Review: Call Me by Your Name (2017)


Merupakan film ketiga dalam trilogi Desire milik Luca Guadagnino – yang dimulai dengan I Am Love (2009) dan diikuti dengan A Bigger Splash (2015), Call Me by Your Name adalah sebuah drama romansa yang naskah ceritanya diadaptasi oleh James Ivory (The Divorce, 2003) berdasarkan novel berjudul sama karya André Aciman. Seperti halnya I Am Love dan A Bigger Splash, Guadagnino juga menggunakan keindahan alam negara Italia sebagai latar belakang lokasi pengisahan film terbarunya. Bercerita mengenai keindahan sekaligus kepedihan yang dirasakan oleh seorang remaja ketika ia mengalami jatuh cinta dan patah hati pertamanya, Guadagnino merangkai Call Me by Your Name dengan penuturan khasnya yang penuh kelembutan untuk menjadikan film ini dipenuhi dengan momen-momen emosional yang akan mampu menyentuh setiap penontonnya.

Call Me by Your Name sendiri dimulai dengan perkenalan antara seorang remaja bernama Elio (Timothée Chalamet) dengan seorang mahasiswa asal Amerika Serikat bernama Oliver (Armie Hammer) yang berkunjung ke Italia atas undangan ayahnya, Professor Perlman (Michael Stuhlbarg), untuk menjadi asisten dan menolongnya dalam menyelesaikan sebuah makalah akademis. Elio sendiri awalnya kurang begitu menyukai kehadiran Oliver yang dianggapnya memiliki sikap dan kepribadian yang terlalu arogan. Namun, kehadiran Oliver yang “mengganggu” tersebut mulai mencuri perhatian Elio. Bahkan, secara perlahan, Elio mulai merasakan sebuah perasaan aneh dalam dirinya setiap kali ia dan Oliver bertemu.

Guadagnino menggarap Call Me by Your Name tidak melulu hanya berkisah mengenai jalinan romansa yang terjalin antara dua karakter utamanya. Lebih dari itu, lewat bantuan naskah yang digarap oleh Ivory, Call Me by Your Name lebih kental terasa sebagai sebuah kisah pendewasaan dari karakter Elio. Dalam 132 menit durasi pengisahan film, Guadagnino memberikan bangunan yang kokoh bagi karakter Elio: bagaimana hubungan sang remaja dengan kedua orangtuanya, nafsu dan gairahnya sebagai seorang remaja yang berusaha untuk menemukan jati dirinya, sekaligus persinggungan pertamanya dengan rasa manis yang diakibatkan dari sebuah perasaan jatuh cinta. Elemen pengisahan inilah yang kemudian membuat alur pengisahan Call Me by Your Name terasa begitu universal terlepas dari kisah romansa yang dikedepankannya.

Proses pendewasaan dari karakter Elio juga dapat dirasakan dari cara karakter tersebut dalam memandang keluarganya. Meskipun karakter Professor Perlman dan istrinya (Amira Casar) tidak mendapatkan porsi penceritaan yang benar-benar luas namun, melalui sudut pandang karakter Elio, penonton dapat merasakan bahwa kedua karakter orangtua Elio tersebut secara jeli dan dekat memperhatikan perkembangan putranya – dan bahkan telah mengetahui bahwa karakter Elio akhirnya telah cukup dewasa untuk merasakan jatuh cinta sekaligus memberikan dukungan pada dirinya. Kedekatan hubungan antara karakter Elio dan kedua orangtuanya mampu diolah dengan baik melalui pertukaran dialog antara mereka yang meskipun tampil minimalis namun berhasil dieksekusi dengan baik oleh Chalamet, Stuhlbarg, dan Casar dengan pendekatan yang begitu personal. Sebuah momen istimewa dimana karakter Professor Perlman berbicara dari hati ke hati dengan karakter Elio di akhir paruh ketiga juga akan mampu memberikan sentuhan emosional yang sangat kuat ketika Guadagnino mampu menggarap adegan tersebut sebagai momen intim antara seorang anak dengan ayahnya.

Segala kisah proses pendewasaaan dari karakter Elio akhirnya memberikan dukungan yang kokoh pada jalinan kisah romansa yang dibentuknya dengan karakter Oliver. Seperti para remaja seusianya, Call Me by Your Name menggambarkan karakter Elio sebagai sosok yang kebingungan ketika merasakan “sensasi aneh” dari perasaan jatuh cinta yang dialaminya. Penggambaran yang diberikan Chalamet akan karakternya – dimana karakter Elio sempat membenci perasaan yang dirasakannya hingga akhirnya menyerah untuk kemudian menyambut sebuah fase baru dalam kehidupannya – hadir dengan begitu kuat. Kolaborasi penceritaan Guadagnino dan penampilan akting Chalamet membuat penonton mampu merasakan seluruh pengalaman jatuh cinta (dan patah hati) pertama yang dirasakan karakter Elio. Sebuah perasaan kuat nan emosional yang akan menghantui penonton dan turut mengembalikan mereka pada rasa jatuh cinta pertama mereka dahulu.

Chemistry yang dihasilkan Chalamet dengan Hammer juga tampil prima. Chalamet dan Hammer sendiri mampu mengekspresikan perjalanan cinta yang dialami karakter mereka dengan baik – mulai dari masa perkenalan dimana keduanya masih menebak-nebak bagaimana perasaan mereka satu sama lain, mulai menjauh ketika merasa cinta mereka tidak berbalas, gairah dan nafsu yang membara ketika keduanya akhirnya terjebak dalam lingkaran cinta, hingga akhirnya kepedihan akibat keduanya harus meninggalkan rasa cinta mereka. Dengan postur tubuh tinggi, atletis, dan wajah yang tampan, Hammer memang memenuhi kriteria sosok karakter yang menjadi idaman setiap orang yang melihatnya. Hammer juga memberikan penggalian karakter yang mendalam bagi karakter Oliver. Namun, ketika bersama dengan Chalamet, penampilan keduanya tampil begitu lembut sekaligus terasa hangat dalam menyentuh setiap penonton.

Meskipun Call Me by Your Name memberikan fokus penceritaan utuh bagi karakter Elio namun setiap pengisi departemen akting film ini memberikan penampilan prima mereka dalam menghidupkan setiap karakter yang mereka perankan. Hasilnya, setiap karakter yang tampil dalam jalan cerita film mampu memberikan sentuhan pengisahan tersendiri yang memperkuat performa pengisahan film. Seperti halnya I Am Love dan A Bigger Splash, Guadagnino juga memperkuat tampilan filmnya dengan tata sinematografi yang memikat garapan Sayombhu Mukdeeprom yang mampu menangkap keindahan setiap jengkal wilayah Italia. Begitu pula dengan tata musik garapan Sufjan Stevens. Mengingat karakter Elio merupakan seorang pianis muda yang berbakat, Stevens mengisi mayoritas adegan Call Me by Your Name dengan komposisi musik klasik yang mampu menonjolkan keahlian sang karakter sekaligus memperkuat tampilan emosi dari adegan yang diisinya. Tiga lagu garapan Stevens juga mengisi adegan-adegan dalam film ini dan mampu memberikan sentuhan emosional tersendiri bagi pengisahan Call Me by Your Name.

Secara keseluruhan, Guadagnino berhasil menggarap Call Me by Your Name sebagai sebuah potret yang indah sekaligus kuat dan menggugah akan sebuah rasa cinta, hasrat, dan patah hati pertama seorang manusia dengan bantuan chemistry yang begitu hangat dan sensual dari dua bintang utamanya, Chalamet dan Hammer. A new coming-of-age classic. [A]

Call Me by Your Name screened as part of 28th Singapore International Film Festival.

call-me-by-your-name-timothee-chalamet-armie-hammer-movie-posterCall Me by Your Name (2017)

Directed by Luca Guadagnino Produced by Peter Spears, Luca Guadagnino, Emilie Georges, Rodrigo Teixeira, Marco Morabito, James Ivory, Howard Rosenman Written by James Ivory (screenplay), André Aciman (novel, Call Me by Your Name) Starring Timothée Chalamet, Armie Hammer, Michael Stuhlbarg, Amira Casar, Esther Garrel, Victoire Du Bois, Vanda Capriolo, Antonio Rimoldi, Elena Bucci, Marco Sgrosso, André Aciman, Peter Spears Music by Sufjan Stevens Cinematography Sayombhu Mukdeeprom Edited by Walter Fasano Production company   Frensy Film Company/La Cinéfacture/RT Features/Water’s End Productions Running time 132 minutes Country United States, Italy, Brazil, France Language English, French, Italian

7 thoughts on “Review: Call Me by Your Name (2017)”

Leave a Reply