Tag Archives: Bill Camp

Review: Passing (2021)

Mengikuti jejak nama-nama seperti Barbra Streisand, Sofia Coppola, Greta Gerwig, Olivia Wilde, serta Regina King, aktris Rebecca Hall terjun ke balik layar dan mengarahkan Passing, sebuah film yang naskah ceritanya diadaptasi oleh Hall dari novel berjudul sama yang ditulis oleh novelis Nella Larsen. Passing sendiri bukanlah sebuah karya literatur biasa. Diterbitkan pertama kali di kota New York, Amerika Serikat pada tahun 1929 di era dimana perlakuan diskriminasi terhadap masyarakat kulit hitam di berbagai aspek kehidupan masih dianggap sebagai tatanan normal dalam keseharian, Passing mendapat perhatian luas dari berbagai kalangan berkat kemampuan (dan keberanian) Larsen untuk menyelami sejumlah konflik yang berkenaan dengan ras, kelas, gender, dan seksualitas. Beruntung, Hall cukup lugas dalam menterjemahkan berbagai tema yang ingin disampaikan oleh Larsen dalam novelnya menjadi presentasi cerita yang tidak hanya kuat namun juga relevan bagi kondisi kehidupan modern saat ini. Continue reading Review: Passing (2021)

Review: News of the World (2020)

News of the World, sayangnya, bukanlah film yang alur ceritanya diinspirasi oleh lagu-lagu yang ditulis oleh kelompok musik legendaris Queen untuk album rilisan mereka di tahun 1977 yang berjudul sama. News of the World, yang menjadi kali kedua bagi Tom Hanks untuk berada di bawah arahan sutradara Paul Greengrass setelah Captain Phillips (2013), adalah sebuah drama western yang kisahnya diadaptasi dari novel berjudul sama karangan Paulette Jiles. Kisahnya cukup sederhana. Berlatar belakang waktu pengisahan di tahun 1870, beberapa tahun setelah berakhirnya Perang Saudara Amerika, seorang veteran perang bernama Captain Jefferson Kyle Kidd (Hanks) menemukan seorang anak perempuan bernama Johanna Leonberger (Helena Zengel) terlantar sendirian di pinggiran jalan setelah angkutan yang membawanya mengalami tindak perampokan. Lewat dokumen-dokumen yang ia temukan bersama dengan anak itu, Captain Jefferson Kyle Kidd kemudian memutuskan untuk mengantarkan sang anak kembali ke kediamannya meskipun ia harus menempuh jarak ribuan kilometer. Continue reading Review: News of the World (2020)

Review: Dark Waters (2019)

Sebagai sebuah film, presentasi cerita yang dihadirkan Dark Waters mungkin akan mengingatkan banyak penontonnya pada sebuah film lain yang memiliki persamaan tema cerita. Bukan, film ini tidak memiliki pengisahan yang serupa dengan (atau bahkan merupakan sekuel dari) film horor yang dibintangi Jennifer Connelly, Dark Water (Walter Selles, 2005). Alur cerita Dark Waters yang berkisah tentang seorang pengacara yang berusaha untuk menuntut sebuah perusahaan industri raksasa akibat keteledoran mereka dalam menangani limbah yang lantas menyebabkan pencemaran lingkungan sekaligus penyakit pada masyarakat yang bersinggungan langsung dengan limbah tersebut jelas akan menghadirkan nostalgia dari pengisahan Erin Brockovich (Steven Soderbergh, 2000) yang dahulu berhasil memenangkan Julia Roberts kategori Best Actress in a Leading Role di ajang The 73rd Annual Academy Awards. Juga mendasarkan naskah ceritanya pada sebuah kisah nyata, layaknya Erin Brockovich, Dark Waters juga akan memaparkan bagaimana sifat tamak manusia telah menjadi senjata yang tidak hanya mematikan diri sendiri namun juga merusak orang-orang yang sebenarnya tidak bersalah. Continue reading Review: Dark Waters (2019)

Review: Joker (2019)

Setelah merilis serangkaian film yang diadaptasi dari buku-buku komik yang berkisah tentang kehidupan para pahlawan super, Hollywood secara perlahan mulai mengalihkan perhatian mereka pada sosok-sosok penjahat yang harus dihadapi oleh para pahlawan super tersebut. Warner Bros. Pictures bersama dengan DC Films mengawali langkah tersebut dengan memproduksi Suicide Squad (David Ayer, 2016). Tidak lama berselang, Sony Pictures juga melakukan hal yang sama dan menggandeng Marvel Studios untuk merilis Venom (Ruben Fleischer, 2018). Tidak mengherankan jika kini Joker – yang merupakan sosok karakter penjahat legendaris sekaligus salah satu musuh bebuyutan bagi sosok Batman dalam seri komik terbitan DC Comics – mendapatkan perlakuan cerita yang sama. Namun, Joker yang diarahkan oleh Todd Phillips (The Hangover Part III, 2013) disajikan dalam warna dan ritme pengisahan yang jelas jauh berbeda jika dibandingkan dengan Suicide Squad maupun Venom. Suram, lamban, serta penuh dengan muatan politis yang jelas akan meninggalkan kejutan yang mendalam bagi setiap penontonnya. Continue reading Review: Joker (2019)

Review: Hostiles (2017)

Berlatarbelakang waktu pengisahan pada tahun 1892, Hostiles berkisah mengenai Captain Joseph Blocker (Christian Bale) yang mendapatkan tugas dari atasannya, Colonel Abraham Biggs (Stephen Lang), untuk menghantarkan seorang kepala suku Cheyenne yang dikenal dengan sebutan Yellow Hawk (Wes Studi) beserta dengan keluarganya kembali ke tanah leluhur mereka setelah menjalani masa tahanan selama lebih dari tujuh tahun. Meskipun awalnya merasa enggan untuk menjalankan tugas tersebut akibat kenangan buruknya akan Yellow Chief yang telah membunuh beberapa teman dan rekan kerjanya di masa lalu, Captain Joseph Blocker akhirnya melakukan tugas tersebut dengan memilih sendiri pasukan yang akan menemani perjalanan panjang dan berbahaya tersebut: Sergeant Thomas Metz (Rory Cochrane), Corporal Henry Woodson (Jonathan Majors), Lieutenant Rudy Kidder (Jesse Plemons), dan Private Phillippe DeJardin (Timothée Chalamet). Benar saja. Berbagai ancaman mulai dari keras dan terjalnya alam yang akan mereka lalui hingga serangan dari suku Comanche yang mematikan membuat Colonel Abraham Biggs dan seluruh pasukannya harus selalu bersikap waspada setiap saat. Continue reading Review: Hostiles (2017)

Review: Red Sparrow (2018)

Kembali berada di bawah arahan sutradara Francis Lawrence – yang dahulu mengarahkannya dalam dua seri The Hunger Games, The Hunger Games: Catching Fire (2013) serta The Hunger Games: Mockingjay – Part 1 (2014) dan The Hunger Games: Mockingjay – Part 2 (2015), Jennifer Lawrence tampil sebagai seorang agen rahasia berkewarganegaraan Rusia yang kehidupannya dipenuhi dengan begitu banyak intrik dalam Red Sparrow. Diadaptasi dari buku berjudul sama karya Jason Matthews, Red Sparrow sekilas mungkin terlihat sebagai sebuah film yang mengedepankan deretan aksi menegangkan seorang karakter agen rahasia perempuan seperti halnya Salt (Phillip Noyce, 2010) atau Atomic Blonde (David Leitch, 2017). Bukan sebuah praduga yang salah. Namun, jika ingin memberikan sebuah perbandingan, Red Sparrow lebih terasa memiliki kedekatan dengan film-film bertema sama yang diadaptasi dari buku karya John le Carré seperti Tinker Tailor Soldier Spy (Tomas Alfredson, 2011), A Most Wanted Man (Anton Corbijn, 2014), atau Our Kind of Traitor (Susanna White, 2016): memiliki intrik maupun konflik beraroma politik yang kental, deretan karakter yang hadir dengan kepribadian yang misterius, serta disampaikan dengan ritme pengisahan yang seringkali terasa bergerak cukup lamban. Pretty intriguing. Continue reading Review: Red Sparrow (2018)

Review: Molly’s Game (2017)

Sebagai seorang penulis naskah, nama Aaron Sorkin jelas bukanlah nama yang asing bagi para penikmat film maupun serial televisi buatan Hollywood. Dikenal dengan ciri khas barisan karakter kuat yang hadir dengan dialog-dialog tajam yang disampaikan dengan cepat, Sorkin telah menuliskan beberapa  naskah cerita yang begitu mengesankan dalam beberapa tahun terakhir: mulai dari naskah cerita untuk serial televisi seperti The West Wing (1999 – 2006) dan The Newsroom (2012 – 2014) hingga naskah cerita untuk film-film seperti A Few Good Man (Rob Reiner, 1992), The Social Network (David Fincher, 2010), Moneyball (Bennett Miller, 2011), dan Steve Jobs (Danny Boyle, 2015). Sorkin bahkan telah mengoleksi beberapa penghargaan Primetime Emmy Awards (untuk The West Wing) dan sebuah Academy Awards (untuk The Social Network) untuk naskah-naskah cerita garapannya. Untuk Molly’s Game sendiri, Sorkin melangkah ke sebuah wilayah yang belum pernah ia jalani sebelumnya: selain bertugas sebagai penulis naskah, Sorkin juga bertugas sebagai sutradara bagi film ini. Lalu bagaimana kinerja Sorkin dalam debut pengarahannya? Continue reading Review: Molly’s Game (2017)

Review: The Killing of a Sacred Deer (2017)

Dengan apa yang dipresentasikannya pada Dogtooth (2009) dan The Lobster (2015), rasanya tidak akan ada yang begitu terkejut dengan narasi yang dihadirkan Yorgos Lanthimos dalam The Killing of a Sacred Deer. Mendasarkan naskah cerita yang ia tulis bersama Efthymis Filippou pada drama panggung kuno asal Yunani, Iphigenia in Aulis, karangan Euripides – dimana dikisahkan Raja Yunani, Agamemnon, diharuskan untuk mengorbankan puterinya, Iphigenia, sebagai hukuman akibat ketidaksengajaannya membunuh salah satu rusa milik Dewi Artemis – Lanthimos sekali lagi membuktikan kejeniusannya dalam merangkai metafora cerita untuk menyampaikan pengisahannya yang (seperti biasa) dipenuhi oleh satir mengenai kehidupan umat manusia. Sebuah petualangan “gila” yang tidak akan dilupakan oleh para penontonnya begitu saja. Continue reading Review: The Killing of a Sacred Deer (2017)

Review: Gold (2016)

Terinsipirasi dari sebuah kisah nyata skandal penipuan yang dilakukan oleh sebuah perusahaan mineral Kanada yang juga melibatkan pemerintahan Indonesia di tahun 1997, film teranyar arahan sutradara asal Amerika Serikat, Stephen Gaghan (Syriana, 2005), berkisah mengenai Kenny Wells (Matthew McConaughey), seorang pengusaha di bidang mineral alam yang sedang mengalami kesulitan finansial. Dalam usaha terakhir untuk mempertahankan perusahaan yang diwariskan oleh sang ayah kepadanya, Kenny Wells lantas menghubungi seorang geolog bernama Michael Acosta (Édgar Ramírez) yang memiliki keyakinan bahwa ia telah menemukan sebuah tambang emas di pedalaman hutan Kalimantan, Indonesia yang masih belum disentuh dan diketahui khalayak luas. Berbekal hanya dengan keyakinannya, serta hasil meminjam dana bantuan dari banyak pihak, Kenny Wells dan Michael Acosta akhirnya melakukan perjalanan ke wilayah yang diduga memiliki sumber emas dan memulai masa penggalian mereka. Setelah sekian lama menggali, Michael Acosta ternyata berhasil membuktikan kebenaran teorinya: wilayah pedalaman hutan Kalimantan tersebut memiliki sumber emas – bahkan merupakan sumber emas terbesar yang pernah ditemukan di dunia. Keuntungan komersial jelas dapat dengan mudah mereka raih. Namun, di saat yang bersamaan, beberapa pihak yang ingin turut ambil bagian keuntungan dari temuan Kenny Wells dan Michael Acosta tersebut mulai melancarkan strategi mereka untuk mendekati keduanya. Continue reading Review: Gold (2016)

Review: Birdman or (The Unexpected Virtue of Ignorance) (2014)

birdman-posterSetelah Amores Perros (2000), 21 Grams (2003), Babel (2006) dan Biutiful (2010) yang begitu humanis namun kelam, Alejandro González Iñárritu kini hadir dengan sebuah film komedi. Well… meskipun Birdman or (The Unexpected Virtue of Ignorance) merupakan komedi, namun sutradara berkewarganegaraan Meksiko tersebut tetap mampu menghadirkan filmnya sebagai sebuah presentasi black comedy yang memiliki seluruh ciri khas penceritaannya. And it’s so fresh! Birdman or (The Unexpected Virtue of Ignorance) adalah sebuah fenomena langka dari Hollywood dimana sebuah ide segar/gila/cerdas mampu dikemas dan diarahkan dengan sangat, sangat baik.

Dengan naskah cerita yang ditulis Iñárritu bersama dengan Nicolás Giacobone, Alexander Dinelaris, Jr. dan Armando Bó, Birdman or (The Unexpected Virtue of Ignorance) berkisah mengenai kehidupan seorang aktor bernama Riggan Thomson (Michael Keaton). Dalam usahanya untuk meremajakan kembali karirnya yang mulai menurun, Riggan memilih untuk menulis, mengarahkan sekaligus berperan dalam sebuah drama panggung yang jalan ceritanya diadaptasi dari cerita pendek karya Raymond Carver, What We Talk About When We Talk About Love. Proyek tersebut kemudian melibatkan sahabatnya, Jake (Zach Galifianakis), sebagai produser, anaknya, Samantha (Emma Stone), yang bekerja sebagai asistennya serta dibintangi kekasihnya, Laura (Andrea Riseborough), seorang aktris yang baru pertama kali membintangi drama panggung, Lesley (Naomi Watts), serta seorang aktor popular, Mike Shiner (Edward Norton). Berbagai masalah mulai menghinggapi drama panggung arahan Riggan yang jelas kemudian membuatnya semakin khawatir akan kelangsungan masa depannya di Hollywood.

Birdman or (The Unexpected Virtue of Ignorance) adalah sebuah film yang sangat terkonsep dengan baik. Iñárritu sendiri jelas sangat mengetahui seluk beluk penceritaan filmnya dengan baik dan bagaimana ia menginginkan cerita tersebut disampaikan kepada para penontonnya. Birdman or (The Unexpected Virtue of Ignorance) dihadirkan layaknya sebuah reality show yang mengikuti karakter Riggan dan orang-orang yang terlibat dalam pembuatan drama panggung arahannya. Jelas merupakan sebuah sentilan kecil namun tajam dari Iñárritu kepada kehidupan Hollywood. Naskah yang dihadirkan Iñárritu, Giacobone, Dinelaris, Jr. dan Bó sendiri mampu dengan begitu cerdas menyelami setiap karakter yang mereka hadirkan dalam film ini, membenturkan setiap konflik dengan begitu seksama dalam balutan komedi yang terasa segar dan jelas sangat menghibur. Naskah cerita Birdman or (The Unexpected Virtue of Ignorance) mungkin bukanlah naskah cerita paling orisinal yang pernah disajikan. Meskipun begitu, penggalian dan sentuhan yang dihadirkan Iñárritu tetap mampu menjadikannya jauh dari kesan membosankan untuk diikuti.

Selain cerdas dalam tatanan penceritaan, Birdman or (The Unexpected Virtue of Ignorance) juga tampil luar biasa mengagumkan dalam raihan kualitas teknikalnya. Iñárritu menghadirkan pengisahan filmnya bagaikan diambil hanya dalam satu kali pengambilan gambar. Dibantu dengan sinematografer Emmanuel Lubezki – yang sebelumnya juga memberikan tata sinematografi brilian dalam Gravity (2013) – serta penata gambar, Douglas Crise dan Stephen Mirrione, konsep tersebut mampu terwujud dengan sempurna. Komposer Antonio Sánchez juga berhasil menghadirkan hantaran musik yang begitu unik serta menjadi nyawa emosional tambahan bagi setiap adegan dalam film ini.

Sebagai film yang berbicara tentang para pekerja seni peran, Birdman or (The Unexpected Virtue of Ignorance) jelas membutuhkan deretan para pekerja seni peran dengan kualitas penampilan akting yang solid untuk membantu menghidupkan film ini. Dan Iñárritu jelas tidak akan mampu mendapatkan barisan pemeran yang lebih baik lagi dari nama-nama seperti Michael Keaton, Edward Norton, Emma Stone, Naomi Watts, Zach Galifianakis, Andrea Riseborough dan Amy Ryan. Seluruh pengisi departemen akting film ini tampil dengan penampilan tanpa cela, menyajikan karakter mereka dengan daya tarik yang mempesona dan menjadikan karakter-karakter tersebut begitu mengikat untuk diikuti setiap kisahnya. Seluruh kecerdasan tersebut berpadu sempurna untuk menjadikan Birdman or (The Unexpected Virtue of Ignorance) sebagai sebuah film yang begitu menghibur sekaligus akan tinggal lama di benak para penontonnya. Salah satu film terbaik yang pernah dihasilkan Hollywood. Bravo! [A]

Birdman or (The Unexpected Virtue of Ignorance) (2014)

Directed by Alejandro González Iñárritu Produced by Alejandro González Iñárritu, John Lesher, Arnon Milchan, James W. Skotchdopole Written by Alejandro González Iñárritu, Nicolás Giacobone, Alexander Dinelaris, Jr., Armando Bó Starring Michael Keaton, Edward Norton, Emma Stone, Naomi Watts, Zach Galifianakis, Andrea Riseborough, Amy Ryan, Lindsay Duncan, Merritt Wever, Jeremy Shamos, Frank Ridley, Katherine O’Sullivan, Damian Young, Bill Camp Music by Antonio Sánchez Cinematography Emmanuel Lubezki Editing Douglas Crise, Stephen Mirrione Studio New Regency Pictures/M Productions/Le Grisbi Productions/TSG Entertainment/Worldview Entertainment Running time 119 minutes Country United States Language English

Review: 12 Years a Slave (2013)

12 Years a Slave (Regency Enterprises/River Road Entertainment/Plan B Entertainment/New Regency Pictures, Film4, 2013)
12 Years a Slave (Regency Enterprises/River Road Entertainment/Plan B Entertainment/New Regency Pictures, Film4, 2013)

Dengan naskah yang ditulis oleh John Ridley (Red Tails, 2012) berdasarkan memoir berjudul Twelve Years a Slave: Narrative of Solomon Northup, a Citizen of New-York, Kidnapped in Washington City in 1841, and Rescued in 1853 yang ditulis oleh Solomon Northup, 12 Years a Slave mencoba untuk berkisah mengenai seorang pria Afro-Amerika merdeka yang terjebak dalam tindak perbudakan di masa-masa ketika warga kulit hitam di Amerika Serikat masih dipandang sebagai warga kelas bawah. Kisahnya sendiri diawali dengan memperkenalkan Solomon Northup (Chiwetel Ejiofor), seorang Afro-Amerika yang bekerja sebagai seorang tukang kayu dan pemain bola serta tinggal bersama istri, Anne (Kelsey Scott), dan kedua anak mereka, Margaret (Quvenzhané Wallis) dan Alonzo (Cameron Zeigler), di Saratoga Springs, New York, Amerika Serikat. Suatu hari, Solomon mendapatkan tawaran bekerja sebagai seorang musisi selama dua minggu di Washington DC oleh dua orang pria, Brown (Scoot McNairy) dan Hamilton (Taran Killam). Karena tertarik dengan sejumlah uang yang ditawarkan oleh kedua pria tersebut, Solomon akhirnya menerima tawaran mereka. Sial, begitu tiba di Washington DC, Solomon justru dijebak dan dijual sebagai seorang budak.

Continue reading Review: 12 Years a Slave (2013)

Review: Lawless (2012)

Lawless-header

Mempertemukan kembali sutradara asal Australia, John Hillcoat (The Road, 2009), dengan penulis naskah Nick Cave (The Proposition, 2005) serta aktor langganannya, Guy Pearce, Lawless merupakan kisah yang diadaptasi dari novel berjudul The Wettest County in the World yang ditulis oleh Matt Bondurant dan berkisah mengenai kehidupan kakeknya, Jack Bondurant, serta dua kakaknya, Forrest dan Howard Bondurant, yang sempat menjadi pembuat dan penyelundup minuman keras secara ilegal di Amerika Serikat ketika negara tersebut melarang adanya segala bentuk produksi, penjualan serta distribusi minuman beralkohol pada tahun 1920 hingga tahun 1933. Sayangnya, meskipun menawarkan premis cerita dengan kapasitas dunia kejahatan serta kekerasan yang begitu kental, Lawless justru terasa… lifeless akibat pengembangan narasi yang terlalu datar serta penggalian karakter yang begitu dangkal.

Continue reading Review: Lawless (2012)