Dengan raihan sepuluh nominasi, film arahan David Fincher, Mank (2020), menjadi film dengan perolehan nominasi terbanyak di ajang The 93rd Annual Academy Awards. Namun, Chloé Zhao berhasil mencatatkan sejarah dengan menjadi wanita pertama yang mampu meraih empat nominasi di sepanjang sejarah pelaksanaan Academy Awards. Melalui filmnya, Nomadland (2020), Zhao mendapatkan nominasi di kategori Best Picture, Best Director, Best Adapted Screenplay, dan Best Editing. Secara keseluruhan, Nomadland mengumpulkan enam nominasi dengan dua nominasi lainnya berasal dari kategori Best Actress in a Leading Role untuk penampilan Frances McDormand dan kategori Best Cinematography untuk Joshua James Richards. Di kategori Best Picture, Nomadland akan bersaing dengan Mank dan enam film lainnya, The Father (2020), Judas and the Black Messiah (2021), Minari (2020), Promising Young Woman (2020), Sound of Metal (2019), dan The Trial of the Chicago 7 (2020). Continue reading The 93rd Annual Academy Awards Nominations List
Tag Archives: Amanda Seyfried
20 / 2020 – The 20 Best Movie Performances of 2020
What makes an acting performance so remarkable and/or memorable? Kemampuan seorang aktor untuk menghidupkan karakternya dan sekaligus menghantarkan sentuhan-sentuhan emosional yang dirasakan sang karakter jelas membuat sebuah penampilan akan mudah melekat di benak para penontonnya. Kadang bahkan jauh seusai penonton menyaksikan penampilan tersebut. Penampilan tersebut, tentu saja, tidak selalu membutuhkan momen-momen emosional megah nan menggugah. Bahkan, pada beberapa kesempatan, tidak membutuhkan durasi penampilan yang terlalu lama. Continue reading 20 / 2020 – The 20 Best Movie Performances of 2020
Review: Mank (2020)
Dengan naskah cerita yang telah selesai ditulis oleh sang ayah, Jack Fincher, di tahun 1990an, Mank awalnya direncanakan akan menjadi film terbaru arahan David Fincher setelah ia menyelesaikan proses produksi The Game (1997). Fincher bahkan telah memilih Kevin Spacey dan Jodie Foster sebagai bintang utama dari filmnya. Sayang, niatan Fincher untuk menghadirkan film yang berkisah tentang proses penulisan naskah dari film Citizen Kane (Orson Welles, 1941) tersebut dalam presentasi hitam-putih menyebabkan banyak studio film menarik minat mereka untuk mendanainya. Jack Fincher sendiri tidak pernah berkesempatan untuk menyaksikan film yang naskah ceritanya ia tulis hingga dirinya meninggal dunia di tahun 2003. Lebih dari dua dekade kemudian, tepatnya pada pertengahan tahun 2019, Fincher mengumumkan bahwa dirinya akan melanjutkan proses untuk memfilmkan Mank dengan bantuan Netflix guna mempertahankan seluruh estetika presentasi dan penceritaan yang memang diinginkannya semenjak awal. Continue reading Review: Mank (2020)
Review: Mamma Mia! Here We Go Again (2018)
Lily James dan Amanda Seyfried adalah Vito Corleone dan Michael Corleone – karakter yang diperankan oleh Robert de Niro dan Al Pacino pada film The Godfather Part II (Francis Ford Coppola, 1974) – dalam Mamma Mia! Here We Go Again. Well… maybe not. Namun, naskah cerita Mamma Mia! Here We Go Again yang ditulis oleh sutradara film ini, Ol Parker (Now is Good, 2012), berdasarkan konsep cerita garapan Catherine Johnson dan Richard Curtis, memang mengikuti pola pengisahan The Godfather Part II yang mengeksplorasi kisah masa muda dari karakter sentral dalam film sebelumnya, The Godfather (Coppola, 1972), dan di saat yang bersamaan turut berkisah mengenai bagaimana anak dari sang karakter sentral berusaha untuk meneruskan usaha maupun cita-cita dari sang karakter sentral tersebut. Dan, mengingat kita sedang berada dalam semesta pengisahan Mamma Mia!, deretan lagu-lagu milik grup vokal asal Swedia, ABBA, siap untuk turut menemani pada setiap adegannya. Menyenangkan? Tentu saja. Tapi apakah Mamma Mia! Here We Go Again mampu menggapai tingkatan kesenangan yang dahulu pernah dihantarkan oleh Mamma Mia! The Movie (Phyllida Lloyd, 2008)? Continue reading Review: Mamma Mia! Here We Go Again (2018)
Review: Anon (2018)
Andrew Niccol (Good Kill, 2015) membawa penontonnya ke masa depan lewat film terbarunya, Anon. Di masa tersebut, setiap manusia memiliki implan yang ditanamkan ke retina mata yang menyebabkan setiap orang dapat mendapatkan informasi yang mereka butuhkan mengenai seseorang atau sesuatu yang mereka jumpai secara cepat dan tepat. Tidak hanya itu, setiap detil tindakan atau perkataan juga dapat terekam dan tersimpan dengan baik – suatu hal yang jelas kemudian memudahkan pihak kepolisian untuk meneliti setiap kasus kejahatan kriminal yang mereka tangani dengan hanya memutar ulang kembali rekaman ingatan setiap orang yang mereka jadikan sebagai tersangka. Tetap saja, hal tersebut tidak menghentikan langkah beberapa pelaku kriminal untuk dapat menjalankan aksi mereka. Dalam sebuah kasus terbaru, seorang pembunuh meretas sistem informasi penglihatan para korbannya sehingga mata mereka tidak dapat melihat siapa pembunuh mereka dan justru menyaksikan sendiri bagaimana mereka terbunuh. Cukup sadis. Continue reading Review: Anon (2018)
Review: Gringo (2018)
Dengan barisan pengisi departemen aktingnya yang diisi nama-nama seperti Joel Edgerton, Charlize Theron, David Oyelowo, Amanda Seyfried, Sharlto Copley, hingga Thandie Newton, serta alur pengisahan bernada black comedy dengan sentuhan deretan adegan aksi yang kadang tampil begitu brutal, adalah mudah untuk melihat Gringo sebagai sebuah film arahan Quention Tarantino maupun Joel dan Ethan Coen. But it’s not. Gringo merupakan film layar lebar kedua yang diarahkan Nash Edgerton setelah kesuksesan debut pengarahannya, The Square (2008). Seperti yang diungkapkan sebelumnya, Gringo memiliki formula yang dapat saja menyamai film-film buatan Tarantino atau The Coen Brothers. Sayangnya, dengan segala potensi tersebut, Gringo gagal tampil bercerita dengan kuat akibat lemahnya bangunan pengisahan film hingga pengarahan Nash Edgerton yang sering terasa tampil berantakan. Continue reading Review: Gringo (2018)
Review: The Big Wedding (2013)
Apa yang akan terjadi jika Anda menempatkan nama-nama bintang besar Hollywood seperti Robert De Niro, Diane Keaton, Susan Sarandon, Topher Grace, Ben Barnes, Katherine Heighl dan Amanda Seyfried bersama untuk membintangi sebuah film drama komedi romantis? Well… dengan materi dan pengarahan sutradara yang kuat, jajaran pengisi departemen akting tersebut jelas akan mampu memberikan penampilan yang sangat memuaskan. Sayangnya, The Big Wedding, sama sekali tidak memiliki dua keunggulan tersebut. Naskah cerita arahan sutradara Justin Zackham (Going Greek, 2001) tampil begitu datar dalam bercerita dan sama sekali gagal dalam menonjolkan sisi komedi maupun romansa dari film ini. Bukan sebuah presentasi yang cukup mampu untuk memberikan hiburan pada penontonnya. Continue reading Review: The Big Wedding (2013)
Review: Epic (2013)
Unfortunately, there’s actually nothing epic about… errr… Epic. Jangan salah. Chris Wedge (Robots, 2005) mampu menghadirkan presentasi visual film ini dengan kualitas yang cukup mengesankan. Sangat indah, meskipun bukanlah presentasi terbaik yang dapat diberikan oleh sebuah film yang memanfaatkan teknologi 3D dalam tampilan visualnya. Wedge juga mampu menata intensitas cerita yang kuat pada beberapa bagian cerita sehingga membuat Epic terlihat begitu menarik untuk diikuti oleh para penonton muda. Namun, terlepas dari segala keunggulan tersebut, secara keseluruhan, Epic terasa jauh dari kesan spektakuler. Pada kebanyakan bagian kisahnya, Epic lebih terkesan sebagai sebuah film yang menghadirkan pola penceritaan dan karakter yang (terlalu) tradisional. Tidak salah. Namun… yah… jelas tidak istimewa.
Review: Les Misérables (2012)
Walau ketika mendengar judul Les Misérables Anda kemungkinan besar akan langsung dapat membayangkan puluhan film adaptasi novel legendaris berjudul sama karya Victor Hugo yang telah dirilis sebelumnya – termasuk Les Misérables arahan Richard Boleslawski yang dirilis pada tahun 1935 dan berhasil mendapatkan nominasi di kategori Best Picture pada ajang Academy Awards, namun Les Misérables arahan Tom Hooper (The King’s Speech, 2010) adalah film layar lebar pertama yang merupakan adaptasi dari drama panggung musikal karya Alain Boublil dan Claude-Michel Schönberg yang telah begitu popular semenjak dipentaskan pada tahun 1985. Berbeda dengan film musikal kebanyakan, Hooper memperlakukan Les Misérables layaknya sebuah pertunjukan drama panggung: setiap dialog dan interaksi antar karakter disajikan dalam bentuk nyanyian serta setiap pemeran diharuskan untuk menyanyikan langsung dialog tersebut selama proses produksi Les Misérables berlangsung. Sebuah tantangan yang jelas memiliki resiko tinggi. Namun apakah Hooper mampu menghantarkan drama panggungnya sendiri dengan baik?
Review: Gone (2012)
Amanda Seyfried sepertinya sedang membutuhkan seseorang yang tepat untuk mendampinginya dalam memilih berbagai proyek film yang akan ia bintangi. Setelah membintangi Mamma Mia! (2008) bersama Meryl Streep yang kemudian berhasil meraih kesuksesan komersial luar biasa sekaligus menempatkan nama Seyfried ke jajaran aktris papan atas Hollywood, secara perlahan Seyfried sepertinya seringkali terjebak dalam banyak proyek-proyek film medioker yang untungnya masih mampu menghasilkan keuntungan komersial, seperti Dear John (2010), Red Riding Hood (2011) dan In Time (2011). Mengawali tahun 2012, Seyfried membintangi Gone, sebuah film psychological thriller yang menjadi debut penyutradaraan film berbahasa Inggris bagi sutradara asal Brazil, Heitor Dhalia, yang sayangnya, kemungkinan besar hanya akan menambah panjang daftar film berkelas medioker yang dibintangi Seyfried.
Review: In Time (2011)
Setelah kesuksesannya dalam memerankan karakter Sean Parker dalam The Social Network (2010), Justin Timberlake muncul sebagai salah satu aktor yang paling banyak dibicarakan di Hollywood. The Social Network memang bukanlah film pertama dari aktor yang juga seorang penyanyi ini. Namun, baru lewat The Social Network kemampuan akting Timberlake mampu dilirik dan dianggap serius oleh banyak kritikus film dunia. Pertanyaan berikutnya jelas, apakah kemampuan akting Timberlake dalam The Social Network adalah murni merupakan bakat akting Timberlake yang semakin terasah atau hanya karena Timberlake sedang beruntung berada di bawah arahan seorang sutradara bertangan dingin seperti David Fincher. Dua film komedi, Bad Teacher dan Friends with Benefits, yang dirilis lebih awal jelas tidak akan mampu dijadikan tolak ukur mendalam dari kemampuan akting Timberlake. Pembuktian tersebut datang dari In Time, film science fiction yang dibintangi Timberlake bersama Amanda Seyfried dengan arahan sutradara Andrew Niccol (Lord of War, 2005).
Review: Red Riding Hood (2011)
Sekeras apapun usaha untuk menyembunyikannya, namun adalah sangat sulit untuk membantah bahwa Red Riding Hood adalah sebuah film yang diproduksi untuk mendompleng ketenaran dari franchise The Twilight Saga yang banyak digilai kaum remaja tersebut. Lihat saja dari susunan jalan ceritanya. Terlepas dari fakta bahwa David Johnson (Orphan, 2009) mendasarkan jalan cerita Red Riding Hood berdasarkan kisah legendaris Little Red Riding Hood, film ini masih menceritakan mengenai kisah cinta segitiga antara seorang wanita dengan dua pria yang sama-sama berniat untuk memilikinya. Satu diantara pria tersebut bahkan dicurigai sebagai jelmaan seekor serigala. Kebetulan? Tambahkan dengan fakta lain bahwa film ini diarahkan oleh Catherine Hardwicke, sutradara wanita yang mengarahkan seri pertama The Twilight Saga, Twilight (2008), maka Anda akan mendapatkan sebuah film dengan cita rasa The Twilight Saga yang kental namun dengan perlakuan produksi seperti sebuah film-film period. Kualitasnya sendiri?
Review: Chloe (2010)
Sutradara asal Kanada, Atom Egoyan, memang lebih banyak dikenal sebagai seorang sutradara yang lebih banyak memberikan film-film bertema art-house daripada film-film komersial yang seringkali dirilis murni untuk mencari keuntungan belaka. Walau begitu, bukan berarti Egoyan tidak berani untuk mencoba sesuatu yang bersifat komersial. Chloe adalah sebuah usaha Egoyan untuk mencampurkan teknik penyutradaraan art-house yang sering ia terapkan, dengan sisi komersialisme untuk dapat dinikmati oleh publik umum.