Review: Dumbo (2019)


This new Dumbo is a weird movie. Diproduksi oleh Walt Disney Pictures dan mengikuti jejak Cinderella (Kenneth Branagh, 2015), The Jungle Book (Jon Favreau, 2016), serta Beauty and the Beast (Bill Condon, 2017) sebagai film live action yang dibuat ulang berdasarkan film animasi klasik rilisan rumah produksi tersebut, paruh pengisahan film arahan Tim Burton (Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children, 2016) ini bercerita tentang seorang pemilik wahana hiburan raksasa yang membeli sebuah sirkus kecil terkenal untuk bergabung ke dalam usahanya namun kemudian membuang berbagai elemen yang membuat sirkus tersebut menjadi terkenal sekaligus merumahkan banyak para pekerjanya. Terdengar familiar? Mungkin karena Dumbo dirilis seminggu setelah negosiasi panjang Walt Disney Studios Motion Pictures untuk mengakuisisi 21st Century Fox akhirnya selesai dan, ironisnya, lantas mulai “membuang” beberapa bagian dari rumah produksi yang baru saja dibelinya tersebut. Ding ding ding. Hollywood.

Anyway, dengan naskah cerita yang ditulis oleh Ehren Kruger (Transformers: Age of Extinction, 2014), Dumbo berkisah mengenai kelahiran seorang bayi gajah yang memiliki penampilan fisik yang tidak biasa: telinganya berukuran jauh lebih besar dari kebanyakan gajah biasa. Terlahir di sebuah sirkus bernama Medici Brothers’ Circus yang dimiliki oleh Max Medici (Danny DeVito), kondisi fisik gajah yang kemudian dinamai dengan Dumbo tersebut lantas membuatnya selalu disembunyikan. Namun, ketika kakak beradik, Milly (Nico Parker) dan Joe Farrier (Finley Hobbins), yang ditugaskan oleh ayah mereka, Holt Farrier (Colin Farrell), untuk merawat sang gajah kecil menemukan sebuah keistimewaan dari telinga besar yang dimiliki oleh Dumbo, keadaan mulai berubah bagi komunitas sirkus kecil tersebut. Kemampuan Dumbo untuk terbang dengan telinga besarnya secara perlahan mulai menarik perhatian banyak orang dan secara perlahan menjadikan Medici Brothers’ Circus menjadi sangat terkenal. Popularitas baru sirkus tersebut lantas menarik perhatian seorang pemilik wahana hiburan raksasa bernama Dreamland, V. A. Vandevere (Michael Keaton), yang kemudian menawarkan Max Medici untuk bergabung bersama wahana hiburannya. Sebuah tawaran menggiurkan yang akan mengubah nasib Dumbo dan seluruh pekerja Medici Brothers’ Circus.

Pilihan untuk menghadirkan nuansa pengisahan yang begitu melekat pada situasi nyata dari Walt Disney Studios Motion Pictures pada linimasa pengisahan Dumbo memang menarik – aneh dan cukup nekat mengingat karakter V. A. Vandevere jelas digambarkan sebagai sosok kapitalis yang tamak dan merupakan sosok seorang antagonis – namun Dumbo bukanlah sebuah produk yang benar-benar mengesankan. Dengan durasi pengisahan yang mencapai 112 menit, Dumbo digarap dengan kualitas cerita yang terlalu dangkal. Film ini sebenarnya tidak kekurangan ide maupun tema dalam garisan pengisahannya. Sayangnya, hampir tidak ada bagian cerita dari Dumbo yang mampu tereksekusi secara utuh – termasuk kisah keluarga yang jelas akan selalu menjadi jiwa maupun nyawa dalam film-film garapan Walt Disney Pictures. Selain hadir dengan kisah yang terlalu datar, karakter-karakter yang disajikan Dumbo juga gagal untuk  tampil menarik maupun mengikat. Dengan karakter yang berjumlah cukup banyak, jelas menjadikan Dumbo semakin sulit untuk merebut perhatian penonton.

Meskipun begitu, Dumbo tidaklah hadir tanpa momen-momen yang akan mampu meninggalkan kesan. Mereka yang familiar dan menggemari karya-karya Burton dapat menemukan berbagai elemen pengisahan Burton yang begitu mereka cintai pada film ini. Kisah tentang para outsider yang berusaha untuk membuktikan kemampuan diri memang sangat sesuai dengan filmografi yang dimiliki Burton. Karakter-karakter “aneh” berpadu dengan humor maupun komedi bernuansa kelam serta tampilan visual yang kental akan nuansa magis. Tidak mengherankan bila Dumbo dapat terasa benar-benar hidup ketika karakter Dumbo ditampilkan terbang dan melayang di udara bebas. Ditambah dengan dukungan komposisi musik garapan Danny Elfman yang sukses menghadirkan sokongan emosional tambahan pada tiap adegan, Dumbo, terlepas dari kekurangan di berbagai lini penceritaannya, tetap akan terasa menarik dari elemen kualitas produksinya.

Meskipun karakter-karakter yang mereka perankan tidak pernah mampu tampil terlalu kuat, departemen akting Dumbo diisi oleh barisan talenta seni peran dengan penampilan yang meyakinkan. Dengan karakter antagonisnya, Keaton sukses menghidupkan sosok V. A. Vandevere menjadi karakter yang begitu mengerikan. Begitu pula dengan DeVito dan Farrell yang menjadikan dua karakter yang mereka perankan terasa jauh leboih hidup dari karakterisasi yang sebenarnya diberikan pada kedua karakter tersebut. Kecantikan dan kharisma Eva Green juga tidak dapat diacuhkan begitu saja. Penampilannya sebagai Colette Mrchant mampu mencuri perhatian dalam setiap adegan keberadaannya. [C-]

dumbo-2019-movie-posterDumbo (2019)

Directed by Tim Burton Produced by Justin Springer, Ehren Kruger, Katterli Frauenfelder, Derek Frey Written by Ehren Kruger (screenplay), Otto Englander, Joe Grant, Dick Huemer (original screenplay, Dumbo), Helen Aberson, Harold Pearl (novel, Dumbo) Starring Colin Farrell, Michael Keaton, Danny DeVito, Eva Green, Alan Arkin, Nico Parker, Finley Hobbins, Roshan Seth, DeObia Oparei, Joseph Gatt, Sharon Rooney, Michael Buffer, Frank Bourke, Edd Osmond, Jo Osmond Music by Danny Elfman Cinematography Ben Davis Edited by Chris Lebenzon Production company Walt Disney Pictures/Tim Burton Productions/Infinite Detective Productions/Secret Machine Entertainment Running time 112 minutes Country United States

2 thoughts on “Review: Dumbo (2019)”

Leave a Reply