Tag Archives: Jeremy Irvine

Review: The Professor and the Madman (2019)

Berkisah mengenai proses penyusunan buku The New English Dictionary on Historical Principles – atau yang sekarang dikenal luas dengan Oxford English Dictionary, The Professor and the Madman memiliki sejarah yang cukup rumit sebelum akhirnya dapat dirilis dan disaksikan oleh banyak penontonnya. Awalnya akan diarahkan oleh Mel Gibson, Gibson lantas menyerahkan kursi penyutradaraan pada penulis naskah Farhad Safinia – yang sebelumnya pernah bekerjasama untuk menuliskan naskah cerita film arahan Gibson, Apocalypto (2006) – dengan Gibson masih akan berperan sebagai karakter utama film ini bersama dengan Sean Penn. Memulai masa produksinya pada tahun 2016, Gibson dan Safinia harus menghadapi konflik yang berasal dari rumah produksi Voltage Pictures yang dinilai telah melanggar kesepakatan awal produksi dan bahkan menolak untuk memberikan Safinia hak untuk menentukan hasil akhir film arahannya. Proses hukum yang berlarut-larut akhirnya menghambat perilisan The Professor and the Madman serta membuat Gibson dan Safinia memilih untuk menarik keterlibatan mereka dalam proses lanjutan film – posisi Safinia sebagai sutradara dan penulis naskah lantas dicabut dan The Professor and the Madman dirilis dengan nama sutradara dan penulis naskah samaran P. B. Shemran. Continue reading Review: The Professor and the Madman (2019)

Review: Billionaire Boys Club (2018)

Diarahkan oleh James Cox (Straight A’s, 2013) berdasarkan naskah yang ia tulis bersama dengan Captain Mauzner (Factory Girl, 2006), Billionaire Boys Club memulai alur pengisahannya ketika dua pemuda yang dahulu pernah bersahabat dekat ketika masih duduk di bangku sekolah, Joe Hunt (Ansel Elgort) dan Dean Karny (Taron Egerton), kembali bertemu dan kemudian memutuskan untuk menjalani bisnis bersama. Dengan memanfaatkan modal yang diperoleh dengan mudah melalui teman-teman sekolah mereka yang memang berasal dari keluarga kaya raya, bisnis investasi yang dibangun oleh Joe Hunt dan Dean Karny – yang dilangsungkan dengan menjalankan Skema Ponzi – mulai menarik perhatian banyak pemodal besar termasuk Ron Levin (Kevin Spacey) yang merupakan seorang pebisnis besar dengan banyak koneksi yang menjanjikan dan kemudian bergabung bersama Joe Hunt dan Dean Karny sebagai penasehat mereka. Layaknya banyak bisnis yang menggunakan Skema Ponzi, investasi yang dijalankan Joe Hunt dan Dean Karny berjalan mulus dan segera menjadikan mereka sebagai sosok muda yang bergelimang harta. Namun, sebuah tindak pengkhianatan lantas mulai menghancurkan bisnis tersebut… dan bahkan menyeret Joe Hunt dan Dean Karny dalam kasus pembunuhan. Continue reading Review: Billionaire Boys Club (2018)

Review: Mamma Mia! Here We Go Again (2018)

Lily James dan Amanda Seyfried adalah Vito Corleone dan Michael Corleone – karakter yang diperankan oleh Robert de Niro dan Al Pacino pada film The Godfather Part II (Francis Ford Coppola, 1974) – dalam Mamma Mia! Here We Go Again. Wellmaybe not. Namun, naskah cerita Mamma Mia! Here We Go Again yang ditulis oleh sutradara film ini, Ol Parker (Now is Good, 2012), berdasarkan konsep cerita garapan Catherine Johnson dan Richard Curtis, memang mengikuti pola pengisahan The Godfather Part II yang mengeksplorasi kisah masa muda dari karakter sentral dalam film sebelumnya, The Godfather (Coppola, 1972), dan di saat yang bersamaan turut berkisah mengenai bagaimana anak dari sang karakter sentral berusaha untuk meneruskan usaha maupun cita-cita dari sang karakter sentral tersebut. Dan, mengingat kita sedang berada dalam semesta pengisahan Mamma Mia!, deretan lagu-lagu milik grup vokal asal Swedia, ABBA, siap untuk turut menemani pada setiap adegannya. Menyenangkan? Tentu saja. Tapi apakah Mamma Mia! Here We Go Again mampu menggapai tingkatan kesenangan yang dahulu pernah dihantarkan oleh Mamma Mia! The Movie (Phyllida Lloyd, 2008)? Continue reading Review: Mamma Mia! Here We Go Again (2018)

Review: The Woman in Black 2: Angel of Death (2015)

The-Woman-in-Black-angel-of-death-posterThe Woman in Black 2: Angel of Death, yang merupakan sekuel dari film The Woman in Black (James Watkins, 2012), adalah salah satu contoh buruk bagaimana para produser seringkali memaksakan kehadiran adanya sebuah sekuel dengan tanpa adanya ide cerita baru yang berarti demi mengharapkan terulangnya kesuksesan komersial film pertama. Tidak lagi diarahkan oleh Watkins, dengan naskah cerita yang tidak lagi ditangani oleh Jane Goldman dan tanpa penampilan dari Daniel Radcliffe, The Woman in Black 2: Angel of Death benar-benar hadir tanpa menawarkan keistimewaan apapun. Sangat, sangat membosankan.

Jadi apa yang menjadi masalah terbesar The Woman in Black 2: Angel of Death? Naskah cerita. Di tangan Jon Crocker yang menggantikan posisi Goldman, naskah cerita The Woman in Black 2: Angel of Death hanyalah berisi berbagai perulangan petualangan horor yang dahulu sempat ditampilkan pada film pertama. Baiklah. Film ini memang menghadirkan deretan karakter dan konflik yang berbeda – termasuk dengan memodernkan latar belakang waktu penceritaan dari awal abad ke-20 menjadi masa pertengahan abad tersebut dimana Perang Dunia sedang bergejolak. Namun lebih dari itu? Sama sekali tidak ada yang baru. Masih mengisahkan mengenai sebuah rumah berhantu, dengan teror dari sang “wanita bergaun hitam”, kisah legenda mengenai sang wanita tersebut yang kemudian menjadi misteri yang berusaha dipecahkan sang karakter utama di film ini dan, tentu saja, kematian demi kematian karakter yang turut menggunakan berbagai formula film sebelumnya.

Sutradara Tom Harper, yang menggantikan posisi Watkins, sepertinya sadar akan kelemahan naskah cerita dari film yang ia arahkan. Karenanya, Harper kemudian memusatkan perhatiannya pada usaha untuk menakuti para penontonnya. Dengan cara apa? Dengan menghadirkan deretan adegan-adegan penuh kejutan horor plus tambahan iringan musik yang akan sanggup memekakkan telinga setiap penonton film ini. Medioker – jika tidak ingin disebut sebagai sebuah pengarahan yang buruk. Harus diakui, beberapa bagian kejutan horor tersebut masih mampu memberikan hiburan tersendiri. Namun setelah beberapa saat, dan dengan bangunan cerita dan eksekusi yang lemah, kehadiran kejutan demi kejutan tersebut akhirnya berubah hampa dan cenderung berkesan mengganggu.

Naskah buruk Crocker juga memberikan ruang yang begitu sempit bagi setiap karakter dalam jalan cerita film ini untuk berkembang dengan baik. Karenanya, jangan heran jika melihat aktor dan aktris bertalenta akting kuat seperti Jeremy Irvine, Helen McCrory dan Phoebe Fox tersia-siakan penampilannya dalam film ini. Jika ada bagian yang layak diberikan (sedikit) pujian dalam The Woman in Black 2: Angel of Death mungkin hal tersebut muncul dari sisi teknikal film yang berhasil merangkai gambar dan kualitas produksi beratmosfer gloomy yang benar-benar elegan. Selebihnya… well… Daniel Radcliffe jelas beruntung tidak harus memiliki film buruk ini dalam catatan filmografinya. [C-]

The Woman in Black 2: Angel of Death (2015)

Directed by Tom Harper Produced by Simon Oakes, Richard Jackson, Ben Holden, Tobin Armbrust Written by     Jon Croker (screenplay), Susan Hill (story) Starring Phoebe Fox, Jeremy Irvine, Helen McCrory, Adrian Rawlins, Leanne Best, Ned Dennehy, Jacob Oaklee Pendergast, Genelle Williams, Leilah de Meza, Claire Rafferty, Jude Wright, Amelia Pidgeon, Pip Pearce, Alfie Simmons, Casper Allpress Music by Marco Beltrami, Brandon Roberts, Marcus Trumpp Cinematography George Steel Edited by Mark Eckersley Studio Hammer Films/Entertainment One/Cross Creek Pictures Running time 98 minutes Country United Kingdom Language English

Review: Now is Good (2012)

now-is-good-header

Diangkat dari novel yang berjudul Before I Die karya novelis asal Inggris, Jenny Downham, Now is Good berkisah mengenai seorang gadis remaja, Tessa Scott (Dakota Fanning), yang didiagnosa menderita penyakit leukimia. Setelah empat tahun menjalani kemoterapi guna melawan penyakit tersebut, Tessa menemukan bahwa penyakit yang ia derita justru semakin menggerogoti tubuhnya. Merasa bosan dengan proses kemoterapi yang ternyata tidak berguna dan hanya memberikan efek negatif pada tubuh serta stabilitas emosionalnya, Tessa akhirnya berhenti menjalani kemoterapi dan menerima fakta bahwa hidupnya tidak akan berlangsung lama lagi. Bersama dengan sahabatnya, Zoey (Kaya Scodelario), Tessa kemudian menyusun deretan hal-hal yang ingin ia lakukan sebelum ia akhirnya menemui ajalnya.

Continue reading Review: Now is Good (2012)