Review: Twivortiare (2019)


Dengan naskah cerita yang ditulis oleh sutradara film ini, Benni Setiawan (Toba Dreams, 2015), bersama dengan penulis naskah Alim Sudio (Makmum, 2019) berdasarkan novel Divortiare dan Twivortiare karya Ika Natassa, Twivortiare adalah romansa yang berkisah tentang kehidupan percintaan dari pasangan Beno Wicaksono (Reza Rahadian) dan Alexandra Rhea (Raihaanun). Dua tahun setelah pernikahan mereka, Beno Wicaksono dan Alexandra Rhea memutuskan untuk bercerai setelah merasa lelah dengan berbagai konflik dan pertengkaran yang terus mewarnai keseharian mereka. Perceraian ternyata tidak lantas menghilangkan rasa cinta, sayang, maupun kekaguman yang terbentuk antara keduanya. Secara perlahan, Beno Wicaksono dan Alexandra Rhea berusaha belajar lagi tentang satu sama lain yang kemudian berlanjut dengan pernikahan kembali antara kedua pasangan muda tersebut. Mencoba menjadi dewasa dan berusaha untuk saling mengerti memang bukanlah sikap yang mudah dilakukan. Dalam pernikahan keduanya, Beno Wicaksono dan Alexandra Rhea masih saja menemukan berbagai konflik dan rintangan yang coba menghalangi perjalanan hubungan mereka.

Jika ingin memberikan perbandingan kepada dua film hasil adaptasi novel karya Natassa lainnya, Twivortiare mungkin belum mampu mencapai kekuatan konflik yang berhasil dituturkan oleh Critical Eleven (Monty Tiwa, Robert Ronny, 2017). Namun, Twivortiare jelas berhasil melangkah jauh dari raihan kualitas yang sebelumnya ditorehkan Antologi Rasa (Rizal Mantovani, 2019). Seperti Critical Eleven – dan satu hal yang gagal dilakukan oleh Antologi Rasa, Twivortiare memahami dengan sungguh bahwa kedua karakter utamanya adalah jiwa dari pengisahan film. Semenjak memulai penceritaannya dengan berkisah tentang berakhirnya hubungan pernikahan dari karakter Beno Wicaksono dan Alexandra Rhea, Twivortiare tidak pernah sekalipun melepaskan fokusnya pada kedua sosok tersebut. Naskah cerita garapan Setiawan dan Sudio terus menganalisa mereka: apa yang mereka lakukan dalam keseharian mereka, cara pandang mereka terhadap berbagai hal yang mereka temui, hingga, tentu saja, sikap mereka terhadap naim turunnya perjalanan kisah cinta yang sedang mereka jalani. Hal ini mampu membuat Twivortiare terasa begitu personal dalam bertutur.

Dengan alunan kisah yang setiap detaknya dikontrol penuh oleh dua karakter utama, Twivortiare jelas membutuhkan sosok pemeran yang tidak hanya mampu menghidupkan karakter yang mereka perankan namun juga dapat memberikan jiwa yang utuh. Well… mungkin merupakan salah satu pemilihan pemeran tercerdas dalam film Indonesia untuk tahun ini, Rahadian dan Raihaanun berhasil melakukannya dengan sempurna – dan melampaui batas pengharapan siapapun yang ingin melihat perwujudan dari sosok karakter Beno Wicaksono dan Alexandra Rhea. Keduanya berhasil memberikan penampilan yang humanis dan meyakinkan pada karakter-karakter yang mereka perankan. Lebih dari itu, chemistry yang dihadirkan Rahadian dan Raihaanun sebagai sosok pasangan juga tampil sangat kuat. Bahkan di momen terlemah pengisahannya, Twivortiare masih mampu tampil mengikat ketika Rahadian dan Raihaanun tampil dengan menghadirkan chemistry mereka. Meski hadir dalam kapasitas pengisahan yang cukup terbatas, para pemeran pendukung film ini cukup berhasil memberikan penampilan apik mereka. Anggika Bolsterli, khususnya, mampu memberikan banyak sentuhan komikal yang memikat pada pengisahan Twivortiare.

Terlepas dari kuatnya penampilan Rahadian dan Raihaanun, sulit untuk menampik bahwa pengisahan yang dibawakan Twivortiare cenderung repetitif – khususnya di paruh pertengahan hingga akhir film. Konflik yang dihadapi oleh karakter Beno Wicaksono dan Alexandra Rhea pada awalnya terasa sebagai konflik rumah tangga yang terkemas apik. Namun, seiring dengan berjalannya durasi pengisahan film, pengulangan kembali konflik yang sebagian besar diakibatkan oleh minimnya perkembangan dalam diri kedua karakter utama lantas mulai terasa menjemukan dengan sikap para karakter yang perlahan terasa melelahkan. Konflik-konflik minimalis yang menghadirkan karakter-karakter yang diperankan Denny Sumargo dan Arifin Putra – yang sekali lagi tampil dengan kemampuan akting yang tidak mampu menyaingi ketampanan wajahnya – juga tidak banyak membantu serta terkesan berlalu begitu saja. Untungnya pengarahan Setiawan tetap mampu menjaga ritme pengisahan untuk tetap mengalun dengan lancar. Begitu pula dengan kualitas tata produksi yang tampil maksimal. [C]

twivortiare-raihaanun-reza-rahadian-ika-natassa-movie-posterTwivortiare (2019)

Directed by Benni Setiawan Produced by Manoj Punjabi Written by Benni Setiawan, Alim Sudio (screenplay), Ika Natassa (novels, Divortiare and TwivortiareStarring Reza Rahadian, Raihaanun, Arifin Putra, Denny Sumargo, Citra Kirana, Anggika Bolsterli, Dimas Aditya, Boris Bokir, Ferry Salim, Lydia Kandou, Roy Marten, Aida Nurmala, Dwi Yan, Leroy Osmani, Ingrid Widjanarko, Okan Kornelius, Dewi Rezer, Joshua Pandelaki, Alicia Djohar Music by Tya Subiakto Cinematography Yudi Datau Edited by Cesa David Luckmansyah, Apriady Fathullah Sikumbang Production company MD Pictures Running time 103 minutes Country Indonesia Language Indonesian

2 thoughts on “Review: Twivortiare (2019)”

Leave a Reply