Tag Archives: Allison Janney

Review: Bombshell (2019)

Pada Juli 2016, industri media Amerika Serikat dihebohkan dengan kabar tuntutan hukum yang diajukan kepada pemimpin Fox News, Roger Ailes, oleh salah satu mantan pembawa acara beritanya, Gretchen Carlson, dengan tuduhan bahwa Ailes melakukan tindak pemecatan kepada Carlson karena dirinya menolak untuk berhubungan seksual dengan Ailes. Dengan kapasitas Fox News sebagai salah satu media konservatif terbesar dan paling berpengaruh di Amerika Serikat, berita tersebut terus bergulir dan menimbulkan banyak dugaan tindakan pelecehan seksual lain yang terjadi di perusahaan tersebut terhadap para karyawan perempuannya. Sejumlah perempuan, baik yang sedang maupun pernah bekerja di Fox News, kemudian memberikan kesaksian tambahan atas keberadaan tindakan pelecehan seksual yang tidak hanya dilakukan oleh Ailes namun juga oleh beberapa petinggi Fox News lainnya. Ketika Megyn Kelly – yang merupakan pembawa acara perempuan Fox News paling popular – turut memperkuat tuduhan kepada Ailes, posisi Ailes sebagai pimpinan Fox News serta tokoh yang disegani di industri media Amerika Serikat segera jatuh dan tak lagi terselamatkan. Continue reading Review: Bombshell (2019)

Review: Ma (2019)

The Help (2011) jelas bukanlah kali pertama Octavia Spencer membintangi film yang diarahkan oleh Tate Taylor. Sebelumnya, bersama dengan Allison Janney yang juga membintangi The Help, Spencer turut berperan dalam film pendek yang menjadi debut pengarahan Taylor, Chicken Party (2003), serta Pretty Ugly People (2008) yang menjadi kali pertama Taylor mengarahkan sebuah film panjang. Namun, penampilannya dalam The Help jelas menghasilkan batu loncatan tersendiri bagi Spencer untuk menjadi salah satu aktris paling dikenal di Hollywood. Selain berhasil memenangkannya sebuah Oscar untuk Best Actress in a Supporting Role di ajang The 84th Annual Academy Awards, penampilan Spencer di film tersebut juga mampu membawanya untuk membintangi film-film kaliber Academy Awards lain seperti Hidden Figures (Theodore Melfi, 2016) dan The Shape of Water (Guillermo del Toro, 2017) serta berbagai film produksi Hollywood lainnya – yang kebanyakan menempatkan Spencer sebagai pemeran pendukung. Continue reading Review: Ma (2019)

The 90th Annual Academy Awards Winners List

ROGER DEAKINS WINS!

Setelah dinominasikan sebanyak 14 kali, Roger Deakins akhirnya berhasil memenangkan piala Best Cinematography dari ajang The 90th Annual Academy Awards. Deakins memenangkan kategori tersebut untuk film arahan Denis Villeneuve, Blade Runner 2049 (2017). Continue reading The 90th Annual Academy Awards Winners List

The 90th Annual Academy Awards Nominations List

Film arahan Guillermo del Toro, The Shape of Water, menjadi film dengan raihan nominasi terbanyak pada ajang The 90th Annual Academy Awards. Film tersebut mendapatkan nominasi di 13 kategori termasuk Best Picture, Best Director, Best Actress in a Leading Role untuk Sally Hawkins serta Best Original Screenplay untuk naskah cerita yang ditulis oleh del Toro bersama dengan Vanessa Taylor. Bersaing bersama The Shape of Water di kategori Best Picture adalah Call Me by Your Name (Luca Guadagnino, 2017), Darkest Hour (Joe Wright, 2017), Dunkirk (Christopher Nolan, 2017), Get Out (Jordan Peele, 2017), Lady Bird (Greta Gerwig, 2017), Phantom Thread (Paul Thomas Anderson, 2017), The Post (Steven Spielberg, 2017), dan Three Billboards Outside Ebbing, Missouri (Martin McDonagh, 2017). Nolan, Peele, Gerwig, dan Anderson juga berhasil mendapatkan nominasi di kategori Best Director bersama dengan del Toro. Continue reading The 90th Annual Academy Awards Nominations List

Review: The Girl on the Train (2016)

Setelah meraih sukses besar dengan The Help (2011) serta sempat merilis Get on Up (2014) – sebuah biopik yang berkisah tentang kehidupan penyanyi legendaris James Brown yang berhasil mendapatkan banyak pujian dari kritikus film dunia namun kurang begitu mampu dalam menarik perhatian penonton, Tate Taylor kembali duduk di kursi penyutradaraan untuk The Girl on the Train. Film yang diadaptasi dari novel popular berjudul sama karya Paula Hawkins ini berkisah mengenai seorang wanita alkoholik yang terlibat dalam kasus hilangnya seorang wanita yang sama sekali belum pernah ia temui – sebuah premis yang mungkin akan mengingatkan penontonnya pada Gone Girl (2014) arahan David Fincher. Continue reading Review: The Girl on the Train (2016)

Review: Minions (2015)

Minions-posterDunia pertama kali mengenal sekumpulan makhluk kecil berwarna kecil yang dikenal dengan sebutan minions ketika karakter-karakter tersebut hadir sebagai karakter pendukung pada film animasi produksi Illumination Entertainment, Despicable Me (Pierre Coffin dan Chris Renaud, 2010). Tidak hanya menjadi salah satu bagian terbaik dari Despicable Me, para minions berhasil mencuri jutaan hati para penikmat film tersebut yang kemudian menjadikan porsi penceritaan mereka meningkat secara signifikan ketika Despicable Me 2 dirilis tiga tahun kemudian. Kepopuleran minions yang cukup besar lantas mendorong para produser seri film Despicable Me untuk memproduksi sebuah film yang menjadikan minions sebagai bintang utamanya. Namun apakah para karakter yang terbiasa hadir sebagai karakter pendukung tersebut memiliki daya tarik yang sama (atau bahkan lebih?) kuat ketika ditempatkan pada garda terdepan sebuah film? Tidak, sayangnya.

Film Minions sendiri dimaksudkan untuk menjadi prekuel bagi seri Despicable Me dimana film ini mengisahkan tentang awal mula keberadaan minions sekaligus awal pertemuan mereka dengan Gru muda (Steve Carrell) yang kelak akan menjadi tuan mereka. Dikisahkan, minions merupakan makhluk yang telah ada semenjak Bumi diciptakan. Keberadaan minions sendiri memiliki satu tujuan: untuk menjadi pelayan bagi seorang tuan dengan sikap yang begitu jahat. Setelah melayani Tyrannosaurus rex, manusia primitif, Genghis Khan, Napoleon Bonaparte dan seorang drakula, minions tidak lagi menemukan seseorang yang tepat untuk dapat mereka layani. Keadaan tersebut membuat mereka menjadi depresi dan memilih untuk mengisolasi diri mereka ke Antartika. Tidak tahan dengan keadaan tersebut, tiga minion yang bernama Kevin, Stuart dan Bob (ketiganya diisisuarakan oleh Pierre Coffin) akhirnya memilih untuk melakukan perjalanan untuk menemukan seorang tuan yang baru. Setelah melalui beberapa rintangan, Kevin, Stuart dan Bob merasa mereka telah menemukan tuan yang tepat setelah berjumpa dengan seorang wanita penjahat yang kejam bernama Scarlett Overkill (Sandra Bullock).

Minions jelas memiliki penampilan yang cukup kuat untuk mengundang senyum atau bahkan tawa setiap penontonnya. Namun, dengan durasi penceritaan sepanjang 91 menit, penampilan lucu dari minions tersebut – yang dialognya hanya terdiri dari gumaman atau bentukan kata-kata yang kebanyakan tiada berarti – jelas tidak akan sanggup membuat film ini tampil menarik. Sayangnya, naskah cerita arahan Brian Lynch sepertinya benar-benar hanya mengandalkan guyonan khas minions untuk dapat menghibur penontonnya. Sebagian guyonan tersebut harus diakui masih mampu tampil lugas namun pada kebanyakan bagian guyonan-guyonan ciptaan Lynch gagal untuk tampil istimewa. Daya tarik minions sebagai penghibur yang dahulu begitu mencuri perhatian dalam dua seri Despicable Me jelas terasa menghilang ketika “dieksploitasi” secara lebih luas.

Seperti halnya ketiadaan seorang sosok tuan dalam kehidupan minions yang menyebabkan mereka merasa sengsara, naskah arahan Lynch juga gagal untuk tampil prima akibat ketiadaan karakter pendamping minions seperti karakter Gru dan ketiga anaknya dalam film ini. Minions memang menyajikan karakter Scarlett Overkill, namun karakter tersebut hadir dengan karakterisasi dan porsi penceritaan yang terlalu minim untuk dapat mencuri perhatian penonton. Karakter pasangan suami istri yang berprofesi sebagai penjahat, Walter dan Madge Nelson, sebenarnya lebih sering tampil dengan plot penceritaan yang menarik. Namun peran keduanya yang hanya tampil sebagai karakter pendukung sekunder jelas membuat kehadiran mereka lebih minim dengan fungsi penceritaan yang tidak terlalu berkembang.

Tidak sepenuhnya buruk. Selain dari beberapa guyonannya yang masih mampu memancing senyum, duo sutradara Pierre Coffin dan Kyle Balda berhasil menyajikan pengisahan filmnya dengan ritme yang cepat – meskipun tidak berpengaruh banyak akibat lemahnya kualitas penulisan naskah cerita film. Paruh ketiga dari Minions jelas adalah bagian paling kuat dari penceritaan film dimana baik Coffin maupun Balda mampu mengeksekusi sisi aksi dalam pengisahan Minions dengan cukup apik. Minions juga didukung dengan keberadaan deretan pengisi suara yang mampu memberikan karakter-karakter mereka identitas yang terasa unik dan begitu hidup. Lihat bagaimana pasangan Michael Keaton dan Allison Janney mampu membuat karakter Walter dan Madge Nelson menjadi begitu menarik. Atau Jennifer Saunders yang tampil jenaka dengan kemampuannya mengeksekusi setiap dialog yang dilontarkan karakter Queen Elizabeth II. Atau Geoffrey Rush yang mampu menjadi seorang narator yang baik dalam mewakili kisah perjalanan minions. Sayang, penampilan suara dari Sandra Bullock dan Jon Hamm terasa gagal dalam memberikan karakter mereka penampilan yang lebih baik. Bukan salah Bullock maupun Hamm sepenuhnya karena karakter-karakter mereka memang tergambar dengan begitu sempit. Bukan sebuah film animasi yang menyenangkan – bahkan ketika Anda mengharapkan sebuah film animasi untuk hanya menjadi sebuah tontonan bagi para penonton muda. [C-]

Minions (2015)

Directed by Pierre Coffin, Kyle Balda Produced by Chris Meledandri, Janet Healy Written by Brian Lynch Starring Pierre Coffin, Sandra Bullock, Jon Hamm, Michael Keaton, Allison Janney, Steve Coogan, Geoffrey Rush, Jennifer Saunders, Steve Carrell, Hiroyuki Sanada Music by Heitor Pereira Editing by Claire Dodgson Studio Illumination Entertainment Running time 91 minutes Country United States Language English

Review: Spy (2015)

spy-posterSetelah kesuksesan luar biasa dari Bridesmaids (2011) dan The Heat (2013), Paul Feig melanjutkan kerjasamanya dengan aktris Melissa McCarthy lewat Spy. Menilik premis yang ditawarkan oleh film yang naskah ceritanya juga ditangani oleh Feig ini, Spy dapat dengan mudah memberikan kesan sebagai sebuah versi alternatif dari The Heat yang juga menggunakan sentuhan aksi dan komedi sebagai nada penceritaannya namun tanpa kehadiran Sandra Bullock dalam jajaran pemeran utamanya. Is it a bad thing? Well… mungkin Spy menjadi terkesan (terlalu) familiar. Namun Feig sekali lagi membuktikan kehandalannya dalam mengolah jalan cerita yang sederhana menjadi sebuah sajian hiburan yang tetap mampu tampil berkelas dengan deretan guyonan yang begitu mampu ia kreasikan secara lugas. Dan, tentu saja, dukungan penampilan komikal McCarthy yang selalu berhasil menghadirkan momen-momen komedi yang liar semakin mampu menjadikan Spy sebagai salah satu film komedi terbaik tahun ini.

Meskipun merupakan salah satu lulusan terbaik dari pendidikan para agen rahasia yang dimiliki oleh Central Intelligence Agency, namun rasa kepercayaan diri yang rendah membuat Susan Cooper (McCarthy) menolak untuk bekerja langsung di lapangan sebagai seorang agen rahasia dan memilih profesi sebagai analis yang bertugas untuk mendampingi setiap agen rahasia yang sedang menjalankan misi mereka. Namun, kematian rekan kerjanya, Bradley Fine (Jude Law), sekaligus ancaman bahaya yang diterima oleh seluruh agen rahasia yang dibawahi CIA kemudian membuat Susan akhirnya mau menerima misi sebagai seorang agen rahasia. Tugas perdana Susan sendiri tidaklah mudah: Ia bertugas untuk mengamankan Rayna Boyanov (Rose Byrne) yang diduga akan menjual senjata pemusnah massal buatan ayahnya pada komplotan teroris.

Harus diakui, Feig jelas masih menggunakan formula aksi komedi yang sama seperti yang digunakannya pada The Heat dalam merangkai jalinan penceritaan Spy. Feig juga membangun Spy sebagai sebuah presentasi yang memanfaatkan dengan penuh talenta komedi Melissa McCarthy – sebuah hal yang dapat dirasakan bahwa Spy kehilangan gregetnya ketika karakter Susan Cooper yang diperankan McCarthy tidak muncul dalam beberapa adegan cerita film. Di saat yang bersamaan, Feig juga mampu menyusun unsur aksi dan komedi dari filmnya untuk berjalan beriringan dan mendukung satu sama lain. Tampilan aksi yang disajikan Feig mampu dieksekusi secara total sehingga tidak terkesan hanyalah sebagai adegan aksi yang menempel pada sebuah film komedi yang sekaligus membuat Spy terasa begitu dinamis dalam bercerita. Kualitas penulisan naskah Spy sendiri memang masih berada di bawah The Heat ataupun Bridesmaids. Namun kemampuan Feig untuk menghasilkan dialog-dialog komedi yang akan benar-benar mampu mengocok perut penontonnya jelas masih berada pada tingkatan yang masih sangat mengagumkan.

Jika Bridesmaids adalah sebuah film yang mampu mengenalkan sisi jenius dari penampilan komikal seorang Melissa McCarthy kepada seluruh dunia dan The Heat menampilkan dirinya sebagai pasangan yang mampu menghasilkan chemistry yang begitu erat dengan lawan mainnya, maka Spy menjadi ajang pembuktian bahwa McCarthy adalah seorang bintang yang mampu membawakan sebuah film secara sendirian dengan begitu sempurna. Tentu, Spy adalah sebuah film komedi dengan jenis guyonan yang memang telah menjadi zona nyaman dalam kapabilitas komedi McCarthy. Namun Spy jelas terasa hadir lebih hangat dan menggigit – bahkan di momen-momen terlemahnya – berkat penampilan McCarthy. McCarthy berhasil mengeksekusi setiap dialog yang dihantarkan karakter yang ia perankan dengan baik, menjalin chemistry yang sangat meyakinkan dengan setiap pemeran pendukung film serta, secara keseluruhan, menjadikan penampilan Spy terlihat lebih cerdas dari kualitas yang sebenarnya.

Feig tidak hanya mendapatkan penampilan yang solid dari McCarthy. Jajaran pemeran pendukung Spy juga hadir dengan penampilan komikal yang solid. Jason Statham membuktikan bahwa jangkauan aktingnya mampu tampil lebih luas daripada sekedar tampil sebagai sosok tangguh dalam film-film aksi yang selalu dilakoninya. Dalam Spy, Statham tampil sebagai versi komikal dari karakter-karakter tangguh yang sering ia perankan. Dan ia berhasil mengeksekusinya dengan sangat baik. Statham sebagai seorang bintang komedi di masa yang akan datang? Kenapa tidak. Meskipun karakternya hadir dengan latar belakang cerita yang tidak terlalu mendalam, Rose Byrne juga tampil penuh komitmen sebagai karakter antagonis (dengan sikap yang tidak terlalu antagonis) dalam jalan cerita film ini. Begitu pula dengan Jude Law, Allison Janney, Bobby Cannavale dan Miranda Hart. Oh. Dan 50 Cent juga hadir sebagai salah satu pengisi departemen akting film ini. Sebagai dirinya sendiri. That’s kinda exciting right? [B-]

Spy (2015)

Directed by Paul Feig Produced by Paul Feig, Jessie Henderson, Peter Chernin, Jenno Topping Written by Paul Feig Starring Melissa McCarthy, Jason Statham, Jude Law, Rose Byrne, Miranda Hart, Bobby Cannavale, Allison Janney, Peter Serafinowicz, Björn Gustafsson, Curtis Jackson, Morena Baccarin, Will Yun Lee, Nargis Fakhri, Zach Woods, Jessica Chaffin, Carlos Ponce Music by Theodore Shapiro Cinematography Robert Yeoman Editing by Dean Zimmerman, Don Zimmerman Studio Chernin Entertainment/Feigco Entertainment Running time 120 minutes Country United States Language English

Review: Mr. Peabody & Sherman (2014)

Mr. Peabody & Sherman (DreamWorks Animation/Pacific Data Images/Bullwinkle Studios/Classic Media Productions, 2014)
Mr. Peabody & Sherman (DreamWorks Animation/Pacific Data Images/Bullwinkle Studios/Classic Media Productions, 2014)

Dengan naskah yang ditulis oleh Craig Wright berdasarkan karakter-karakter yang diambil dari segmen Peabody’s Improbable History dalam serial televisi animasi yang popular di tahun 1960an, The Rocky and Bullwinkle Show, Mr. Peabody & Sherman berkisah mengenai seekor anjing tercerdas di dunia yang dikenal dengan nama Mr. Peabody (Ty Burrell). Kecerdasan Mr. Peabody bukan hanya membuatnya mampu berbicara dan mengerti bahasa yang digunakan oleh manusia namun juga berhasil menjadikannya seorang pengusaha sukses, jutawan, penemu, ilmuwan, ahloi masak yang handal, penerima penghargaan Nobel sekaligus peraih medali Olimpiade. Quite an achievement huh? Suatu hari, Mr. Peabody menemukan seorang bayi yang ditelantarkan oleh kedua orangtuanya. Setelah melalui proses hukum untuk melakukan adopsi, Mr. Peabody mengasuh bayi tersebut, menamakannya Sherman (Max Charles) serta berusaha keras mendidiknya agar menjadi seorang sosok manusia yang cerdas.

Continue reading Review: Mr. Peabody & Sherman (2014)

Review: The Help (2011)

Berdasarkan sebuah novel karya Kathryn Stockett yang berjudul sama dan berlatar belakang waktu pada tahun 1960-an, The Help mengisahkan mengenai Eugenia “Skeeter” Phelan (Emma Stone), seorang gadis berkulit putih yang baru saja menyelesaikan masa kuliahnya dan kemudian kembali ke kampung halamannya di Jackson, Mississippi, Amerika Serikat untuk mengejar karir sebagai seorang penulis profesional. Langkah tersebut ia mulai dengan menerima pekerjaan sebagai seorang penulis kolom mengenai kebersihan rumah tangga di sebuah harian lokal. Tuntutan pekerjaannya tersebut yang kemudian mengenalkannya pada Aibileen Clark (Viola Davis), seorang wanita paruh baya berkulit hitam yang bekerja sebagai seorang pembantu rumah tangga di kediaman salah seorang teman lama Skeeter, Elizabeth Leefolt (Ahna O’Reilly). Dari perkenalannya dengan Aibileen-lah, mata Skeeter mulai terbuka mengenai bagaimana perlakuan sebagian kaum kulit putih terhadap para warga kulita hitam yang dianggap sebagai warga kelas dua. Continue reading Review: The Help (2011)