Review: Joker (2019)


Setelah merilis serangkaian film yang diadaptasi dari buku-buku komik yang berkisah tentang kehidupan para pahlawan super, Hollywood secara perlahan mulai mengalihkan perhatian mereka pada sosok-sosok penjahat yang harus dihadapi oleh para pahlawan super tersebut. Warner Bros. Pictures bersama dengan DC Films mengawali langkah tersebut dengan memproduksi Suicide Squad (David Ayer, 2016). Tidak lama berselang, Sony Pictures juga melakukan hal yang sama dan menggandeng Marvel Studios untuk merilis Venom (Ruben Fleischer, 2018). Tidak mengherankan jika kini Joker – yang merupakan sosok karakter penjahat legendaris sekaligus salah satu musuh bebuyutan bagi sosok Batman dalam seri komik terbitan DC Comics – mendapatkan perlakuan cerita yang sama. Namun, Joker yang diarahkan oleh Todd Phillips (The Hangover Part III, 2013) disajikan dalam warna dan ritme pengisahan yang jelas jauh berbeda jika dibandingkan dengan Suicide Squad maupun Venom. Suram, lamban, serta penuh dengan muatan politis yang jelas akan meninggalkan kejutan yang mendalam bagi setiap penontonnya.

Naskah cerita yang ditulis oleh Phillips dan Scott Silver (The Fighter, 2010) jelas meniatkan Joker untuk menjadi sebuah paparan mengenai asal muasal keberadaan sang karakter. Dan kisah tersebut dimulai dengan mengenalkan penonton pada sosok Arthur Fleck (Joaquin Phoenix), seorang pria yang bermimpi untuk menjadi seorang komedian terkenal namun jalan kehidupan yang sukar justru membawanya menjadi seorang badut sewaan yang seringkali harus berhadapan dengan nasib buruk. Tekanan tidak hanya muncul dari kehidupan pekerjaannya yang jauh dari mimpi dan harapannya. Rasa depresi yang ia derita membuat dirinya sering dianggap aneh dan dijauhi orang lain. Tinggal hanya berdua dengan sang ibu, Penny Fleck (Frances Conroy), Arthur Fleck juga harus menghadapi sikap delusional ibunya yang masih terus mengingat masa-masa mudanya. Berbagai problema kehidupan tersebut secara perlahan mulai mendorong sisi gelap kepribadian Arthur Fleck untuk keluar dan lantas menjadikannya sosok manusia yang begitu berbeda.

Jika ingin membongkar secara perlahan tata pengisahan yang dihadirkannya, Joker sebenarnya tidak memiliki perbedaan terlalu jauh dengan film-film sepantarannya yang ingin bercerita tentang awal kehidupan sang karakter utama. Setelah memperkenalkan sang karakter utama, naskah cerita garapan Phillips dan Silver lantas secara perlahan – dan benar-benar disajikan dalam ritme yang bergerak secara perlahan – mengenai berbagai hal buruk yang terjadi pada kehidupan karakter Arthur Fleck: mulai dari masalah di pekerjaannya, orang-orang di sekitarnya yang menyakiti dan memandang rendah dirinya, hingga rahasia kelam keluarganya yang mulai menyeruak serta kemudian memunculkan karakteristik kelam yang selama ini terpendam dalam dirinya. Balutan muatan politis yang disematkan Phillips dan Silver – dalam satu adegan, sebuah tindakan yang dilakukan karakter Arthur Fleck memicu dukungan luas dari masyarakat luas yang memandang tindakan tersebut sebagai gerakan untuk melawan penindasan yang dilakukan oleh orang-orang kaya terhadap kaum miskin – bekerja cukup baik dalam menambah kesan kuat penceritaan film. Di saat yang bersamaan, sulit untuk tidak mengindahkan begitu saja pengelolaan konflik tentang isu kesehatan mental serta kesenjangan sosial yang terasa tampil hanya sebagai sempalan daripada dikelola dengan lebih mendalam.

Joker mungkin tidak memiliki kualitas garapan naskah cerita yang spektakuler. Namun, bahkan di menit-menit terlemah pengisahannya, Joker berhasil dikendalikan secara lugas oleh kuasa penyutradaraan Phillips. Phillips jelas telah mengerti benar mengenai apa yang ingin ia sampaikan lewat Joker. Dengan mengambil inspirasi warna penceritaan dari film-film thriller klasik garapan Martin Scorsese, Phillips mengarahkan Joker menjadi sebuah presentasi yang kelam – baik dari warna gambar yang dipilihnya untuk mengisi tiap adegan film, ritme cerita dalam membuka tiap tabir konflik, hingga penyusunan barisan problema cerita yang dikemas dengan kesan nyata dan jauh dari kesan sebagai film hasil adaptasi buku-buku komik seperti biasanya. Dengan pilihannya tersebut, Phillips sukses menjadikan Joker sebagai sebuah pembelajaran yang lekat pada seorang sosok karakter, menjadikannya kisahnya terasa personal dan intim, serta lantas membuat penonton merasa simpati sekaligus ketakutan akan metamorfosa kepribadiannya. Jelas sebuah pencapaian yang tidak mudah untuk dilakukan.

Visi kuat Phillips untuk penceritaan Joker-nya jelas mendapatkan dukungan solid dari penampilan yang sangat fantastis dari Phoenix. Phoenix tidak hanya memberikan transformasi fisik yang maksimal bagi karakter Arthur Fleck yang diperankannya, ia juga mampu menyampaikan setiap perubahan sisi emosional dari karakter yang ia perankan dengan seksama. Sebuah penampilan yang akan membekas dalam di setiap benak penonton bahkan jauh setelah mereka selesai menyaksikan Joker. Selain Phoenix, departemen akting Joker juga diperkuat oleh penampilan Conroy, Robert De Niro, dan Zazie Beetz yang semakin menambah solid kualitas presentasi keseluruhan film ini.

popcornpopcornpopcornpopcorn3popcorn2

joker-joaquin-phoenix-movie-posterJoker (2019)

Directed by Todd Phillips Produced by Todd Phillips, Bradley Cooper, Emma Tillinger Koskoff Written by Todd Phillips, Scott Silver (screenplay), DC Comics (characters) Starring Joaquin Phoenix, Robert De Niro, Zazie Beetz, Frances Conroy,  Hannah Gross, Brett Cullen, Douglas Hodge, Dante Pereira-Olson, Glenn Fleshler, Bill Camp, Shea Whigham, Marc Maron, Leigh Gill, Josh Pais, Brian Tyree Henry, Bryan Callen, Justin Theroux Music by Hildur Guðnadóttir Cinematography Lawrence Sher Edited by Jeff Groth Production companies DC Films/Village Roadshow Pictures/Bron Creative/Joint Effort Running time 122 minutes Country United States Language English

4 thoughts on “Review: Joker (2019)”

Leave a Reply