Sepuluh tahun lalu, Affandi Abdul Rachman mencoba untuk menterjemahkan kesuksesan trilogi buku Negeri 5 Menara karangan A. Fuadi dan memulainya dengan mengadaptasi buku pertama dari trilogi tersebut yang juga berjudul sama, Negeri 5 Menara (2012). Hasilnya sebenarnya tidak mengecewakan. Disokong oleh naskah cerita yang dituliskan oleh Salman Aristo, Negeri 5 Menara tampil dengan kualitas presentasi yang cukup mumpuni. Di tahun dimana layar bioskop nasional diramaikan oleh film-film yang alur ceritanya juga diadaptasi dari buku-buku popular – Habibie & Ainun (Faozan Rizal, 2012), 5 cm (Rizal Mantovani, 2012), Perahu Kertas (Hanung Bramantyo, 2012) – Negeri 5 Menara juga berhasil mengumpulkan lebih dari 700 ribu penonton di sepanjang masa perilisannya. Capaian komersial yang tidak buruk – meskipun terlihat “minimalis” khususnya ketika Negeri 5 Menara kala itu digadang untuk mengikuti jejak besar kesuksesan Laskar Pelangi (Riri Riza, 2008) yang memiliki kedekatan tema cerita.
Setelah sebelumnya bekerjasama lewat Cinta Laki-laki Biasa (2016), Jilbab Traveler: Love Sparks in Korea (2016), dan Ayat-ayat Cinta 2 (2017), sutradara Guntur Soeharjanto bersama dengan penulis naskah Alim Sudio kembali berkolaborasi untuk melanjutkan pengisahan Negeri 5 Menara melalui adaptasi buku kedua dari seri buku tersebut, Ranah 3 Warna. Kehadiran Soeharjanto dan Sudio juga disokong oleh tim produksi dan jajaran pemeran – kecuali David Chalik dan Donny Alamsyah yang kembali tampil memerankan karakter yang sebelumnya mereka perankan di film sebelumnya – yang juga sepenuhnya baru. Bukan suatu hal yang cukup mengejutkan mengingat satu dekade masa telah berlalu semenjak perilisan Negeri 5 Menara. Pilihan ini juga bekerja cukup efektif mendorong Ranah 3 Warna untuk dapat terlihat sebagai pengisahan yang berdiri sendiri dan tidak terlalu terikat dengan pengisahan film pendahulunya – khususnya bagi mereka yang kurang begitu familiar dengan seri Negeri 5 Menara baik sebagai buku maupun film yang keberadaannya kini jelas tidak sepopuler dahulu.
Dengan latar waktu pengisahan yang berada di era 1990an, linimasa pengisahan Ranah 3 Warna dimulai ketika Alif (Arbani Yasiz) dikisahkan lulus ujian masuk perguruan tinggi dan diterima untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas Padjajaran. Hal ini, tentu saja, membuat Alif harus meninggalkan keluarganya yang bermukim di Maninjau, Sumatera Barat dan berangkat menuju Sumedang, Jawa Barat – meskipun film ini menggambarkan Universitas Padjajaran berada di Kota Bandung. Adaptasi di sebuah lingkungan baru jelas bukan hal yang mudah. Beruntung, Alif mendapatkan dukungan dari sahabat lamanya yang juga sedang berkuliah di Bandung, Randai (Teuku Rassya), serta seorang gadis cantik bernama Raisa (Amanda Rawles) yang baru dikenalnya dan secara perlahan mulai mewarnai keseharian Alif. Kesibukan Alif juga semakin bertambah ketika ia diterima untuk bekerja sebagai penulis di majalah kampus yang dipimpin oleh Togar Perangin-angin (Tanta Ginting).
Ranah 3 Warna hadir dengan paruh pertama pengisahan yang cukup solid. Komponen cerita yang berisi momen-momen kedekatan antara karakter Alif dengan keluarganya – khususnya dengan karakter sang ayah (Chalik) – serta paparan akan masa-masa awal kehidupan sang karakter utama dalam menjalani hidup di tempat yang baru, mampu menjadi benang merah penghubung yang krusial dengan kisah karakter tersebut di film Negeri 5 Menara sekaligus menghasilkan jalinan emosional pengisahan yang cukup kuat. Olahan ini pula yang membuat plot tentang karakter Alif yang merasa kehilangan arah ketika karakter ayah digambarkan meninggal dunia menjadi begitu humanis dan menyentuh. Kualitas tersebut, sayangnya, gagal untuk diikuti oleh linimasa penceritaan lanjutan dari film ini.
Ranah 3 Warna memang masih memegang teguh formula pengisahan tentang “sosok yang berasal dari kalangan bukan siapa-siapa namun berusaha sedemikian keras untuk mewujudkan mimpi besarnya.” Formula yang jelas terasa begitu familiar karena sempat dieksplorasi oleh banyak film Indonesia setelah kesuksesan besar-besaran Laskar Pelangi beberapa tahun yang silam. Jelas bukan masalah jika Ranah 3 Warna – ataupun film-film lain di masa yang akan datang – memilih untuk kembali membawakan formula cerita tersebut. Namun, bagaimanapun bentuk sebuah formula pengisahan tentu tidak akan dapat bekerja dengan efektif dan berakhir hambar ketika dikelola secara buruk. Hal inilah yang terjadi pada naskah cerita Ranah 3 Warna. Alur pengisahan film ini ingin menekankan pentingnya bersabar dalam berusaha namun, dengan pengembangan yang tergolong dangkal dan terburu-buru, tema tersebut tidak mampu dipaparkan dengan seksama.
Naskah cerita garapan Sudio terasa hanya mampu untuk membangun poin-poin pengisahan yang berusaha menggambarkan bagaimana sang karakter utama menggapai mimpinya untuk dapat belajar di Amerika Serikat – meskipun alur pengisahan film ini tidak pernah menjelaskan mengapa karakter Alif memiliki dan begitu terobsesi untuk mewujudkan mimpi tersebut. Linimasa penceritaan Ranah 3 Warna lantas mengalir untuk menceritakan bagaimana karakter Alif bekerja di majalah kampus dan menuliskan sejumlah artikel untuk sejumlah media cetak ternama, mengikuti program pertukaran pelajar yang lantas mengirimkannya ke Kanada, sempat menghadapi serangan teroris ketika berada di Yordania, hingga kemudian sampai di Kanada dan malah ditempatkan di sebuah peternakan yang jelas jauh dari harapannya selama ini. Plot-plot sampingan ini sebenarnya hadir untuk menyokong gambaran akan bagaimana tekad sang karakater utama dalam menggapai mimpi. Sayang, ketiadaan fokus yang kuat menjadikan deretan plot tersebut terkesan hadir dan berlalu begitu saja tanpa pernah mampu hadir sebagai penuturan yang menarik. Terlalu banyak yang ingin dikisahkan tanpa pernah dapat membuat kehadiran kisah-kisah tersebut menjadi relevan.
Dangkalnya pengelolaan cerita tidak hanya terjadi pada pengembangan konflik. Deretan karakter yang muncul di sepanjang linimasa pengisahan Ranah 3 Warna juga mengalami hal yang sama – termasuk karakter utama yang daripada dapat digambarkan sebagai sosok yang bermental kuat dan teguh malah sering terlihat mengeluh ketika menghadapi berbagai tantangan yang datang merintangi perjalanannya. Hubungan antar karakter juga sering terasa hambar meskipun, pada banyak bagian, elemen tersebut sangat terbantu oleh penampilan apik yang dihadirkan oleh Yasiz, Rawles, dan deretan pengisi departemen akting film yang lain. Eksekusi yang diberikan Soeharjanto untuk kualitas produksi film tidak mengecewakan meskipun masih jauh dari kesan istimewa dan sempat terganggu dengan penggunaan efek visual yang lemah di beberapa bagian. Forgettable.
Ranah 3 Warna (2021)
Directed by Guntur Soeharjanto Written by Alim Sudio (screenplay), A. Fuadi (novel, Ranah 3 Warna) Produced by Widya Wardhani Ichram Starring Arbani Yasiz, Amanda Rawles, Teuku Rassya, David Chalik, Maudy Koesnaedi, Tanta Ginting, Donny Alamsyah, Lukman Sardi, Raim Laode, Sadana Agung, Miqdad Addausy, Risma Wulandari, Jordan Haag, Hans de Kraker, Asri Welas, Alvin Smith, Anfa Safitri, Masyita Putri, Diva Wijaya, Adrienne Ellen Matthew, Rana Assegaf, Ridwan Kamil Cinematography Fahmi J. Saad Edited by Lilik Subagyo Music by Ricky Lionardi Production company MNC Pictures Running time 128 minutes Country Indonesia Language Indonesian
One thought on “Review: Ranah 3 Warna (2021)”