The Call of the Wild yang menjadi film live-action pertama yang diarahkan sutradara Chris Sanders yang sebelumnya mengarahkan film-film animasi seperti Lilo & Stitch (2000), How to Train Your Dragon (2010), dan The Croods (2013), bukanlah film pertama yang mengadaptasi novel legendaris berjudul sama yang ditulis oleh penulis asal Amerika Serikat, Jack London. Tercatat, novel yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1903 tersebut telah berulangkali diadaptasi ke berbagai media seperti komik, film televisi, anime, hingga, tentu saja, film. Adaptasi film dari novel The Call of the Wild bahkan sempat dibintangi oleh nama-nama aktor besar Hollywood seperti Clark Gable (1935), Charlton Heston (1972), hingga Rutger Hauer (1997). Fun fact: Adaptasi The Call of the Wild arahan William A. Wellman yang dirilis pada tahun 1935 merupakan film terakhir yang dirilis oleh Twentieth Century Pictures sebelum akhirnya bergabung dengan rumah produksi Fox Film Corporation dan berganti nama menjadi 20th Century Fox. Entah disengaja atau tidak, adaptasi teranyar The Call of the Wild menjadi film pertama yang dirilis oleh 20th Century Studios setelah The Walt Disney Studios membeli 20th Century Fox dan akhirnya mengembalikan nama lama dari rumah produksi tersebut.
Harrison Ford memang menjadi aktor utama dalam adaptasi The Call of the Wild arahan Sanders. Namun, sosok anjing bernama Buck adalah karakter utama yang menjadi pusat perhatian dalam pengisahan film yang naskah ceritanya digarap oleh Michael Green (Murder on the Orient Express, 2017) ini. Berlatar belakang kisah di negara Amerika Serikat pada tahun 1890an, The Call of the Wild bercerita tentang seekor anjing rumahan yang dinamakan oleh Buck oleh pemiliknya, Judge Miller (Bradley Whitford), namun kemudian harus merasakan kerasnya hidup di alam luas setelah dirinya dicuri, dijual, dan dikirimkan ke wilayah Yukon, Kanada, yang teramat dingin dan selalu bersalju. Disana, Buck dijadikan sebagai salah satu anjing penghantar surat oleh pemilik barunya, Perrault (Omar Sy). Walau awalnya merasa kesulitan untuk menjalani tugas barunya, Buck secara perlahan mulai memahami tugas dan mendapatkan kepercayaan yang lebih besar dari Perrault. Sayang, kebersamaan Buck dan Perrault tidak berlangsung lama. Keberadaan telegram secara perlahan mulai menggeser kegunaan surat dan membuat Perrault lantas menghentikan usahanya. Dalam kebimbangannya, Buck lantas bertemu dengan seorang pria penyendiri, John Thornton (Ford), yang tidak disangka akan menjadi pemilik sekaligus sahabat terbaik Buck di dalam hidupnya.
Cukup mudah sebenarnya untuk memandang sebelah mata terhadap premis cerita yang ditawarkan The Call of the Wild – khususnya bagi mereka yang memang sebelumnya tidak familiar dengan tulisan cerita London. Seperti yang ditampilkan oleh film-film garapan Hollywood bertema sama sebelumnya, premis yang dimiliki The Call of the Wild dapat saja diolah menjadi sebuah drama keluarga yang mengharu biru atau menjadi sajian yang mengedepankan tatanan pengisahan bernuansa humor. Well… naskah cerita buatan Green memang masih menghadirkan elemen komedi serta alur kisah bernuansa sentimental di beberapa bagiannya. Meskipun begitu, dengan bantuan narasi yang dihadirkan dari sosok karakter John Thornton, Green tidak pernah melepaskan fokus cerita dari karakter Buck yang membantu The Call of the Wild untuk terus teguh membawakan tema-tema petualangan, persahabatan, pendewasaan diri, hingga penemuan jati diri yang memang menjadi unsur sentral bagi alur pengisahan film ini. Tidak mengherankan jika naskah cerita buatan Green akan berhasil memberikan sentuhan emosional yang hangat bagi banyak penontonnya.
Naskah cerita solid dari Green juga mendapatkan dukungan arahan cerita yang apik dari Sanders. Dengan alur yang patuh mengikuti petualangan hidup dari karakter Buck, Sanders menata filmnya dengan ritme cerita yang berjalan sederhana namun tidak pernah terasa lamban atau bertele-tele dalam mengenalkan tiap karakter maupun mengolah konflik yang berjalan. Di saat yang bersamaan, tata cerita Sanders yang telah begitu teratur tersebut kemudian terasa terburu-buru untuk menyelesaikan konflik utama pada paruh ketiga film. Konflik yang melibatkan sosok karakter John Thornton dengan karakter antagonis bernama Hal (Dan Stevens) juga terasa berkembang secara kurang matang. Tidak memberikan pengaruh negatif yang fatal pada kualitas cerita namun tetap mengurangi kesan yang ditinggalkan secara keseluruhan. Karakter Buck dan karakter hewan-hewan lain yang tampil di sepanjang linimasa penceritaan The Call of the Wild sendiri hadir melalui proses animasi. Didukung dengan teknologi yang solid, karakter-karakter hewan tersebut mampu tampil hidup dan meyakinkan, khususnya ketika kehadiran mereka dihadirkan berdampingan dengan deretan karakter manusia.
Meskipun banyak karakter manusia yang tampil pada pengisahan The Call of the Wild dihadirkan dalam porsi pengisahan yang cukup terbatas namun Sanders mampu menghadirkan pengisi departemen akting yang mumpuni guna menghidupkan karakter-karakter tersebut. Sy dan Ford, khususnya, menjadikan karakter mereka begitu berkesan kehadirannya – menciptakan atmosfer persahabatan yang hangat dengan karakter Buck namun tidak pernah sekalipun mencuri perhatian secara penuh dari karakter tersebut. Kualitas pengisahan inilah yang berhasil menjadikan The Call of the Wild sebagai presentasi drama keluarga yang kuat. Kisahnya boleh saja sederhana namun penyampaiannya yang apik jelas akan membuat film dapat meninggalkan kesan mendalam bagi penikmatnya.
The Call of the Wild (2020)
Directed by Chris Sanders Produced by Erwin Stoff Written by Michael Green (screenplay), Jack London (novel, The Call of the Wild) Starring Harrison Ford, Dan Stevens, Omar Sy, Karen Gillan, Bradley Whitford, Colin Woodell, Cara Gee, Scott MacDonald, Terry Notary Music by John Powell Cinematography Janusz Kamiński Edited by William Hoy, David Heinz Production company 20th Century Studios/3 Arts Entertainment Running time 100 minutes Country United States Language English
3 thoughts on “Review: The Call of the Wild (2020)”