Tag Archives: Agung Saga

Review: Membabi-buta (2017)

Prisia Nasution menghabiskan paruh awal 2017 untuk tampil dalam film-film dari genre horor. Setelah film produksi Malaysia, Interchange (Dain Iskandar Said, 2016), yang dirilis terbatas di layar bioskop Indonesia awal tahun ini dan kemudian disusul dengan The Curse (Muhammad Yusuf, 2017), hattrick Nasution dalam membintangi film horor di tahun ini hadir lewat Membabi-buta. Merupakan film yang menjadi debut pengarahan film layar lebar bagi Joel Fadly, naskah cerita Membabi-buta yang digarap oleh Anggi Septianto (Algojo: Perang Santet, 2016) sendiri tidak memiliki cukup konflik untuk mengisi banyak ruang penceritaan film ini. Beruntung, Fadly menyimpan beberapa amunisi dari teknik pengarahannya yang mampu membuat Membabi-buta setidaknya tidak pernah terasa membosankan terlepas dari berbagai kelemahan presentasi ceritanya. Continue reading Review: Membabi-buta (2017)

Review: Rumah Malaikat (2016)

Cukup mudah untuk merasakan bahwa Billy Christian adalah salah satu sosok pembuat film Indonesia yang memiliki begitu banyak ide segar di kepalanya. Lihat saja film-film horor yang pernah ia garap seperti Tuyul – Part 1 (2015) atau Kampung Zombie (2015) yang mampu hadir dengan sentuhan kesegaran ide yang cukup berbeda jika dibandingkan dengan kebanyakan film horor produksi pembuat film Indonesia lainnya. Bahkan pada film komedi seperti The Legend of Trio Macan (2013) atau drama romansa seperti 7 Misi Rahasia Sophie (2013), Christian tetap mampu menyelipkan sentuhan-sentuhan tersebut untuk membuat filmnya terasa lebih berisi meskipun dengan jalan cerita yang sebenarnya telah familiar. Continue reading Review: Rumah Malaikat (2016)

Review: Kacaunya Dunia Persilatan (2015)

kacaunya-dunia-persilatan-posterDikenal sebagai seorang penulis naskah untuk film-film Indonesia seperti Sehidup (Tak) Semati (2010), 5 cm (2012) dan Mama Cake (2012), Hilman Mutasi melakukan debut penyutradaraannya melalui film Kacaunya Dunia Persilatan – yang naskah ceritanya juga ditulis oleh Hilman sendiri. Seperti yang tergambar dari judul film, Kacaunya Dunia Persilatan adalah sebuah film komedi yang mencoba memparodikan beberapa karakter pendekar silat yang terdapat dalam film-film bertemakan martial arts khas Indonesia tersebut yang dahulu sempat popular di layar lebar Indonesia. Apakah Hilman mampu memberikan hiburan bagi penonton di masa sekarang dengan materi parodi yang berasal dari era keemasan dunia film Indonesia di masa lalu?

Well… Sebagai sebuah film yang menandai kali pertama Hilman Mutasi duduk di kursi penyutradaraan, Kacaunya Dunia Persilatan harus diakui memiliki kualitas yang jauh dari kesan mengecewakan. Hilman memiliki kemampuan yang cukup handal dalam mengarahkan para pengisi departemen aktingnya – yang berisi nama-nama seperti Darius Sinathrya, Tora Sudiro, Amink hingga komedian senior seperti Joehana Sutisna dan Iang Darmawan dari kelompok komedi legendaris, Padhyangan Project. Selain itu, sebagai sebuah film komedi yang berkisah tentang dunia persilatan, Kacaunya Dunia Persilatan juga mampu dihadirkan dengan kualitas tata produksi yang meyakinkan. Tidak sampai pada tahapan mewah ataupun epik seperti layaknya Pendekar Tongkat Mas (Ifa Isfansyah, 2014) namun Kacaunya Dunia Persilatan jelas terasa benar-benar tergarap dengan serius.

Permasalahan utama muncul ketika menyinggung Kacaunya Dunia Persilatan sebagai sebuah film komedi. Naskah cerita film yang ditulis Hilman Mutasi sepertinya telah selesai dikerjakan bertahun-tahun lalu dengan kandungan guyonan semacam parodi Arya Wiguna atau Klinik Tong Fang atau Gangnam Style atau Harlem Shake yang jelas tidak akan dapat bekerja (terlalu) efektif ketika ditampilkan saat ini. Guyonan Hilman lainnya juga tidak lebih baik. Begitu mudah ditebak dan seringkali gagal untuk menggarisbawahi unsur komedi dalam film ini. Kehadiran Elly Ermawati dan Fendy Pradana — pemeran Mantili dan Brama Kumbara dalam beberapa seri film Saur Sepuh — yang sepertinya ditujukan sebagai sebuah tribut singkat kepada film-film martial arts Indonesia di akhir film juga kurang (tidak?) mampu bekerja dengan baik karena… welllet’s be frank. No one recognizes them anymore.

Dari departemen akting, Kacaunya Dunia Persilatan didukung dengan penampilan yang cukup memuaskan dari setiap aktor dan aktrisnya. Chemistry yang erat antar setiap pemeran jelas memberikan keunggulan tersendiri bagi kualitas film secara keseluruhan. Sementara itu, Tora Sudiro dan Amink juga mampu tampil mencuri perhatian lewat karakter mereka sebagai Si Buta Dari Gua Buat Elu dan Siluman Antik. Kedua karakter tersebut seringkali diberkahi dengan dialog-dialog komikal yang mampu dieksekusi kedua aktor dengan baik. [C-]

Kacaunya Dunia Persilatan (2015)

Directed by Hilman Mutasi Produced by Helfi Kardit Written by Hilman Mutasi Starring Tora Sudiro, Darius Sinathrya, Amink, Joehana Sutisna, Agung Saga, Vicky Monica, Ery Makmur, Guntur Nugraha, Iang Darmawan, Zahra Jasmine, Elly Ermawati, Fendy Pradana Music by Candil Cinematography Ophie Yophie Edited by Ryan Purwoko Production company SAS Film Running time 98 minutes Country Indonesia Language Indonesian

Review: True Heart (2013)

true-heart-header

Dengan naskah cerita yang ditulis oleh Armantono (Soegija, 2012) dan berlatar belakang lokasi cerita di Batam, True Heart berkisah mengenai Ferry (Agung Saga) yang kini sedang terjerumus ke dalam lembah hitam penggunaan narkotika dan obat-obatan terlarang. Ferry sebenarnya memiliki hidup yang mungkin didambakan banyak orang. Ia dan adiknya, Vina (Tri Novia Vantinasari), berasal dari latar belakang keluarga yang berkecukupan. Sayangnya, kesibukan kedua orangtua mereka (Ray Sahetapy dan Keke Soeryo Renaldi) membuat Ferry dan Vina tidak mendapatkan kasih sayang yang cukup. Keterlibatan Ferry dalam penggunaan narkoba bahkan akhirnya juga turut menjebak Vina sekaligus merenggut nyawa gadis tersebut.

Continue reading Review: True Heart (2013)

Review: The Witness (2012)

Sebagai seorang sutradara, nama Muhammad Yusuf mungkin masih belum familiar bagi banyak penonton film Indonesia. Muhammad Yusuf sendiri, yang juga pernah menjadi seorang aktor di tahun 1980an, memulai debut penyutradaraannya dengan kurang mengesankan. Film Jinx yang ia arahkan dan dirilis pada tahun 2010, gagal untuk mendapatkan perhatian publik, baik dari sisi kualitas maupun komersial. Kegagalan tersebut sepertinya menjadi pemicu bagi Muhammad Yusuf untuk menghasilkan Tebus (2011), yang walaupun masih hadir dengan beberapa kelemahan, namun mampu menunjukkan sebuah peningkatan kualitas yang berarti. Tebus sendiri kemudian berhasil memberikan sebuah nominasi Penulis Cerita Asli Terbaik bagi Muhammad Yusuf dan Sarjono Sutrisno serta nominasi Pemeran Utama Pria Terbaik bagi Tio Pakusadewo di ajang Festival Film Indonesia tahun lalu.

Continue reading Review: The Witness (2012)

Review: D’Love (2010)

Dari Helfi Kardit, seorang sutradara yang terkenal dengan karya-karyanya seperti Hantu Bangku Kosong, Mengaku Rasul hingga Arisan Brondong, hadirlah D’Love, yang secara mengagumkan mampu merangkum seluruh hal-hal klise yang ada di perfilman Indonesia di dalam durasinya yang hanya sepanjang 90 menit itu. Mulai dari cinta segitiga, karakter yang broken home, karakter yang terpaksa menjual dirinya untuk memenuhi kebutuhan hidup, karakter gay hingga karakter yang harus menderita sakit terangkum dan dimanfaatkan dengan sangat baik di film ini.

Continue reading Review: D’Love (2010)