan pengisi departemen aktingnya. Bale dan Portman menjadi dua penampil terkuat – yang, ironisnya, juga menjadi dua penampil yang karakternya seharusnya mendapatkan galian pengisahan yang lebih mendalam lagi. Thompson dan Crowe memberikan penampilan yang mencuri perhatian ketika Chris Hemsworth juga terus terlihat menyenangkan ketika dirinya bersenang-senang dengan karakter Thor yang ia perankan. Tidak ada yang perlu dikeluhkan dari penampilan departemen akting film ini.

Thor: Love and Thunder mungkin kurang mampu memaksimalkan kesempatan untuk menyajikan olahan cerita dengan kesan yang lebih mendalam, khususnya dengan sejumlah tema yang tergolong lebih rumit dan dramatis. Meskipun begitu, dengan garapan cerita dan penyutradaraan dari Waititi yang masih handal, Thor: Love and Thunder tetap cekatan dalam menghasilkan presentasi hiburan berkelas dengan banyak momen menyenangkan yang akan menjadikan seri film Thor tetap layak untuk ditunggu kelanjutan perjalanannya.

popcornpopcornpopcornpopcorn-halfpopcorn2

thor-love-and-thunder-natalie-portman-chris-hemsworth-movie-posterThor: Love and Thunder (2022)

Directed by Taika Waititi Written by Taika Waititi, Jennifer Kaytin Robinson (screenplay), Stan Lee, Larry Lieber, Jack Kirby (comics, Thor) Produced by Kevin Feige, Brad Winderbaum Starring Chris Hemsworth, Christian Bale, Tessa Thompson, Jaimie Alexander, Taika Waititi, Russell Crowe, Natalie Portman, Chris Pratt, Pom Klementieff, Dave Bautista, Karen Gillan, Vin Diesel, Bradley Cooper, Sean Gunn, Matt Damon, Sam Neill, Luke Hemsworth, Melissa McCarthy, Ben Falcone, Kat Dennings, Stellan Skarsgård, Idris Elba, Daley Pearson, Simon Russell Beale, Akosia Sabet, Jonathan Brugh, Kieron L. Dyer, India Rose Hemsworth, Elsa Pataky, Jenny Morris, Indiana Evans, Brett Goldstein Cinematography Barry Idoine Edited by Matthew Schmidt, Peter S. Elliot, Tim Roche, Jennifer Vecchiarello Music by Michael Giacchino, Nami Melumad Production company Marvel Studios Running time 119 minutes Country United States Language English

Leave a Reply