The Lost City jelas memiliki premis yang akan mengingatkan penontonnya pada sejumlah film aksi-petualangan-romansa popular dari masa lampau – Raiders of the Lost Ark (Steven Spielberg, 1981), Romancing the Stone (Robert Zemeckis, 1984), atau bahkan The Mummy (Stephen Sommers, 1999), Knight and Day (James Mangold, 2010) dan Jungle Cruise (Jaume Collet-Serra, 2021). Diarahkan oleh Adam Nee dan Aaron Nee (Band of Robbers, 2015) berdasarkan naskah cerita yang ditulis keduanya bersama dengan Oren Uziel (Mortal Kombat, 2021) dan Dana Fox (Cruella, 2021), film ini berkisah tentang seorang penulis novel romansa dewasa, Loretta Sage (Sandra Bullock), yang diculik oleh seorang miliarder eksentrik, Abigail Fairfax (Daniel Radcliffe), karena menduga Loretta Sage mengetahui cara untuk menafsirkan peta kuno yang akan menunjukkan lokasi keberadaan sebuah harta karun. Kejadian penculikan Loretta Sage disaksikan secara langsung oleh Alan Caprison (Channing Tatum), pria tampan yang selama ini menjadi model bagi sampul depan novel-novel romansa dewasa karangan Loretta Sage. Alan Caprison, yang secara diam-diam memendam perasaan suka pada Loretta Sage, dengan segera mencari pertolongan dan bahkan terlibat langsung untuk menyelamatkan wanita idamannya. Continue reading Review: The Lost City (2022)
Tag Archives: Daniel Radcliffe
Review: Guns Akimbo (2020)
Perjalanan karir Daniel Radcliffe dalam mengumpulkan peran-peran eksentrik nan menantang kembali berlanjut dalam Guns Akimbo. Jika Horns (Alexandre Aja, 2014) menghadirkan Radcliffe sebagai sosok pria yang memiliki tanduk dan Swiss Army Man (Daniel Scheinert, Daniel Kwan, 2016) menjadikan Radcliffe sebagai mayat hidup yang gemar kentut, maka Guns Akimbo menampilkan Radcliffe untuk berperan sebagai Miles, seorang pemuda yang aktif menggunakan internet namun menemukan dirinya dalam bahaya ketika komentar-komentar yang diberikannya di dunia maya kemudian mengundang kematian. Tidak senang dengan komentar-komentar keras yang diberikan Miles, sekelompok orang asing lantas menculiknya, membaut dua buah senjata api di genggaman tangannya, dan membuat Miles harus bertarung melawan Nix (Samara Weaving) yang merupakan seorang petarung tak terkalahkan dalam sebuah permainan mematikan yang disiarkan langsung di internet bernama Skizm. Jelas, Miles harus segera beradaptasi dengan berbagai kesialan yang baru saja menimpa dirinya untuk dapat melarikan diri dari kejaran Nix dan menyelamatkan nyawanya. Continue reading Review: Guns Akimbo (2020)
Review: Horns (2014)
Dikenal dengan film-film semacam Haute Tension (2003), The Hills Have Eyes (2006) dan Piranha 3D (2010) yang menawarkan kengerian dengan menampilkan darah dan potongan-potongan tubuh kepada para penontonnya, sutradara asal Perancis, Alexandre Aja, mencoba untuk bermain dalam sebuah wilayah pengarahan yang sedikit berbeda dalam film terbarunya, Horns. Dengan naskah cerita yang ditulis oleh Keith Bunin berdasarkan novel berjudul sama karya Joe Hill, Horns masih menempatkan Aja pada nada penceritaan yang cukup familiar – supernatural thriller dengan bumbu black comedy yang kental – namun hadir dalam jalinan kisah mengenai cinta, keluarga, persahabatan dan agama yang membuat film ini tampil sedikit lebih kompleks jika dibandingkan dengan film-film arahan Aja sebelumnya. Dan, sayangnya, hal itulah yang secara perlahan menjerat Aja dan membuatnya terasa sedikit kebingungan bagaimana menampilkan kekayaan konten ceritanya tersebut secara merata.
Bukan bermaksud untuk menyatakan bahwa Horns adalah sebuah presentasi yang buruk. Dalam banyak kesempatan di 120 menit durasi penceritaannya, Horns mampu hadir sebagai dengan deretan ide yang brilian dan mampu dieksekusi dengan baik melalui imajinasi visual Aja yang berani. Horns juga seringkali berhasil menjadi sebuah character study bagi tema-tema cerita yang ingin dibawakannya. Dan Aja masih dapat memberikan kesenangan yang melimpah bagi penontonnya melalui satir dalam jalan ceritanya serta deretan adegan kekerasan yang, tentu saja, akan mengingatkan penonton mengenai berbagai karya Aja di masa lampau.
Bagian yang menjebak Horns untuk gagal menjadi sebuah sajian yang lebih kuat lagi adalah kegagalan Aja dalam menyajikan ceritanya melalui ritme penceritaan yang tepat. Seringkali, Horns terasa begitu lamban dalam pengisahannya untuk kemudian menyeret penonton ke berbagai detil yang sebenarnya tidak begitu dibutuhkan dalam penceritaan. Beberapa alur penceritaan yang menampilkan adegan cerita di masa lampau juga tidak dipungkiri kurang mampu ditempatkan dengan baik oleh Aja yang menjadikan narasi cerita menjadi kurang kuat serta, yang lebih fatal, beberapa misteri kemudian menjadi “terselesaikan” sebelum waktunya.
Terlepas dari kekurangannya tersebut, Horns hadir dalam satuan penampilan akting yang kuat dari deretan pengisi departemen aktingnya, khususnya dari sang pemeran utama, Daniel Radcliffe. Dengan penceritaan karakter yang digambarkan sebagai sosok yang moody, datar dan cenderung melakukan pemilihan keputusan yang salah – alias cukup sukar untuk disukai, Radcliffe justru tetap mampu membuat penonton memberikan simpati kepada karakter yang ia perankan dan terus mengajak mereka untuk menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi. Dengan kharismanya yang begitu kuat, Radcliffe menjadi tombak utama bagi Horns untuk tetap mampu mengalir dalam penceritaan yang cukup mengikat.
Selain karakter yang diperankan Radcliffe, harus diakui naskah cerita Horns tidak memberikan ruang yang cukup bagi karakter-karakter lain untuk berkembang. Pada kebanyakan bagian, keberadaan karakter-karakter minor lain terkesan hanya dijadikan sebagai alat agar penceritaan tetap berwarna dan berjalan. Tidak lebih. Meskipun begitu, karakter-karakter pendukung tersebut tetap mampu tampil mencolok berkat penampilan akting yang kuat dari para pemainnya. Mulai dari Juno Temple, Max Minghella, Joe Anderson, Heather Graham, Kelli Garner hingga David Morse mampu memberikan penampilan akting terbaik mereka sekaligus menjadi salah satu faktor kuat mengapa Horns masih layak untuk dinikmati terlepas dari beberapa kelemahan krusialnya. [C]
Horns (2014)
Directed by Alexandre Aja Produced by Alexandre Aja, Riza Aziz, Joey McFarland, Cathy Schulman, Joe Hill Written by Keith Bunin (screenplay), Joe Hill (novel, Horns) Starring Daniel Radcliffe, Max Minghella, Joe Anderson, Juno Temple, Kelli Garner, James Remar, Kathleen Quinlan, Heather Graham, David Morse, Alex Zahara, Kendra Anderson, Michael Adamthwaite, Desiree Zurowski, Mitchell Kummen, Dylan Schmid, Jared Ager-Foster, Sabrina Carpenter, Laine MacNeil, Erik McNamee Music by Robin Coudert Cinematography Frederick Elmes Edited by Baxter Production company Red Granite Pictures/Mandalay Pictures Running time 120 minutes Country United States, Canada Language English
Review: The Woman in Black (2012)
The Woman in Black jelas bukanlah film pertama Daniel Radcliffe yang ia bintangi di luar franchise Harry Potter (2001 – 2011). Namun, The Woman in Black memberikan sebuah kesan tersendiri mengingat film ini merupakan film pertama yang dibintangi Radcliffe seusai membintangi franchise yang hingga saat ini telah menghasilkan keuntungan komersial sebanyak lebih dari US$7 triliun dari perilisannya di seluruh dunia dan, yang lebih membuat film ini diperhatikan lebih luas lagi, bahwa Radcliffe justru memilih sebuah film horor untuk membuktikan eksistensi aktingnya selepas era Harry Potter. The Woman in Black memang bukanlah sebuah presentasi horor yang istimewa. Namun penampilan Radcliffe jelas membuktikan bahwa dirinya siap untuk keluar dari bayang-bayang besar karakter Harry Potter yang telah membesarkan namanya.
Review: Harry Potter and the Deathly Hallows – Part 2 (2011)
This is it! Setelah sebuah usaha untuk sedikit memperpanjang usia franchise film Harry Potter dengan membagi dua bagian akhir dari kisah Harry Potter and the Deathly Hallows, dunia kini tampaknya harus benar-benar mengucapkan salam perpisahan mereka pada franchise yang telah berusia satu dekade dan memberikan tujuh seri perjalanan yang mengagumkan ini. Harry Potter and the Deathly Hallows – Part 2 memiliki nada penceritaan yang menyerupai bagian awal kisahnya – yang sekaligus membuktikan bahwa Harry Potter and the Deathly Hallows adalah sebuah kesatuan penceritaan yang unik sekaligus akan memberikan efek emosional yang lebih mendalam jika diceritakan dalam satu bagian utuh. Pun begitu, dengan apa yang ia hantarkan di …The Deathly Hallows – Part 2, David Yates akan mampu memenuhi ekspektasi setiap orang tentang bagaimana final dari salah satu kisah yang paling dicintai di muka Bumi akan berakhir: EPIK!
Continue reading Review: Harry Potter and the Deathly Hallows – Part 2 (2011)
Review: Harry Potter and the Deathly Hallows – Part 1 (2010)
Sejujurnya, ide untuk membagi bagian akhir dari adaptasi dari kisah petualangan Harry Potter, Harry Potter and the Deathly Hallows, menjadi dua bagian adalah murni alasan komersial belaka daripada untuk menangkap seluruh esensi cerita dari novelnya. Hal ini, sayangnya, sangat terbukti dengan apa yang diberikan oleh sutradara David Yates lewat Harry Potter and the Deathly Hallows – Part 1. Filmnya sendiri berjalan cukup baik, namun dengan durasi sepanjang 146 menit, Yates terlalu banyak mengisi bagian pertama kisah ini dengan berbagai detil yang sebenarnya tidak diperlukan di dalam cerita, yang membuat …The Deathly Hallows – Part 1 terasa sebagai sebuah film dengan kisah yang sebenarnya singkat namun diulur sedemikian panjang untuk memenuhi kuota waktu penayangan.
Continue reading Review: Harry Potter and the Deathly Hallows – Part 1 (2010)