Tag Archives: Emma Watson

Review: Little Women (2019)

Jelas merupakan salah satu novel terpopular sepanjang masa di Amerika Serikat – bahkan dunia, Little Women (1868) yang ditulis oleh Louisa May Alcott telah diadaptasi ke berbagai media, mulai dari film, film televisi, serial televisi, drama panggung, hingga drama radio. Hollywood sendiri, semenjak tahun 1917, tercatat telah menghasilkan tujuh film yang alur kisahnya diadaptasi dari Little Women dengan nama-nama aktris besar seperti Katharine Hepburn, Elizabeth Taylor, Janet Leigh, Winona Ryder, Kirsten Dunst, Claire Danes, dan Susan Sarandon pernah turut terlibat didalamnya. Adaptasi terbaru dari Little Women hadir dalam arahan Greta Gerwig (Lady Bird, 2017) berdasarkan naskah cerita yang juga ditulisnya sendiri. Berbeda dengan kebanyakan film adaptasi Little Women sebelumnya yang memberikan fokus pengisahan yang besar bagi sosok Jo March, Gerwig membuka ruang pengisahan yang lebih luas bagi karakter kakak beradik March lainnya meskipun tetap menjadikan karakter Jo March menjadi sosok sentral bagi pengisahan film. Pilihan berani nan cerdas yang ternyata berhasil menjadikan pengisahan Little Women tampil lebih hidup. Continue reading Review: Little Women (2019)

Review: The Circle (2017)

Dari permukaan, The Circle terlihat sebagai sebuah thriller cerdas bernuansa satir tentang kondisi masyarakat dunia pada era maraknya media sosial di internet. Diadaptasi dari novel berjudul sama karya Dave Eggers, dengan pengarahan dari James Ponsoldt yang meraih banyak pujian dari kritikus film dunia lewat film-filmnya seperti Smashed (2012), The Spectacular Now (2013), dan The End of the Tour (2015), serta dibintangi nama-nama seperti Tom Hanks, Emma Watson, dan (menjadi film terakhir yang dibintangi oleh) Bill Paxton, The Circle memiliki seluruh formula yang dapat menjadikannya sebagai sajian yang tidak hanya cerdas namun dapat memikat perhatian setiap penontonnya. Sayangnya, deretan formula tersebut berakhir hambar dalam eksekusi Ponsoldt dan membuat The Circle berakhir sebagai sebuah film yang begitu membosankan. Continue reading Review: The Circle (2017)

Review: Beauty and the Beast (2017)

Film animasi produksi Walt Disney Pictures, Beauty and the Beast (Gary Trousdale, Kirk Wise, 1991), jelas merupakan salah satu film animasi terpopular sepanjang masa. Dengan jalinan cerita serta karakter-karakter yang kuat plus deretan lagu-lagu garapan Alan Menken dan Howard Ashman yang begitu memikat, film yang juga berhasil mencatatkan sejarah sebagai film animasi pertama yang mendapatkan nominasi Best Picture di ajang Academy Awards – bahkan disaat nominasi Best Picture hanya dapat diisi oleh lima film(!) – tersebut mampu menjadi film favorit banyak penikmat film dunia hingga saat ini. Dengan status tersebut, tidak mengherankan bila kemudian keputusan Walt Disney Pictures untuk memproduksi ulangbuat Beauty and the Beast dalam versi live action – seperti yang telah mereka lakukan sebelumnya lewat Alice in Wonderland (Tim Burton, 2010), Maleficent (Robert Stromberg, 2014), Cinderella (Kenneth Brannagh, 2015) dan The Jungle Book (Jon Favreau, 2016) – menerima cukup banyak kritikan tajam dari beberapa pihak. Namun, Walt Disney Pictures juga tidak akan begitu saja merusak salah satu karya terbaik mereka. Kembali bekerjasama dengan Menken untuk mengkomposisi deretan musik yang mengiringi perjalanan cinta antara Si Cantik dan Si Buruk Rupa serta menempatkan Bill Condon (Dreamgirls, 2006) untuk duduk di kursi penyutradaraan, Walt Disney Pictures jelas berusaha keras agar filmnya mampu memiliki daya tarik yang sama kuat dengan film pendahulunya. Berhasil? Continue reading Review: Beauty and the Beast (2017)

Review: The Perks of Being a Wallflower (2012)

Apa yang muncul di benak Anda ketika mendengar istilah film yang berkisah mengenai kehidupan remaja? Sekelompok anak muda yang gemar berpesta? Usaha mereka untuk melepas keperawanan atau keperjakaan mereka? Keterlibatan mereka terhadap obat-obatan terlarang? Cinta pertama? Mencari jati diri yang sebenarnya? Benar. Dalam kehidupan nyata, masa remaja – sebuah masa transisi sebelum seorang manusia mencapai usia kedewasaannya – mungkin dilewati oleh banyak orang dengan melakukan hal-hal tersebut. Namun dalam gambaran sebuah film? Kapan terakhir kali Anda pernah merasa bahwa sebuah film yang berorientasi kehidupan remaja benar-benar mampu berkisah layaknya seorang remaja dalam menceritakan kehidupan kesehariannya? Tidak terasa terlalu kekanak-kanakan atau justru terlalu dewasa dan terdengar bijaksana? WellThe Perks of Being a Wallflower yang disutradarai oleh Stephen Chbosky akan menjadi satu contoh kuat dimana sebuah film remaja benar-benar dapat menjadi sebuah film remaja.

Continue reading Review: The Perks of Being a Wallflower (2012)

Review: My Week with Marilyn (2011)

Marilyn Monroe. Ikon. Dua kata yang rasanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dalam dua puluh tahun karirnya di industri hiburan Hollywood, Monroe telah mencapai apapun yang diinginkan setiap orang yang pernah bermimpi untuk menginjakkan kakinya dan kemudian memiliki karir yang cemerlang di salah satu industri hiburan terbesar di dunia tersebut – terlepas dari, tentu saja, berbagai permasalahan pribadi yang dimiliki oleh Monroe. My Week with Marilyn, sayangnya, bukanlah sebuah film biografis yang menceritakan mengenai perjalanan lengkap mengenai kehidupan sang ikon. Seperti yang digambarkan judul dari film ini, My Week with Marilyn hanyalah sebuah film yang mencakup sekelumit kisah dalam perjalanan panjang kehidupan Monroe. Sekelumit, namun dengan penggarapan yang kuat, dan penampilan Michelle Williams sebagai Monroe yang begitu luar biasa kuat, My Week with Marilyn akan mampu membuat banyak penontonnya mengenal Monroe sedikit lebih dalam. Dan lebih kelam.

Continue reading Review: My Week with Marilyn (2011)

Review: Harry Potter and the Deathly Hallows – Part 2 (2011)

This is it! Setelah sebuah usaha untuk sedikit memperpanjang usia franchise film Harry Potter dengan membagi dua bagian akhir dari kisah Harry Potter and the Deathly Hallows, dunia kini tampaknya harus benar-benar mengucapkan salam perpisahan mereka pada franchise yang telah berusia satu dekade dan memberikan tujuh seri perjalanan yang mengagumkan ini. Harry Potter and the Deathly Hallows – Part 2 memiliki nada penceritaan yang menyerupai bagian awal kisahnya – yang sekaligus membuktikan bahwa Harry Potter and the Deathly Hallows adalah sebuah kesatuan penceritaan yang unik sekaligus akan memberikan efek emosional yang lebih mendalam jika diceritakan dalam satu bagian utuh. Pun begitu, dengan apa yang ia hantarkan di …The Deathly Hallows – Part 2, David Yates akan mampu memenuhi ekspektasi setiap orang tentang bagaimana final dari salah satu kisah yang paling dicintai di muka Bumi akan berakhir: EPIK!

Continue reading Review: Harry Potter and the Deathly Hallows – Part 2 (2011)

Review: Harry Potter and the Deathly Hallows – Part 1 (2010)

Sejujurnya, ide untuk membagi bagian akhir dari adaptasi dari kisah petualangan Harry Potter, Harry Potter and the Deathly Hallows, menjadi dua bagian adalah murni alasan komersial belaka daripada untuk menangkap seluruh esensi cerita dari novelnya. Hal ini, sayangnya, sangat terbukti dengan apa yang diberikan oleh sutradara David Yates lewat Harry Potter and the Deathly Hallows – Part 1. Filmnya sendiri berjalan cukup baik, namun dengan durasi sepanjang 146 menit, Yates terlalu banyak mengisi bagian pertama kisah ini dengan berbagai detil yang sebenarnya tidak diperlukan di dalam cerita, yang membuat …The Deathly Hallows – Part 1 terasa sebagai sebuah film dengan kisah yang sebenarnya singkat namun diulur sedemikian panjang untuk memenuhi kuota waktu penayangan.

Continue reading Review: Harry Potter and the Deathly Hallows – Part 1 (2010)