Hampir dua dekade selepas perilisan film ketiganya, The Matrix Revolutions (2003), seri The Matrix (The Wachowskis, 1999 – 2003) melanjutkan alur pengisahannya melalui The Matrix Resurrections. Jika tiga film sebelumnya ditulis dan diarahkan secara bersama oleh duo The Wachowskis, Lana Wachowski dan Lilly Wachowski, The Matrix Resurrections menandai kali pertama sebuah film cerita panjang dalam seri The Matrix diarahkan secara tunggal oleh Lana Wachowki yang juga mengerjakan naskah cerita film ini bersama dengan David Mitchell dan Aleksandar Hemon. The Matrix (1999), tentu saja, akan selamanya diingat sebagai film aksi revolusioner yang tidak hanya mampu memberikan pengaruh kepada penggarapan unsur aksi film-film lain yang dirilis sesudahnya namun juga menghadirkan tatanan cerita monumental yang dipengaruhi oleh banyak pemikiran bertema filosofis hingga simbolis. The Matrix Reloaded (2003) dan The Matrix Revolutions (2003) tidak mampu memberikan pencapaian kualitas yang sama, lalu apa yang ingin dilakukan oleh The Matrix Resurrections? Continue reading Review: The Matrix Resurrections (2021)
Tag Archives: Neil Patrick Harris
Review: Downsizing (2017)
Setelah memenangkan Academy Awards untuk naskah cerita yang mereka tulis bagi film The Descendants (2011), Alexander Payne dan Jim Taylor kembali berkolaborasi dalam film terbaru arahan Payne, Downsizing. Kali ini, keduanya menawarkan sebuah kisah satir sosial yang dibungkus dengan pola pengisahan fiksi ilmiah yang jelas memiliki warna yang cukup berbeda dengan film-film arahan Payne sebelumnya. Harus diakui, ide cerita yang dimiliki oleh Payne dan Taylor – tentang penemuan prosedur penyusutan ukuran tubuh manusia dalam rangka menyelamatkan umat manusia dari kepunahan – jelas terdengar sebagai sebuah premis pengisahan yang segar sekaligus fantastis. Sayangnya, ide besar tersebut kemudian seringkali tidak mampu untuk mendapatkan pengembangan yang lebih kuat sehingga gagal tampil untuk menjadi presentasi cerita yang lebih mengikat. Continue reading Review: Downsizing (2017)
Review: Cloudy with a Chance of Meatballs 2 (2013)
Meskipun harus bersaing dengan film-film animasi lain seperti Up (2009), Coraline (2009), The Princess and the Frog (2009) maupun Fantastic Mr. Fox (2009), Cloudy with a Chance of Meatballs (2009) secara mengejutkan mampu memberikan penontonnya kesan yang cukup mendalam berkat paduan tampilan visual yang atraktif serta kemampuan sutradara sekaligus penulis naskah, Phil Lord dan Chris Miller, untuk menghadirkan jalan cerita yang dipenuhi dengan berbagai guyonan segar. Keunggulan itu pula yang kemudian membuat film produksi Sony Pictures Animation tersebut mampu dinikmati oleh berbagai kalangan, baik para penonton muda maupun mereka yang telah menginjak usia dewasa, dan secara perlahan berhasil mengumpulkan pendapatan komersial sebesar lebih dari US$243 juta dari masa peredarannya di seluruh dunia. Dan, tentu saja, Sony Pictures Animation tidak melewatkan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan lebih besar dengan memproduksi sebuah sekuel.
Continue reading Review: Cloudy with a Chance of Meatballs 2 (2013)
Review: The Smurfs 2 (2013)
Well… terlepas dari banyak kritikan yang menyudutkan kualitas penceritaan The Smurfs (2011), film animasi produksi Columbia Pictures tersebut berhasil memperoleh pendapatan komersial sebesar lebih dari US$563 juta dari masa peredarannya di seluruh dunia. Dan tentu saja, seperti layaknya yang terjadi pada hampir seluruh film sukses yang diproduksi oleh Hollywood, The Smurfs lantas mendapatkan imbalannya: sebuah sekuel! Kembali diarahkan oleh Raja Gosnell, The Smurfs 2 sebenarnya masih menawarkan sebuah formula cerita keluarga yang sepertinya benar-benar ditujukan agar dapat dengan mudah dikonsumsi oleh para penonton muda. Untungnya, tidak seperti The Smurfs yang terlihat bermalas-malasan dalam membangun ceritanya, The Smurfs 2 mampu tampil dengan ikatan cerita tentang ayah dan anak yang cukup kuat. Bukan sebuah perubahan yang drastis, namun jelas berhasil menunjukkan adanya sedikit peningkatan dalam kualitas performa penceritaannya.
Review: The Muppets (2011)
Disiarkan pertama kali sebagai sebuah serial televisi pada tahun 1976, The Muppet Show kemudian tumbuh menjadi sebuah acara keluarga yang mendapatkan begitu banyak penggemar berkat penulisan jalan cerita bernuansa komedi yang dinilai benar-benar cerdas sekaligus menghibur – dan ditambah dengan konsistensi untuk menghadirkan para bintang Hollywood ternama sebagai bintang tamu di setiap episodenya. Acara serial komedi musikal tersebut kemudian tumbuh dan berkembang menjadi salah satu franchise yang paling dikenal di dunia dan terus mampu mempertahankan kepopulerannya dengan perilisan film, serial televisi maupun album musik yang memanfaatkan nama The Muppets hingga saat ini. Setelah terakhir kali merilis Muppet from Space di tahun 1999, The Muppets hadir lagi untuk memuaskan kerinduan para penggemarnya dengan merilis sebuah film layar lebar yang diberi judul cukup sederhana, The Muppets.
Review: The Smurfs (2011)
Well… penonton seharusnya tahu kualitas seperti apa yang akan mereka dapatkan ketika memilih untuk menyaksikan sebuah film yang disutradarai oleh seorang sutradara yang sebelumnya menghasilkan film-film semacam Scooby-Doo 2: Monsters Unleased (2004) dan Beverly Hills Chihuahua (2008). Bukan berarti bahwa film-film yang diarahkan oleh Raja Gosnell adalah film-film berkualitas buruk. Namun ketika Gosnell mengarahkan sebuah film yang bertendensi kuat untuk dipasarkan kepada para penonton muda dan mereka yang memang menggemari film-film keluarga sederhana, Gosnell memang kemudian mengarahkan filmnya secara keseluruhan hanya untuk dapat dinikmati oleh para target penonton film tersebut: dengan jalan cerita yang aman bahan cenderung klise, guyonan-guyonan khas film keluarga, karakter-karakter yang mengalahkan keluguan dari karakter-karakter protagonis di film-film animasi Walt Disney serta kemungkinan besar menutup adanya kemungkinan bagi para penonton dewasa untuk dapat menikmati film tersebut.
Review: Beastly (2011)
Masih ingat dengan kisah Si Cantik dan Si Buruk Rupa atau Beauty and the Beast? Beastly, yang merupakan adaptasi dari novel berjudul sama karya Alex Flinn, adalah sebuah versi penceritaan modern dari kisah klasik tersebut. Sama seperti Beauty and the Beast, Beastly masih memiliki seorang pria tampan yang kaya namun tinggi hati, seorang wanita muda yang miskin namun cantik dan cerdas, serta, tentu saja, seorang penyihir yang karena sakit hatinya kemudian menyihir sang pangeran untuk memiliki wajah yang buruk rupa. Hanya saja, Beastly tidak memerlukan latar belakang cerita yang mengharuskan para pemerannya mengenakan kostum dari zaman period. Lebih modern, kisah Beauty and the Beast tersebut diadaptasi menjadi sebuah drama kehidupan remaja di sebuah sekolah. Sebuah keputusan yang sangat salah?