Tag Archives: Bobby Cannavale

Review: Jolt (2021)

Film terbaru arahan Tanya Wexler (Buffaloed, 2019), Jolt, berkisah tentang seorang perempuan bernama Lindy (Kate Beckinsale) yang semenjak kecil didiagnosa memiliki kelainan kondisi medis dimana dirinya tidak mampu menahan rasa amarah yang lantas mendorongnya untuk melakukan tindakan kekerasan. Untuk menangani rasa amarah Lindy yang sering tidak terkendali, psikiaternya, Dr. Munchin (Stanley Tucci), memberikan sebuah alat kejut listrik yang mampu meredam hasrat Lindy untuk berlaku kasar ketika dirinya sedang emosional. Dr. Munchin juga menyarankan Lindy untuk bertemu dan menjalin hubungan dengan orang lain. Saran yang kemudian mempertemukan Lindy dengan seorang akuntan bernama Justin (Jai Courtney). Tanpa disangka, Justin ternyata dapat merebut sekaligus melunakkan hati Lindy. Namun, belum lama kisah asmara tersebut tumbuh, sebuah tragedi muncul dan menimpa Justin. Lindy tidak mampu lagi mengontrol seluruh emosi yang ia rasakan dan lantas berusaha untuk menemukan siapa yang bertanggungjawab atas apa yang terjadi pada sosok pria yang begitu dicintainya. Continue reading Review: Jolt (2021)

Review: Tom & Jerry (2021)

Apakah Anda tahu bahwa pasangan karakter kucing dan tikus, Thomas D. Cat dan Jerome A. Mouse – atau yang lebih popular dengan nama panggilan mereka, Tom dan Jerry, yang dikreasikan oleh William Hanna dan Joseph Barbera pernah memenangkan Academy Awards? Sebelum popular sebagai tontonan jutaan mata di seluruh dunia melalui serial televisi animasi yang mengudara semenjak tahun 1975, Hanna dan Barbera menjadikan karakter Tom dan Jerry sebagai bintang bagi 141 film animasi pendek mereka yang diproduksi dan dirilis oleh Metro-Goldwyn-Mayer Studios dari tahun 1940 hingga tahun 1958. Pada era inilah Tom & Jerry berhasil memenangkan kategori Best Animated Short Film di ajang Academy Awards sebanyak tujuh kali. Tom & Jerry: The Movie yang diarahkan oleh Phil Roman dan dirilis pada tahun 1992 menjadi film pertama dari seri Tom & Jerry yang ditayangkan di layar bioskop. Hampir tiga dekade kemudian, Warner Bros. Pictures mencoba membangkitkan kembali kepopuleran Tom & Jerry dengan memproduksi sebuah film berjudul sama yang menempatkan karakter animasi Tom dan Jerry pada gambaran kehidupan nyata sebagai latar belakang pengisahannya. Continue reading Review: Tom & Jerry (2021)

Review: Ant-Man and the Wasp (2018)

Seperti ukuran tubuhnya, keberadaan Ant-Man (Peyton Reed, 2015) dalam semesta penceritaan film-film Marvel memang seringkali terasa seperti sajian selingan yang dihadirkan guna mengisi keberadaan waktu renggang. Tidak pernah benar-benar menjadi menu utama maupun ditempatkan pada garda terdepan barisan seri film Marvel Cinematic Universe. Beruntung, Reed – dengan bantuan naskah cerita apik yang digarap oleh Edgar Wright, Joe Cornish, Adam McKay, dan bintang utama film ini, Paul Rudd – mampu memberikan pengarahan yang begitu bertenaga. Pemberian fokus pada sisi komedi yang lebih besar jika dibandingkan dengan film-film Marvel Cinematic Universe lainnya juga menjadikan Ant-Man terasa sebagai sebuah sentuhan manis yang menyegarkan. Keikutsertaan karakter Scott Lang/Ant-Man (Rudd) dalam Captain America: Civil War (Anthony Russo, Joe Russo, 2016) juga kemudian semakin memantapkan posisi karakter pahlawan super berukuran mini tersebut dalam jajaran pahlawan super milik Marvel Studios – meskipun jelas masih berada cukup jauh untuk mencapai posisi yang ditempati karakter-karakter seperti Captain America, Iron Man, atau bahkan Thor dan Hulk. Continue reading Review: Ant-Man and the Wasp (2018)

Review: Jumanji: Welcome to the Jungle (2017)

Dirilis lebih dari dua dekade semenjak perilisan Jumanji (Joe Johnston, 1995), Jumanji: Welcome to the Jungle dihadirkan sebagai sekuel – meskipun tampil berdiri sendiri – bagi film fantasi petualangan yang dibintangi oleh Robin Williams tersebut. Jalan ceritanya sendiri dimulai a la The Breakfast Club (John Hughes, 1985) ketika empat orang pelajar dari Brantford High School yang sedang ditempatkan bersama dalam sebuah ruangan hukuman, Spencer Gilpin (Alex Wolff), Bethany Walker (Madison Iseman), Anthony Johnson atau yang lebih sering dipanggil dengan sebutan Fridge (Ser’Darius Blain), dan Martha Kaply (Morgan Turner), memainkan sebuah mesin permainan video usang yang mereka temukan di ruangan tersebut. Tidak disangka, keempat pelajar tersebut secara ajaib masuk ke dalam permainan yang berjudul Jumanji dan berubah menjadi karakter-karakter yang terdapat di dalamnya: Spencer Gilpin berubah menjadi Dr. Smolder Bravestone (Dwayne Johnson), Fridge berubah menjadi Franklin Finbar (Kevin Hart), Martha Kaply berubah menjadi Ruby Roundhouse (Karen Gillan), dan Bethany Walker, sialnya, berubah wujud menjadi karakter pria paruh baya bernama Professor Sheldon Oberon (Jack Black). Walau awalnya merasa kebingungan dengan apa yang terjadi pada mereka, keempat pelajar tersebut akhirnya menyadari bahwa mereka harus menyelesaikan permainan Jumanji atau mereka akan tertahan – atau bahkan tewas – selamanya di dalam permainan petualangan tersebut. Continue reading Review: Jumanji: Welcome to the Jungle (2017)

Review: Ant-Man (2015)

ant-man-posterJika barisan pahlawan super dan berbagai varian yang telah dikenal selama ini masih belum mampu memuaskan Anda… wellmeet Ant-Man. Seperti halnya Captain America: The Winter Soldier (Anthony Russo dan Joe Russo, 2014) atau Guardians of the Galaxy (James Gunn, 2014) atau Avengers: Age of Ultron (Joss Whedon, 2015), Ant-Man juga merupakan satu karakter pahlawan super yang kisahnya diadaptasi dari seri komik terbitan Marvel Comics. Pertama kali dirilis ke hadapan publik pada tahun 1962, usaha untuk mengangkat kisah Ant-Man ke layar lebar sendiri telah dimulai semenjak akhir tahun 1980an. Namun, baru semenjak tahun 2003 ketika sutradara Edgar Wright (Scott Pilgrim vs. The World, 2010) bersama dengan rekan penulis naskahnya, Joe Cornish, memulai usaha untuk membangun penceritaan untuk Ant-Man, adaptasi kisah untuk versi layar lebar dari Ant-Man baru mulai benar-benar berjalan. Dengan naskah cerita final yang juga dibantu oleh sentuhan komedi Adam McKay (The Other Guys, 2010) dan Paul Rudd, Ant-Man akhirnya memulai masa produksinya pada akhir tahun 2014 dengan arahan sutradara Peyton Reed (Yes Man, 2008) untuk dipersiapkan sebagai salah satu sentuhan akhir bagi fase kedua dari Marvel Cinematic Universe.

Jika Peter Parker adalah Spider-Man dan Steve Rogers adalah Captain America dan Bruce Banner adalah Hulk, maka Scott Lang (Paul Rudd) adalah kepribadian yang berada di balik kostum Ant-Man. Who’s Scott Lang? Scott Lang adalah seorang mantan narapidana yang kemudian dipilih oleh seorang ilmuwan bernama Hank Pym (Michael Douglas) untuk mengenakan kostum Ant-Man yang ia ciptakan. Dengan kostum tersebut, Scott Lang memiliki kekuatan untuk mengecilkan tubuhnya setara dengan ukuran… well… semut, obviously, sekaligus berbagai kekuatan lainnya. Hank Pym sendiri memberikan kostum Ant-Man tersebut pada Scott Lang bukannya tanpa alasan. Hank Pym berniat untuk menghalangi proyek mantan muridnya, Darren Cross (Corey Stoll), yang meniru formula Ant-Man yang diciptakannya untuk kemudian dijual kepada pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab dan dapat mengancam perdamaian dunia.

Layaknya kebanyakan bagian awal dari sebuah seri film yang berkisah tentang seorang pahlawan super, Ant-Man juga menghabiskan sebagian durasi penceritaannya untuk menggali lebih dalam mengenai sosok karakter yang berada di balik tokoh Ant-Man sekaligus karakter-karakter lain yang berada di kehidupannya. Tentu, jika dibandingkan dengan kebanyakan film rilisan Marvel Studios sebelumnya yang tampil maksimal dalam penggarapan deretan adegan aksinya yang bombastis, tampilan Ant-Man yang hadir dengan ritme penceritaan yang sederhana dan lebih menekankan unsur drama akan memberikan sedikit kejutan bagi para penontonnya, khususnya mereka yang mungkin telah cukup familiar dengan film-film yang berada dalam Marvel Cinematic Universe. Buruk? Sama sekali tidak. Perubahan warna penceritaan yang dibawa Ant-Man justru memberikan kejutan yang menyegarkan sekaligus jeda yang mungkin memang dibutuhkan oleh sejenis.

Jangan khawatir. Ant-Man masih mampu menghadirkan deretan adegan aksi yang tergarap dengan cukup baik dalam banyak bagian penceritaannya. Namun, adalah unsur drama dan komedi yang menjadikan Ant-Man tampil begitu memikat. Jika selama ini unsur komedi hanya menjadi formula tambahan dalam film-film rilisan Marvel Studios, maka Ant-Man menjadikan formula tersebut sebagai bahan utamanya, meracik tiap adegan dan dialog dengan sentuhan komedi yang kental walaupun sama sekali tidak pernah melepaskan identitas sejatinya sebagai sebuah film bertemakan pahlawan super buatan Marvel Studios. Naskah cerita garapan Wright, Cornish, McKay dan Rudd mampu tersusun dengan baik untuk mengenalkan sang karakter pahlawan super kepada penonton. Begitu pula dengan eksekusi Reed atas naskah cerita tersebut yang – meskipun masih terasa datar pada bagian akhir paruh pertama hingga pertengahan paruh kedua penceritaan – menjadikan Ant-Man sebagai sebuah sajian kisah yang sangat menarik dan menghibur.

Kelihaian Marvel Studios dalam memilih deretan aktor yang tepat untuk menghidupkan karakter-karakter mereka juga sekali lagi menjadi poin keunggulan tersendiri bagi Ant-Man. Paul Rudd tampil begitu mengesankan sebagai Scott Lang/Ant-Man. Kharismanya yang kuat mampu membuat karakternya sebagai sosok pria/ayah/pahlawan super menjadi begitu humanis sekaligus mudah untuk disukai. Chemistry yang dijalin Rudd dengan para pemeran lain juga menjadikan naskah cerita Ant-Man yang cukup bergantung pada deretan dialognya tampil dinamis dalam presentasinya. Para pemeran pendukung seperti Michael Douglas, Evangeline Lilly hingga Corey Stoll juga hadir dengan penampilan akting yang prima. Namun adalah Michael Peña yang seringkali hadir dan mencuri perhatian dengan penampilan komikalnya. Peran Peña memang harus diakui cukup terbatas. Meskipun begitu, Peña mampu mengeksekusi setiap bagian kisahnya dengan begitu baik. [B-]

Ant-Man (2015)

Directed by Peyton Reed Produced by Kevin Feige Written by Edgar Wright, Joe Cornish, Adam McKay, Paul Rudd (screenplay), Edgar Wright, Joe Cornish (story), Stan Lee, Larry Lieber, Jack Kirby (comic book, Ant-Man) Starring Paul Rudd, Evangeline Lilly, Corey Stoll, Bobby Cannavale, Michael Peña, Tip “T.I.” Harris, Anthony Mackie, Wood Harris, Judy Greer, David Dastmalchian, Michael Douglas, John Slattery, Hayley Atwell, Abby Ryder, Gregg Turkington, Martin Donovan, Garrett Morris, Stan Lee, Chris Evans, Sebastian Stan, Hayley Lovitt Music by Christophe Beck Cinematography Russell Carpenter Edited by Dan Lebental, Colby Parker, Jr. Studio Marvel Studios Running time 117 minutes Country United States Language English

Review: Spy (2015)

spy-posterSetelah kesuksesan luar biasa dari Bridesmaids (2011) dan The Heat (2013), Paul Feig melanjutkan kerjasamanya dengan aktris Melissa McCarthy lewat Spy. Menilik premis yang ditawarkan oleh film yang naskah ceritanya juga ditangani oleh Feig ini, Spy dapat dengan mudah memberikan kesan sebagai sebuah versi alternatif dari The Heat yang juga menggunakan sentuhan aksi dan komedi sebagai nada penceritaannya namun tanpa kehadiran Sandra Bullock dalam jajaran pemeran utamanya. Is it a bad thing? Well… mungkin Spy menjadi terkesan (terlalu) familiar. Namun Feig sekali lagi membuktikan kehandalannya dalam mengolah jalan cerita yang sederhana menjadi sebuah sajian hiburan yang tetap mampu tampil berkelas dengan deretan guyonan yang begitu mampu ia kreasikan secara lugas. Dan, tentu saja, dukungan penampilan komikal McCarthy yang selalu berhasil menghadirkan momen-momen komedi yang liar semakin mampu menjadikan Spy sebagai salah satu film komedi terbaik tahun ini.

Meskipun merupakan salah satu lulusan terbaik dari pendidikan para agen rahasia yang dimiliki oleh Central Intelligence Agency, namun rasa kepercayaan diri yang rendah membuat Susan Cooper (McCarthy) menolak untuk bekerja langsung di lapangan sebagai seorang agen rahasia dan memilih profesi sebagai analis yang bertugas untuk mendampingi setiap agen rahasia yang sedang menjalankan misi mereka. Namun, kematian rekan kerjanya, Bradley Fine (Jude Law), sekaligus ancaman bahaya yang diterima oleh seluruh agen rahasia yang dibawahi CIA kemudian membuat Susan akhirnya mau menerima misi sebagai seorang agen rahasia. Tugas perdana Susan sendiri tidaklah mudah: Ia bertugas untuk mengamankan Rayna Boyanov (Rose Byrne) yang diduga akan menjual senjata pemusnah massal buatan ayahnya pada komplotan teroris.

Harus diakui, Feig jelas masih menggunakan formula aksi komedi yang sama seperti yang digunakannya pada The Heat dalam merangkai jalinan penceritaan Spy. Feig juga membangun Spy sebagai sebuah presentasi yang memanfaatkan dengan penuh talenta komedi Melissa McCarthy – sebuah hal yang dapat dirasakan bahwa Spy kehilangan gregetnya ketika karakter Susan Cooper yang diperankan McCarthy tidak muncul dalam beberapa adegan cerita film. Di saat yang bersamaan, Feig juga mampu menyusun unsur aksi dan komedi dari filmnya untuk berjalan beriringan dan mendukung satu sama lain. Tampilan aksi yang disajikan Feig mampu dieksekusi secara total sehingga tidak terkesan hanyalah sebagai adegan aksi yang menempel pada sebuah film komedi yang sekaligus membuat Spy terasa begitu dinamis dalam bercerita. Kualitas penulisan naskah Spy sendiri memang masih berada di bawah The Heat ataupun Bridesmaids. Namun kemampuan Feig untuk menghasilkan dialog-dialog komedi yang akan benar-benar mampu mengocok perut penontonnya jelas masih berada pada tingkatan yang masih sangat mengagumkan.

Jika Bridesmaids adalah sebuah film yang mampu mengenalkan sisi jenius dari penampilan komikal seorang Melissa McCarthy kepada seluruh dunia dan The Heat menampilkan dirinya sebagai pasangan yang mampu menghasilkan chemistry yang begitu erat dengan lawan mainnya, maka Spy menjadi ajang pembuktian bahwa McCarthy adalah seorang bintang yang mampu membawakan sebuah film secara sendirian dengan begitu sempurna. Tentu, Spy adalah sebuah film komedi dengan jenis guyonan yang memang telah menjadi zona nyaman dalam kapabilitas komedi McCarthy. Namun Spy jelas terasa hadir lebih hangat dan menggigit – bahkan di momen-momen terlemahnya – berkat penampilan McCarthy. McCarthy berhasil mengeksekusi setiap dialog yang dihantarkan karakter yang ia perankan dengan baik, menjalin chemistry yang sangat meyakinkan dengan setiap pemeran pendukung film serta, secara keseluruhan, menjadikan penampilan Spy terlihat lebih cerdas dari kualitas yang sebenarnya.

Feig tidak hanya mendapatkan penampilan yang solid dari McCarthy. Jajaran pemeran pendukung Spy juga hadir dengan penampilan komikal yang solid. Jason Statham membuktikan bahwa jangkauan aktingnya mampu tampil lebih luas daripada sekedar tampil sebagai sosok tangguh dalam film-film aksi yang selalu dilakoninya. Dalam Spy, Statham tampil sebagai versi komikal dari karakter-karakter tangguh yang sering ia perankan. Dan ia berhasil mengeksekusinya dengan sangat baik. Statham sebagai seorang bintang komedi di masa yang akan datang? Kenapa tidak. Meskipun karakternya hadir dengan latar belakang cerita yang tidak terlalu mendalam, Rose Byrne juga tampil penuh komitmen sebagai karakter antagonis (dengan sikap yang tidak terlalu antagonis) dalam jalan cerita film ini. Begitu pula dengan Jude Law, Allison Janney, Bobby Cannavale dan Miranda Hart. Oh. Dan 50 Cent juga hadir sebagai salah satu pengisi departemen akting film ini. Sebagai dirinya sendiri. That’s kinda exciting right? [B-]

Spy (2015)

Directed by Paul Feig Produced by Paul Feig, Jessie Henderson, Peter Chernin, Jenno Topping Written by Paul Feig Starring Melissa McCarthy, Jason Statham, Jude Law, Rose Byrne, Miranda Hart, Bobby Cannavale, Allison Janney, Peter Serafinowicz, Björn Gustafsson, Curtis Jackson, Morena Baccarin, Will Yun Lee, Nargis Fakhri, Zach Woods, Jessica Chaffin, Carlos Ponce Music by Theodore Shapiro Cinematography Robert Yeoman Editing by Dean Zimmerman, Don Zimmerman Studio Chernin Entertainment/Feigco Entertainment Running time 120 minutes Country United States Language English

Review: Annie (2014)

annie-2014-posterSemua orang mungkin telah familiar dengan Annie. Entah itu dari komik berjudul Little Orphan Annie karya Harold Gray yang pertama kali dirilis pada tahun 1924 atau melalui adaptasi drama panggung musikal berjudul Annie yang pertama kali dipentaskan di panggung Broadway pada tahun 1977 yang kemudian mengenalkan deretan lagu-lagu legendaris seperti It’s the Hard Knock Life atau Tomorrow atau melalui adaptasi film layar lebar musikal berjudul sama arahan John Huston pada tahun 1982 atau melalui adaptasi film televisi arahan Rob Marshall yang dirilis pada tahun 1999. Everyone knows the famous Annie! Lalu apa yang ditawarkan oleh versi terbaru dari Annie yang diproduseri oleh Will Smith dan rapper Jay Z ini?

Terlepas dari beberapa perubahan yang dibawakan duo penulis naskah Will Gluck dan Aline Brosh McKenna – seperti perubahan latar belakang waktu berjalannya cerita, perubahan nama atau latar belakang beberapa karakter maupun dengan melakukan penambahan beberapa lagu baru – harus diakui tidaklah banyak hal yang dapat merubah kualitas penceritaan Annie. Versi terbaru yang juga diarahkan oleh Gluck (Friends with Benefits, 2011) ini sendiri merupakan adaptasi dari kisah Annie yang dipentaskan di drama panggung Broadway. Jalan ceritanya masih predictable dan menjual (begitu banyak) mimpi yang kemudian gagal diarahkan dengan seksama oleh Gluck.

Yep. Dengan jalan cerita yang telah begitu familiar dan tergolong tradisional, beban berat jelas sangat bergantung pada kemampuan Gluck untuk mengolah Annie menjadi sebuah sajian yang setidaknya masih cukup nyaman untuk dinikmati. Gluck sendiri terasa tidak tahu apa yang harus dilakukan kepada materi cerita Annie. Ritme penceritaan film ini terasa begitu berantakan dengan banyak bagian musikal film memiliki jarak yang saling berjauhan satu sama lain – yang otomatis akan setidaknya membuat sisi musikal film ini terasa tidak lebih hanya sekedar sebuah tempelan dan pengisi jeda waktu sebelum jalan cerita film kembali berjalan. Pengaturan elemen musikal yang tidak tepat itu pula yang secara perlahan mulai mempengaruhi mood film sekaligus menghambat penonton untuk benar-benar dapat terhubung dengan setiap karakter yang ada di dalam jalan cerita.

Berbicara mengenai karakter, meskipun diisi dengan nama-nama seperti Quvenzhané Wallis, Jamie Foxx, Rose Byrne, Bobby Cannavale dan Cameron Diaz, masing-masing karakter tidak pernah benar-benar tampil hidup di sepanjang penceritaan film. Sebagian besar hal tersebut disebabkan oleh minimnya pengembangan dari setiap karakter yang hadir dan sebagian lagi justru disebabkan oleh masing-masing pemeran sendiri yang terasa berakting dalam kualitas penampilan yang setengah hati. Quvenzhané Wallis jelas terlihat nyaman dalam perannya namun terasa belum memiliki kekuatan yang cukup untuk berada di jajaran terdepan departemen akting sebuah film. Jamie Foxx tampil sebagai dirinya sendiri di sepanjang film. Yang terburuk, Cameron Diaz menterjemahkan karakter Miss Colleen Hannigan yang ia perankan secara begitu berlebihan – yang akan membuat penonton berharap karakter tersebut segera menghilang dari penceritaan Annie. Mungkin hanya Rose Byrne dan Bobby Cannavale-lah yang mampu tampil dengan penampilan yang begitu mencuri perhatian di setiap kali karakter mereka muncul dalam film ini.

Meskipun terasa dianaktirikan, elemen terkuat Annie justru berasal dari menit-menit dimana tampilam musikalnya hadir dalam jalan cerita. Walau baik Wallis, Byrne dan Diaz bukanlah sosok penyanyi yang cukup baik, namun versi terbaru lagu-lagu yang mereka nyanyikan seperti It’s the Hard Knock Life, Tomorrow dan Little Girls cukup mampu menghibur pada pendengarnya. Versi terbaru You’re Never Fully Dressed Without a Smile yang dinyanyikan oleh penyanyi asal Australia, Sia, dan hadir di salah satu adegan film juga berhasil diaransemen dengan begitu modern dan catchy. Beberapa lagu yang ditulis khusus untuk versi terbaru dari Annie seperti Opportunity, Who Am I? dan The City’s Yours juga mampu bersanding dengan baik bersama lagu-lagu klasik lainnya untuk menyajikan elemen kesenangan yang seringkali hilang dalam jalan penceritaan film. [C]

Annie (2014)

Directed by Will Gluck Produced by Will Smith, Jada Pinkett Smith, Shawn “Jay-Z” Carter, Caleeb Pinkett, James Lassiter, Lawrence “Jay” Brown, Tyran “Ty Ty” Smith Written by Will Gluck, Aline Brosh McKenna (screenplay), Thomas Meehan (musical, Annie), Harold Gray (comic, Little Orphan Annie) Starring Quvenzhané Wallis, Jamie Foxx, Rose Byrne, Bobby Cannavale, Cameron Diaz, Adewale Akinnuoye-Agbaje, Tracie Thoms, Dorian Missick, David Zayas, Nicolette Pierini, Amanda Troya, Eden Duncan-Smith, Zoe Margaret Colletti, Patricia Clarkson, Ashton Kutcher, Rihanna, Michael J. Fox, Mila Kunis, Bobby Moynihan, Sia Furler, Phil Lord, Christopher Miller Music by Charles Strouse Cinematography Michael Grady Edited by Tia Nolan Production company Village Roadshow Pictures/Overbrook Entertainment Running time 118 minutes Country United States Language English

Review: Parker (2013)

Diangkat dari seri novel Parker yang berjudul Flashfire (2000) karya Donald E. Westlake, Parker merupakan kali pertama seri novel crime thriller karya Westlake yang telah dirilis semenjak tahun 1962 tersebut diadaptasi menjadi sebuah film layar lebar dengan tetap menggunakan nama Parker sebagai nama karakter utamanya. Beberapa film yang mengadaptasi seri novel Parker sebelumnya – seperti Point Blank (1967), The Outfit (1973) dan Payback (1999) – mengubah nama karakter utamanya atau bahkan jenis kelamin karakter tersebut (Made in U.S.A., 1966). Dengan naskah cerita yang ditulis oleh John J. McLaughlin (Hitchcock, 2012), Parker berkisah mengenai seorang pencuri profesional yang berusaha menuntut balas setelah dikhianati rekan-rekannya. Sebuah jalinan kisah yang tepat untuk seorang Jason Statham bukan?

Continue reading Review: Parker (2013)

Review: Win Win (2011)

Belum familiar dengan nama sutradara Thomas McCarthy? Tidak perlu khawatir. Walau telah memulai karir di dunia hiburan sebagai seorang aktor semenjak tahun 1992, McCarthy sendiri baru memberanikan diri untuk menjadi seorang sutradara pada tahun 2003 lalu, dengan merilis film yang juga ia tulis, The Station Agent. Film tersebut kemudian berhasil memperoleh banyak pujian dari para kritikus fiulm dunia, khususnya dari kemampuan McCarthy dalam mengembangkan karakter dan jalan cerita yang ia bawakan. Kesuksesan The Station Agent kemudian disusul dengan The Visitor (2008) yang berhasil semakin memantapkan kredibilitas McCarthy sebagai seorang sutradara sekaligus menghantarkan aktor Richard Jenkins untuk meraih nominasi Best Actor in a Leading Role pertamanya pada ajang The 80th Annual Academy Awards.

Continue reading Review: Win Win (2011)

Review: The Other Guys (2010)

Will Ferrell bukanlah komedian favorit semua orang. Walaupun pada awalnya film-film yang dibintangi Ferrell cenderung sukses besar dalam mengeruk keuntungan, namun peran-peran yang terkesan stereotype dan tidak berubah sedikit banyak membuat penonton film dunia menjadi bosan dengan kehadiran Ferrell – alasan yang mungkin dapat menjelaskan mengapa beberapa film terakhir Ferrell, seperti Semi-Pro (2008) dan Land of the Lost (2009), gagal meraih perhatian kritikus film sekaligus mengeruk keuntungan selama masa peredarannya.

Continue reading Review: The Other Guys (2010)