Tag Archives: Domhnall Gleeson

Review: Star Wars: The Rise of Skywalker (2019)

Rasanya cukup sukar untuk tidak menyinggung “kericuhan” yang disebabkan oleh Star Wars: The Last Jedi (Rian Johnson, 2017) sebelum membicarakan Star Wars: The Rise of Skywalker. Meskipun mendapatkan ulasan yang sangat positif dari banyak kritikus film, pilihan Johnson untuk menghadirkan linimasa pengisahan film dengan warna plot, karakter, konflik, dan humor yang sedikit berbeda serta lebih progresif jika dibandingkan dengan film-film dalam seri Star Wars lainnya membuat Star Wars: The Last Jedi ditanggapi cukup dingin oleh banyak penggemar berat seri film yang kini telah berusia lebih dari 40 tahun tersebut. Ketidaksukaan para penggemar setia Star Wars terhadap film garapan Johnson tersebut – yang ditandai dengan membanjirnya penilaian dan komentar negatif tentang Star Wars: The Last Jedi di berbagai situs internet – terasa begitu kental sehingga beberapa kali mendapatkan tanggapan langsung baik dari aktor, produser, bahkan Johnson sebagai sang sutradara film. Ketidakmampuan Johnson untuk memuaskan para penggemar berat Star Wars itu pula yang dikabarkan menjadi penyebab mengapa Johnson tidak kembali dilibatkan oleh Walt Disney Studios ketika Colin Trevorrow – yang awalnya didapuk untuk mengarahkan Star Wars: The Rise of Skywalker – kemudian memilih untuk meninggalkan proyek film tersebut. Continue reading Review: Star Wars: The Rise of Skywalker (2019)

Review: Star Wars: The Last Jedi (2017)

Meskipun mendapatkan banyak tanggapan positif ketika masa perilisannya, Star Wars: The Force Awakens (J. J. Abrams, 2015) juga mendapatkan banyak kritikan ketika plot pengisahannya terasa terlalu banyak bergantung pada berbagai elemen nostalgia dari berbagai seri Star Wars terdahulu daripada berusaha untuk membawanya dalam sebuah alur pengisahan yang lebih segar. Well… seri terbaru Star Wars, Star Wars: The Last Jedi, yang kini berada di bawah arahan Rian Johnson (Looper, 2012) sepertinya tampil untuk menjawab tantangan tersebut. Dengan naskah cerita yang juga digarapnya sendiri, Johnson membawa Star Wars ke arah sekaligus warna pengisahan yang mungkin tidak dapat diduga beberapa penggemar seri film ini sebelumnya. Namun, di saat yang bersamaan, usaha Johnson untuk menyajikan Star Wars dengan lapisan pengisahan yang lebih rumit dihadirkan dengan naratif dan ritme penceritaan yang cenderung lemah. Hasilnya, dengan durasi presentasi sepanjang 152 menit – merupakan film Star Wars dengan durasi terpanjang hingga saat ini, Star Wars: The Last Jedi tampil cukup melelahkan. Continue reading Review: Star Wars: The Last Jedi (2017)

Review: American Made (2017)

Sukses berkolaborasi lewat Edge of Tomorrow (2014), Tom Cruise kembali berada di bawah pengarahan sutradara Doug Liman untuk film American Made. Dalam film yang jalan ceritanya berlatarbelakang di tahun 1970an ini, Cruise berperan sebagai Barry Seal – seorang mantan pilot maskapai penerbangan Trans World Airlines yang kemudian bekerjasama dengan Kartel Medellín asal Kolombia untuk menyelundupkan narkotika dan obat-obatan terlarang dari negara-negara Amerika Selatan ke wilayah Amerika Serikat. Setelah beberapa waktu, aktivitas Barry Seal akhirnya tercium oleh pemerintah Amerika Serikat. Alih-alih menahan dan memasukkan Barry Seal ke penjara, pihak Gedung Putih justru mengajak Barry Seal untuk bekerjasama dalam mengumpulkan bukti keterlibatan pemerintah Nikaragua dengan Kartel Medellín yang kemudian dapat digunakan Amerika Serikat untuk membentuk propaganda terhadap pemerintahan negara tersebut. Continue reading Review: American Made (2017)

Review: Unbroken (2014)

Unbroken (Legendary Pictures/Jolie Pas/3 Arts Entertainment, 2014) This review was originally published on December 28, 2014 and being republished as it hits Indonesian theaters today.

Apa yang sebenarnya mendorong seorang Angelina Jolie untuk menjadi seorang sutradara? Ketenaran? Penghasilan komersial yang lebih banyak? Hasrat untuk pembuktian dirinya? Atau hanyalah sekedar ajang untuk menantang dirinya diluar dari berakting? Mungkin saja. Namun satu hal yang jelas: Unbroken gagal memperlihatkan bahwa Jolie adalah seorang sutradara dengan visi yang kuat untuk mengeksekusi jalan cerita yang ia ingin hadirkan kepada para penontonnya.

Diadaptasi dari buku non-fiksi karya Laura Hillenbrand, Unbroken: A World War II Story of Survival, Resilience, and Redemption, yang berkisah tentang kehidupan atlet sekaligus salah satu tentara pasukan Amerika Serikat di masa Perang Dunia II, Louis Zamperini, Unbroken sebenarnya memiliki begitu banyak faktor untuk menjadi sebuah kisah yang menarik, menginspirasi sekaligus menegangkan. Sayangnya, tata arahan Jolie justru terasa begitu kaku dalam usahanya menghidupkan naskah cerita yang dibentuk Joel Coen, Ethan Coen, Richard LaGravenese dan William Nicholson. Tidak terasa adanya energi ataupun rasa antusias dalam bercerita ataupun emosi yang kuat untuk mengaliri jalinan kisah yang dihantarkan. Sebagai seorang sutradara, Jolie terasa hanya mengikuti berbagai pakem standar Hollywood dalam pembuatan sebuah biopik bernuansakan perang tanpa pernah mampu berani melangkah lebih jauh berkreasi dalam menciptakan atmosfer baru bagi filmnya.

Terlepas dari arahan Jolie, Unbroken setidaknya mampu mendapatkan dukungan kualitas yang kuat dari para jajaran pemerannya – yang didominasi oleh wajah-wajah muda Hollywood. Jack O’Connell tampil dengan determinasi tinggi dalam memerankan Louis Zamperini. Layaknya Zamperini, O’Connell terlihat sangat meyakinkan dan berani dalam membawakan karakternya. Penampilan O’Connell juga diiringi dengan penampilan sama mengesankannya dari nama-nama muda seperti Domhnall Gleeson, Garrett Hedlund, Finn Wittrock hingga Alex Russell – sementara aktor asal Jepang, Miyavi, seringkali terlihat terlalu komikal dalam memerankan karakter yang menjadi lawan bagi karakter Louis Zamperini.

Dari sisi teknikal, Unbroken juga tidak begitu mengecewakan. Arahan sinematografi Roger Deakins maupun tata efek khusus yang disiapkan untuk menghidupkan atmosfer Perang Dunia bagi film ini bekerja dengan cukup baik. Satu catatan khusus layak diberikan kepada arahan musik karya Alexandre Desplat bagi film ini. Entah mengapa, iringan musik Desplat terasa terlalu berusaha mendikte sisi emosional penontonnya. Penonton seperti digiring untuk merasakan sebuah emosi tertentu padahal jalan cerita yang dihadirkan justru gagal untuk membuat penonton merasakan adanya kehadiran emosi tersebut. Tapi mungkin Desplat memang bermaksud demikian. Tata musik yang medioker untuk sebuah film yang berkualitas medioker pula. [C-]

Unbroken (2014)

Directed by Angelina Jolie Produced by Matthew Baer, Angelina Jolie, Erwin Stoff, Clayton Townsend Written by Joel Coen, Ethan Coen, Richard LaGravenese, William Nicholson (screenplay), Laura Hillenbrand (book, Unbroken: A World War II Story of Survival, Resilience, and Redemption) Starring Jack O’Connell, Domhnall Gleeson, Miyavi, Garrett Hedlund, Finn Wittrock, Jai Courtney, Luke Treadaway, Travis Jeffery, Jordan Patrick Smith, John Magaro, Alex Russell, Maddalena Ischiale, Morgan Griffin, Savannah Lamble, Sophie Dalah, C.J. Valleroy Music by Alexandre Desplat Cinematography Roger Deakins Edited by Tim Squyres Studio Legendary Pictures/Jolie Pas/3 Arts Entertainment Country United States Language English

Review: About Time (2013)

about-time-header

Dengan film-film seperti Four Weddings and a Funeral (1994), Notting Hill (1999), Bridget Jones’ Diary (2001) dan Love Actually (2003) berada di dalam filmografinya sebagai film yang pernah ia tulis maupun arahkan, Richard Curtis jelas hidup untuk meluluhkan hati setiap penontonnya. Film terbarunya, About Time, kemungkinan besar juga akan memberikan pengaruh yang sama pada penontonnya. Dengan karakter-karakter yang diciptakan serta diarahkan begitu hangat oleh Curtis, About Time mampu memberikan sebuah perjalanan kisah romansa sekaligus drama keluarga yang manis dan mengharukan… meskipun hadir dalam penceritaan yang cenderung bertele-tele.

Continue reading Review: About Time (2013)

Review: Anna Karenina (2012)

Dikenal dengan kemampuannya dalam mengeksplorasi kisah-kisah period dan costume drama­ yang telah dibuktikannya lewat Pride and Prejudice (2005) serta Atonement (2007), mungkin tidak akan ada banyak orang yang terkejut ketika mendengar Joe Wright memutuskan untuk mengadaptasi Anna Karenina sebagai proyek film yang akan ia produksi berikutnya. Diangkat dari novel legendaris berjudul sama karya penulis asal Rusia, Leo Tolstoy, yang pertama kali dirilis pada tahun 1873, Wright bukanlah orang pertama yang membawa kisah Anna Karenina ke layar lebar. Tercatat, Anna Karenina telah diadaptasi ke dalam bentuk film layar lebar semenjak tahun 1914 dengan nama-nama aktris legendaris seperti Greta Garbo, Vivien Leigh, Jacqueline Bisset, Sophie Marceau hingga Helen McCrory pernah memerankan karakter tersebut. Lalu… apa yang ditawarkan Wright pada adaptasi Anna Karenina yang diproduksinya?

Continue reading Review: Anna Karenina (2012)

Review: Dredd (2012)

Dredd bukanlah film pertama yang mengadaptasi kisah dari salah satu karakter komik buatan Inggris yang paling popular semenjak mulai diperkenalkan pada tahun 1977 ini. Hollywood sebelumnya pernah merilis Judge Dredd pada tahun 1995 dengan Sylvester Stallone, Diane Lane dan Max von Sydow sebagai bintang utamanya – walau film tersebut kemudian banyak mendapatkan kritikan tajam dari para kritikus film dunia. Proses produksi versi terbaru dari Dredd sendiri – yang bukan merupakan versi remake dari film pertama – telah dimulai semenjak tahun 2006 ketika naskah ceritanya mulai ditulis oleh Alex Garland (Never Let Me Go, 2010). Namun, proses produksi sebenarnya dari Dredd sendiri baru dimulai pada tahun 2010 ketika Pete Travis (Vantage Point, 2008) diumumkan akan duduk di kursi penyutradaraan hingga akhirnya proses pengambilan gambar dimulai pada akhir tahun itu juga.

Continue reading Review: Dredd (2012)

Review: Harry Potter and the Deathly Hallows – Part 2 (2011)

This is it! Setelah sebuah usaha untuk sedikit memperpanjang usia franchise film Harry Potter dengan membagi dua bagian akhir dari kisah Harry Potter and the Deathly Hallows, dunia kini tampaknya harus benar-benar mengucapkan salam perpisahan mereka pada franchise yang telah berusia satu dekade dan memberikan tujuh seri perjalanan yang mengagumkan ini. Harry Potter and the Deathly Hallows – Part 2 memiliki nada penceritaan yang menyerupai bagian awal kisahnya – yang sekaligus membuktikan bahwa Harry Potter and the Deathly Hallows adalah sebuah kesatuan penceritaan yang unik sekaligus akan memberikan efek emosional yang lebih mendalam jika diceritakan dalam satu bagian utuh. Pun begitu, dengan apa yang ia hantarkan di …The Deathly Hallows – Part 2, David Yates akan mampu memenuhi ekspektasi setiap orang tentang bagaimana final dari salah satu kisah yang paling dicintai di muka Bumi akan berakhir: EPIK!

Continue reading Review: Harry Potter and the Deathly Hallows – Part 2 (2011)

Review: True Grit (2010)

Tenang. True Grit sama sekali bukanlah A Serious Man (2009), film terakhir karya Coen Brothers yang hampir membuat setiap penontonnya merasa kebingungan dengan jalan cerita yang dihadirkan dua bersaudara pemenang empat Academy Awards tersebut. Bahkan, sebagai sebuah western, True Grit sama sekali tidak mendekati kekompleksitasan No Country for Old Men (2007). Untuk pertama kalinya, Coen Brothers sepertinya berhasil untuk menyajikan sebuah karya yang akan mampu menarik perhatian kalangan yang lebih luas. Dan itu mereka lakukan tanpa harus kehilangan keeksentrikan gaya penyutradaraan mereka yang telah menjaring begitu banyak pemuja dalam beberapa tahun terakhir.

Continue reading Review: True Grit (2010)