Tag Archives: Dan Stevens

Review: The Call of the Wild (2020)

The Call of the Wild yang menjadi film live-action pertama yang diarahkan sutradara Chris Sanders yang sebelumnya mengarahkan film-film animasi seperti Lilo & Stitch (2000), How to Train Your Dragon (2010), dan The Croods (2013), bukanlah film pertama yang mengadaptasi novel legendaris berjudul sama yang ditulis oleh penulis asal Amerika Serikat, Jack London. Tercatat, novel yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1903 tersebut telah berulangkali diadaptasi ke berbagai media seperti komik, film televisi, anime, hingga, tentu saja, film. Adaptasi film dari novel The Call of the Wild bahkan sempat dibintangi oleh nama-nama aktor besar Hollywood seperti Clark Gable (1935), Charlton Heston (1972), hingga Rutger Hauer (1997). Fun fact: Adaptasi The Call of the Wild arahan William A. Wellman yang dirilis pada tahun 1935 merupakan film terakhir yang dirilis oleh Twentieth Century Pictures sebelum akhirnya bergabung dengan rumah produksi Fox Film Corporation dan berganti nama menjadi 20th Century Fox. Entah disengaja atau tidak, adaptasi teranyar The Call of the Wild menjadi film pertama yang dirilis oleh 20th Century Studios setelah The Walt Disney Studios membeli 20th Century Fox dan akhirnya mengembalikan nama lama dari rumah produksi tersebut. Continue reading Review: The Call of the Wild (2020)

Review: Beauty and the Beast (2017)

Film animasi produksi Walt Disney Pictures, Beauty and the Beast (Gary Trousdale, Kirk Wise, 1991), jelas merupakan salah satu film animasi terpopular sepanjang masa. Dengan jalinan cerita serta karakter-karakter yang kuat plus deretan lagu-lagu garapan Alan Menken dan Howard Ashman yang begitu memikat, film yang juga berhasil mencatatkan sejarah sebagai film animasi pertama yang mendapatkan nominasi Best Picture di ajang Academy Awards – bahkan disaat nominasi Best Picture hanya dapat diisi oleh lima film(!) – tersebut mampu menjadi film favorit banyak penikmat film dunia hingga saat ini. Dengan status tersebut, tidak mengherankan bila kemudian keputusan Walt Disney Pictures untuk memproduksi ulangbuat Beauty and the Beast dalam versi live action – seperti yang telah mereka lakukan sebelumnya lewat Alice in Wonderland (Tim Burton, 2010), Maleficent (Robert Stromberg, 2014), Cinderella (Kenneth Brannagh, 2015) dan The Jungle Book (Jon Favreau, 2016) – menerima cukup banyak kritikan tajam dari beberapa pihak. Namun, Walt Disney Pictures juga tidak akan begitu saja merusak salah satu karya terbaik mereka. Kembali bekerjasama dengan Menken untuk mengkomposisi deretan musik yang mengiringi perjalanan cinta antara Si Cantik dan Si Buruk Rupa serta menempatkan Bill Condon (Dreamgirls, 2006) untuk duduk di kursi penyutradaraan, Walt Disney Pictures jelas berusaha keras agar filmnya mampu memiliki daya tarik yang sama kuat dengan film pendahulunya. Berhasil? Continue reading Review: Beauty and the Beast (2017)

Review: The Cobbler (2015)

COBB_OneSheet_FM1.inddBagi para penikmat film, frase “film yang dibintangi oleh Adam Sandler” memberikan pengaruh yang sama kuatnya dengan frase “film yang dibintangi Jason Statham” atau “film yang diarahkan oleh Michael Bay”. Penonton dengan jelas akan mendapatkan ide film seperti apa yang akan mereka saksikan ketika mereka memilih untuk menonton film-film yang menggunakan frase tersebut dalam penggambarannya. The Cobbler sendiri masih menempatkan Sandler dalam sajian komedi yang memang menjadi kehandalannya. Namun, jangan berharap The Cobbler untuk tampil sehisteris film-film komedi Sandler ketika ia berada dibawah arahan Dennis Dugan seperti Grown Ups (2010), Jack and Jill (2011) atau bahkan Just Go With It (2011). The Cobbler adalah sebuah bentuk eksplorasi Sandler atas kemampuan komedinya yang juga menyentuh wilayah drama dalam porsi lebih besar – seperti halnya Punch-Drunk Love (Paul Thomas Anderson, 2002), Reign Over Me (Mike Binder, 2007) atau Funny People (Judd Apatow, 2009). Apakah The Cobbler mampu tampil semenarik film-film tersebut?

Diarahkan oleh Thomas McCarthy, The Cobbler berkisah tentang Max Simkin (Sandler), seorang tukang sepatu dengan kehidupan yang ia nilai begitu membosankan. Max sebenarnya ingin sekali meninggalkan rutinitas hariannya sebagai seorang tukang sepatu dan mencoba hal-hal baru. Namun, ia merasa tidak dapat meninggalkan toko perbaikan sepatu warisan ayahnya serta ibunya yang sedang berada dalam kondisi sakit-sakitan begitu saja. Suatu hari, keajaiban menghampiri kehidupan Max ketika ia menyadari bahwa ia memiliki kekuatan untuk dapat menjadi siapa saja dengan mengenakan sepatu orang tersebut. Jelas, Max kemudian bersenang-senang dengan kekuatan barunya. Tentu saja… with great power comes great responsibility. Berbagai masalah mulai hadir dalam kehidupan Max ketika ia memilih untuk menggunakan kekuatannya secara sembarangan.

Sejujurnya, adalah cukup mengejutkan untuk mengetahui bahwa The Cobbler datang dari seorang sutradara yang sebelumnya pernah mengarahkan The Station Agent (2003), The Visitor (2008) dan Win Win (2011). Tidak seperti ketiga film tersebut, The Cobbler terasa hadir tanpa penceritaan yang kuat. Naskah cerita film yang ditulis oleh McCarthy dan Paul Sado sebenarnya memiliki beberapa sentuhan emosional yang ingin berkisah tentang nilai-nilai keluarga dan rasa saling menghargai satu sama lain. Namun, dalam eksekusinya, The Cobbler terlihat kebingungan dalam bercerita. Dalam beberapa bagian, film ini hadir bagaikan film komedi khas Sandler yang kekurangan semangat sementara di bagian lain film ini tampil terlalu lemah untuk terlihat menarik sebagai sebuah drama. Tidak mengherankan jika The Cobbler kemudian terasa hambar dalam keseluruhan presentasinya.

Hal lain yang begitu membedakan The Cobbler dari karya-karya McCarthy lainnya adalah film ini hadir dengan karakter-karakter yang jauh dari kesan humanis dan mudah untuk disukai. Selain dari karakter Max Simkin yang diperankan oleh Sandler, nyaris seluruh karakter lain yang tampil dalam jalan cerita film ini hadir dengan ruang penceritaan yang terbatas. Pemanfaatan dari karakter-karakter pendukung tersebut juga tidak pernah lebih dari sekedar katalis dalam eksekusi elemen komedi dalam jalan cerita film. Tidak lebih. Kehadiran sebuah kejutan di akhir kisah yang disajikan oleh McCarthy juga tidak menjadikan The Cobbler menjadi lebih baik. Kejutan tersebut bahkan terasa hanya sebagai jalan pintas untuk menghasilkan sentuhan sentimental kepada para penonton film tanpa pernah mau berusaha keras untuk mengeksekusinya.

Departemen akting The Cobbler sendiri harus diakui hadir dengan kualitas yang cukup solid. Meskipun telah berulangkali memainkan karakter peran yang serupa, Sandler masih terlihat meyakinkan dalam perannya sebagai sosok pria dewasa penyendiri. Pemeran lain seperti Steve Buscemi, Dustin Hoffman, Clifford Smith hingga Dan Stevens dan Ellen Barkin juga hadir tidak mengecewakan. Namun, seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, karakter-karakter yang mereka mainkan tampil begitu terbatas sehingga sulit menikmati kualitas akting yang mereka tampilkan secara sepenuhnya. [C-]

The Cobbler (2015)

Directed by Thomas McCarthy Produced by Mary Jane Skalski Written by Thomas McCarthy, Paul Sado Starring Adam Sandler, Dan Stevens, Dustin Hoffman, Steve Buscemi, Melonie Diaz, Ellen Barkin, Clifford “Method Man” Smith, Sondra James, Dascha Polanco, Lynn Cohen Music by John Debney, Nick Urata Cinematography W. Mott Hupfel III Editing by Tom McArdle Studio Voltage Pictures Running time 99 minutes Country United States Language English