Review: Murder on the Orient Express (2017)


Jika judul Murder on the Orient Express terdengar sangat familiar bagi Anda… then yes… film arahan Kenneth Branagh (Cinderella, 2015) ini merupakan adaptasi terbaru dari novel misteri popular berjudul sama karangan Agatha Christie. Murder on the Orient Express sendiri telah beberapa kali diadaptasi ke media audio visual – termasuk sebuah film layar lebar arahan Sidney Lumet yang berhasil meraih kesuksesan komersial ketika dirilis pada tahun 1974 serta mendapatkan lima nominasi dan memenangkan Ingrid Bergman piala Oscar ketiganya di ajang The 47th Annual Academy Awards. Selain melakukan perubahan pada tatanan nama maupun latar belakang beberapa karakternya, versi terbaru Murder on the Orient Express arahan Branagh tidak menawarkan arah maupun sudut pengisahan yang benar-benar baru. Sebuah pilihan yang membuat versi terbaru dari Murder on the Orient Express memiliki atmosfer pengisahan whodunit tradisional yang kental namun tetap mampu tampil modern berkat pengarahan Branagh yang cukup kuat.

Pengisahan Murder on the Orient Express dimulai ketika detektif kenamaan, Hercule Poirot (Branagh), melakukan perjalanan pulang kembali ke London seusai menyelesaikan tugasnya di Jerusalem dengan menggunakan kereta api Orient Express yang ia naiki di kota Istanbul. Berkat bantuan dari sahabatnya, Bouc (Tom Bateman), Hercule Poirot dapat menikmati fasilitas mewah dari gerbong istimewa di Orient Express yang ia bagi dengan beberapa penumpang lainnya. Sayang, fasilitas mewah tersebut tidak dapat dirasakannya terlalu lama. Di tengah perjalanan, seorang penumpang di gerbong yang ditempati Hercule Poirot ditemukan tewas terbunuh. Meski sebenarnya ia sedang tidak ingin terlibat dalam penyelidikan kasus kriminal apapun, atas dorongan Bouc dan para penumpang lainnya, Hercule Poirot memulai penyelidikannya untuk menemukan siapa pembunuh yang diduga masih berada di dalam gerbong mewah milik Orient Express tersebut.

Sedari awal pengisahannya, Murder on the Orient Express jelas telah terasa dimaksudkan untuk menjadi seri awal bagi rangkaian seri film misteri yang dibintangi oleh karakter detektif Hercule Poirot – yang kemudian diperkuat dengan bagian akhir film yang merujuk pada seri kasus Hercule Poirot lainnya pada novel garapan Christie. Hal ini dilakukan dengan memberikan ruang pengisahan yang cukup besar bagi karakter Hercule Poirot: bagaimana karakterisasinya, segala pencapaiannya, hingga bagaimana sikapnya dalam melaksanakan seluruh tugas-tugasnya. Sebuah perkenalan pada karakter ikonik bagi penonton yang berasal dari generasi yang baru. Penampilan Branagh sebagai karakter Hercule Poirot sendiri juga hadir meyakinkan. Walau kadang terasa sedikit over the top namun penampilan Branagh cukup berhasil membuat karakter detektif kenamaan tersebut merebut perhatian para penonton.

Di saat yang bersamaan, kehadiran karakter Hercule Poirot yang begitu dominan membuat karakter-karakter lain – yang hadir dalam jumlah cukup besar – terasa tersisihkan begitu saja. Karakter-karakter yang dalam penceritaan dijadikan sosok tersangka dalam sebuah kasus pembunuhan dan kehadirannya dimaksudkan untuk menambah warna pengisahan film akhirnya berakhir tanpa kesan yang berarti. Hal ini yang khususnya membuat paruh pertengahan Murder on the Orient Express terasa berjalan datar – dan bahkan acapkali hadir menjemukan. Beruntung, Branagh mengisi departemen akting filmnya dengan nama-nama pemeran yang telah teruji kualitas aktingnya. Michelle Pfeiffer, Willem Dafoe, dan Josh Gad, khususnya, berhasil melampaui batasan karakterisasi yang disajikan pada peran mereka dan mampu menyajikan penampilan yang begitu efektif.

Pengarahan Branagh terhadap Murder on Orient Express sendiri berjalan cukup lancar terlepas dari naskah cerita garapan Michael Green (Blade Runner 2049, 2017) yang kurang mampu untuk memberikan pengembangan penceritaan dengan lebih baik. Penggarapan Branagh pada teknis film jelas menjadi unggulan utama bagi Murder on the Orient Express. Tata sinematografi garapan Haris Zambarloukos mampu memberikan atmosfer dingin dan mencekam yang mendukung suasana misterius dari penceritaan film. Komposisi musik buatan Patrick Doyle juga berhasil menciptakan momen-momen ketegangan yang dibutuhkan. Branagh juga mampu mewujudkan tampilan penceritaan yang indah. Lihat saja bagaimana Branagh meletakkan karakter para tersangka dalam sebuah meja panjang – yang akan mengingatkan pada tampilan lukisan The Last Supper buatan Leonardo Da Vinci – ketika karakter Hercule Poirot mengungkapkan hasil investigasinya.

Murder on the Orient Express mungkin tidak sepenuhnya mampu tampil kuat. Ketidakmatangan pengolahan cerita pada paruh kedua membuat film ini cenderung stagnan sebelum akhirnya bangkit kembali untuk membuka kejutan pengisahannya di paruh akhir cerita. Masih menghibur – khususnya dengan penampilan prima para pemeran papan atasnya – namun jelas kurang mampu untuk tampil menjadi adaptasi novel garapan Agatha Christie yang lebih istimewa. [C]

murder-on-the-orient-express-movie-posterMurder on the Orient Express (2017)

Directed by Kenneth Branagh Produced by Ridley Scott, Mark Gordon, Simon Kinberg, Kenneth Branagh, Judy Hofflund, Michael Schaefer Written by Michael Green (screenplay), Agatha Christie (novel, Murder on the Orient Express) Starring Kenneth Branagh, Penélope Cruz, Willem Dafoe, Judi Dench, Johnny Depp, Josh Gad, Derek Jacobi, Leslie Odom Jr., Michelle Pfeiffer, Daisy Ridley, Tom Bateman, Olivia Colman, Lucy Boynton, Marwan Kenzari, Manuel Garcia-Rulfo, Sergei Polunin, Miranda Raison Music by Patrick Doyle Cinematography Haris Zambarloukos Edited by Mick Audsley Production company Kinberg Genre/The Mark Gordon Company/Scott Free Productions Running time 114 minutes Country United States Language English

11 thoughts on “Review: Murder on the Orient Express (2017)”

  1. saya udah narget mau nonton ini karena agatha christienya. tapi lihat reviewnya adaptasi biasa. jadi mikir2 lagi hehehe

    1. Tapi filmnya gak jelek amat kok. Setidaknya bisa liat nama-nama besar Hollywood pada maen bareng. Haha.

      1. tapi secara naskah gimana mas? selain gimmick nya aja. sekarang kalo nonton agak filter yang bener-bener kualitas. biar gak mubazir hehehe

  2. Menurut saya ga sejelek itu kok, justru wajib ditonton. Saya sebagai penonton yg gatau apa-apa tentang karya novel agatha christie ini (sama sekali buta) sangat terhibur, dan twist diakhir cerita yang ga saya duga dan dikemas dengan emosional nan indah, dan saya sempet nengok kanan kiri ngliat gimana ekspresi penonton, wajah” kagum itu.

  3. Filmnya tetap bagus kok..sebagai Fans Berat Madam Christie Film ini di atas rata rata. Kalau mengharapkan Plot dan Dialog yg sekuat novel nya ya susah…Ini kan versi layar lebal yg di peruntukan para kaum millenial atau Kids jaman now … Bagi yg asing sama karya Christie mereka bener bener “tahan napas” dgn kerumitan …siapa pelaku sebenarnya… Setelah tahu..biasalah..bioskop langsung brisik.

Leave a Reply