Review: Madu Murni (2022)


Diarahkan oleh Monty Tiwa (Layla Majnun, 2021) berdasarkan naskah garapan Musfar Yasin (Alangkah Lucunya (Negeri Ini), 2010), Madu Murni memulai linimasa pengisahannya dengan memperkenalkan sang karakter utama, Mustaqim (Ammar Zoni), seorang mantan guru mengaji yang kini bekerja sebagai penagih hutang bersama dengan rekannya, Rojak (Tanta Ginting), demi mendapatkan penghasilan lebih banyak. Sayang, profesi barunya tersebut ditentang oleh sang istri, Murni (Irish Bella). Sebanyak apapun uang yang dibawa pulang oleh Mustaqim, Murni enggan untuk menerima. Kesal dengan perlakuan Murni, Mustaqim memutuskan untuk mencari sosok pendamping yang lebih dapat menerima dirinya. Sosok tersebut ia temukan pada diri Yati (Aulia Sarah), seorang janda muda yang selama ini memang sebenarnya telah menaruh perhatian pada sosok Mustaqim yang memiliki penampilan fisik rupawan. Sial, di malam pertama pernikahan mereka, Mustaqim tidak mampu untuk memberikan kepuasan biologis pada Yati. Hal yang kemudian justru menambah pelik permasalahan dalam kehidupan Mustaqim.

Madu Murni memiliki penggalan premis ataupun ide cerita yang terdengar nakal namun begitu segar dan menyenangkan – bahkan ketika film ini dirilis selang beberapa bulan setelah film Indonesia lain yang juga berbicara tentang disfungsi ereksi. Sayangnya, meskipun dengan bahan dasar pengisahan yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan tersebut, film ini gagal untuk tampil kuat dan lebih menarik akibat ketidakmampuan Tiwa dan  Yasin untuk memberikan pengolahan cerita yang mumpuni. Lemahnya penuturan cerita film telah dapat dirasakan semenjak awal ketika inkonsistensi dalam alur pengisahan – yang dimulai dengan alasan dari karakter Mustaqim dalam berpoligami yang berubah dari merasa kurang dihargai istri menjadi demi usaha untuk mendapatkan keturunan – terus bermunculan. Inkonsistensi juga sering terdengar hadir dalam dialog yang digunakan oleh deretan karakter yang seringnya menggunakan gaya bahasa keseharian namun beberapa kali hadir dengan gaya bahasa baku – yang beberapa kali bahkan terjadi dalam satu adegan yang sama!

Elemen terlemah dari presentasi cerita Madu Murni memang berasal dari ketidakmampuan naskah cerita Yasin untuk menetapkan apa yang sebenarnya ingin dicapai oleh penuturannya. Di sejumlah kesempatan, film ini terasa ingin menyentuh problema tentang kerapuhan rasa maskulinitas yang dimiliki oleh kaum Adam dan mengusik mereka yang acapkali merasa terganggu atau tersaingi oleh kaum perempuan yang memiliki kemampuan untuk mandiri. Di lebih banyak kesempatan lainnya, Madu Murni ingin tampil sebagai sebuah film komedi dengan aroma seksual – elemen yang sebenarnya merupakan potensi terbaik yang dimiliki oleh film ini. Sial, tak satupun komponen pengisahan tersebut yang dapat diolah dan dikembangkan dengan baik. Madu Murni terlalu dangkal untuk menjadi sebuah satir sosial dan lantas terlalu “bermain aman” untuk menjadi komedi seksual yang… well… nakal.

Madu Murni lantas terperangkap dalam lingkaran pengisahan yang terasa repetitif. Jika tidak sedang bertutur tentang ketidakmampuan dari karakter Mustaqim untuk memuaskan hasrat seksual dari karakter Yati atau usaha kedua karakter tersebut untuk menyembuhkan “penyakit” yang dimiliki oleh karakter Mustaqim, film ini mengalihkan fokusnya pada kisah tentang usaha dari karakter Mustaqim dan karakter Rojak untuk menyingkirkan karakter Salim (Jaja Mihardja). Gambaran sempit akan sosok “istri pertama” yang digambarkan sebagai sosok perempuan mulia dengan sosok “istri kedua” yang dicitrakan sebagai seorang penggoda – dan seorang janda yang, tentu saja, melanggengkan stigma buruk pada penyandang status tersebut – juga menjadi salah satu penghalang bagi naskah cerita film ini untuk berkembang. Karakter Murni yang “suci” hadir hanya sebagai pijakan untuk kehadiran plot utama film dan menjadi poin penyelesaian bagi segala masalah tanpa benar-benar diolah dengan seksama. Tiwa bahkan tidak peduli dengan gambaran karakter tersebut yang masih mengenakan hijabnya ketika ia sedang akan tidur berdua dengan sang suami di tempat tidur mereka.

Ritme penuturan cerita garapan Tiwa yang bergerak cepat memang cukup berhasil untuk mengurasi kesan membosankan yang ditimbulkan oleh plot cerita terus berputar di permasalahan yang sama. Tetap saja, sejumlah “pilihan artistik” yang diterapkan Tiwa pada penuturan Madu Murni membuat film ini gagal untuk menghasilkan kesan yang lebih mendalam. Meksipun tidak pernah terasa benar-benar istimewa, kualitas penampilan para pengisi departemen akting film setidaknya tampil dalam kapabilitas yang tidak mengecewakan. Zoni dapat menghidupkan sosok karakter pria yang hidup dalam bayangan maskulin nan dangkal, Ginting selalu konsisten dengan penampilan yang apik, dan Sarah menjadi pusat perhatian dengan kemampuannya untuk menyokong elemen komedi dari karakter yang ia perankan dengan maksimal. Sayang penampilan tersebut tenggelam dalam film yang gagal untuk mengembangkan seluruh potensinya. Nafsu besar, kemampuan kurang.

popcornpopcornpopcorn2popcorn2popcorn2

madu-murni-ammar-zoni-movie-posterMadu Murni (2022)

Directed by Monty Tiwa Produced by Chand Parwez Servia, Fiaz Servia Written by Musfar Yasin Starring Irish Bella, Ammar Zoni, Aulia Sarah, Tanta Ginting, Ira Wibowo, Jaja Mihardja, Yayu Unru, Meriam Bellina, Epy Kusnandar, Qausar Harta Yudana, Panji Zoni, Bima Azriel, Keira Vanaya Baiin, Mo Sidik, Joehana Sutisna, Wani Siregar, Yanti Surya, Emmie Lemu, Yenni Agung Music by Andi Rianto Cinematography Jimmy Fajar Edited by Cesa David Luckmansyah Production company Starvision Running time 96 minutes Country Indonesia Language Indonesian

One thought on “Review: Madu Murni (2022)”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s