Alright. It’s time to recap the best and most memorable movies of 2017.
Harus diakui, kondisi sosial dan politik yang cukup bergejolak di sepanjang tahun 2017 memberikan pengaruh yang cukup kuat pada presentasi pengisahan banyak film – khususnya yang dirilis oleh Hollywood. Film-film seperti Three Billboards Outside Ebbing, Missouri (Martin McDonagh, 2017), Get Out (Jordan Peele, 2017), The Florida Project (Sean Baker, 2017), Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak (Mouly Surya, 2017), hingga The Post (Steven Spielberg, 2017) tampil lantang dalam menyuarakan ide maupun komentar para pembuatnya mengenai kondisi dunia terkini melalui cara mereka masing-masing. Bukan berarti industri film kehilangan film-film dengan elemen hiburan yang memikat. Lihat saja Baby Driver (Edgar Wright, 2017), Pengabdi Setan (Joko Anwar), maupun versi terbaru dari Jumanji: Welcome to the Jungle (Jake Kasdan, 2017) dan Beauty and the Beast (Bill Condon) yang menemukan banyak penggemar ketika dirilis di pasaran. Quite a good year to be at the movies.
Berikut adalah dua puluh film yang At the Movies nilai sebagai yang terbaik di sepanjang tahun 2017, termasuk sebuah film yang dipilih sebagai Movie of the Year. Disusun secara alfabetis.
(Sutradara: Denis Villeneuve | Lava Bear Films / 21 Laps Entertainment / FilmNation Entertainment, 2016)
Lebih dari sekedar menghadirkan pengisahan yang diisi dengan teka-teki dan kejutan layaknya film-film arahan Villeneuve lainnya, Arrival juga padat akan momen-momen emosional. Sebagai sebuah film yang menilik dunia linguistik dengan begitu dekat, naskah penceritaan arahan Eric Heisserer berbicara dengan begitu lugas. Detil dengan deretan filsafat bahasa namun sama sekali tidak pernah terasa mengalienasi para penontonnya yang awam mengenai wilayah keilmuan tersebut. Tidak hanya cerdas secara intelektual, Heisserer mampu membangun sebuah naskah pengisahan yang juga hadir cerdas secara emosional. Setiap konflik dan karakter yang tersaji dalam pengisahan Arrival mampu ditampilkan dengan pengembangan yang perlahan namun menguat dengan seksama. Arrival yang berbicara mengenai hubungan seorang manusia dengan diri maupun orang lain yang ada di sekitarnya sukses tampil begitu personal. Sebuah sentuhan yang akan membuat Arrival terngiang lama di benak penontonnya jauh seusai mereka selesai menyaksikan film ini.
Baby Driver
(Sutradara: Edgar Wright | Working Title Films / Big Talk Productions / MRC, 2017)
Sebuah film aksi komedi dimana sang karakter utama merupakan seorang pria dewasa yang memiliki nama panggilan Baby mungkin terdengar jauh dari kesan meyakinkan. Namun, dengan pendekatan cerita yang begitu imajinatif dari Wright, Baby Driver mampu dikembangkan menjadi sebuah pendekatan baru dari penceritaan heist movie yang melibatkan banyak adegan balapan mobil yang mungkin telah terasa melelahkan setelah kehadiran delapan film dalam seri The Fast and the Furious (2001 – 2017). Pengarahan kuat dan cerdas dari Wright itulah yang kemudian berhasil membuat film ini tampil begitu menyenangkan untuk diikuti.
(Sutradara: Denis Villeneuve | Alcon Entertainment / Columbia Pictures / Scott Free Productions / Torridon Films / 16:14 Entertainment / Thunderbird Entertainment, 2017)
Seperti dua film dengan pengarahan terkuat di sepanjang tahun ini, Dunkirk (Christopher Nolan, 2017) dan mother! (Darren Aronofsky, 2017), Villeneuve juga menghadirkan teknik pengarahan cerita yang menantang penerimaan narasi dari para penontonnya. Berkaitan dengan seri film Blade Runner sendiri, jelas teknik pengisahan tersebut bukanlah sebuah sentuhan yang benar-benar baru. Seperti halnya yang ditampilkan Ridley Scott, Villeneuve memilih untuk tetap menghadirkan barisan konflik dan karakter dalam Blade Runner 2049 dengan pengisahan yang cukup sederhana – dan bahkan merelakan filmnya untuk tidak menyelami lebih dalam beberapa konflik maupun karakter yang telah dihadirkan. Villeneuve kemudian memilih untuk berbicara dengan kekuatan teknikal yang datang dari garapan audio dan visualnya: Gambar-gambar arahan Roger Deakins akan mampu menyihir dan memikat perhatian setiap orang sementara desain suara yang berpadu dengan tata musik arahan Hans Zimmer dan Benjamin Wallfisch hadir untuk menjaga intensitas emosional dalam setiap adegan. Seperti pendahulunya, sifat meditatif penceritaan Blade Runner 2049 mungkin akan mengalienasi beberapa orang. Namun mereka yang dapat melampaui tantangan tersebut jelas akan memberikan apresiasi besar pada kemampuan Villeneuve untuk menandingi sekaligus mendampingi visi yang telah diterapkan Scott dalam Blade Runner – Yep. Bahkan dengan durasi yang mencapai 163 menit.
Dunkirk
(Sutradara: Christopher Nolan | Syncopy Inc., 2017)
Pilihan Nolan untuk menghadirkan Dunkirk dalam balutan narasi cerita maupun karakterisasi yang terbatas harus diakui membangun tembok tersendiri bagi jalan pengisahan film ini untuk mengikat perhatian penontonnya secara emosional. Tidak ada dramatisasi yang berlebihan pada konflik-konflik yang dihadirkan di sepanjang presentasi Dunkirk. Karakter-karakter yang tampil mengisi alur pengisahan film juga hadir dalam kapasitas “seadanya” tanpa pernah diberikan muatan karakterisasi yang mendalam. Nolan bahkan tidak berminat untuk menyajikan deretan adegan penuh tumpahan darah ketika menggambarkan banyak tentara yang menjadi korban gempuran senjata musuh. Namun, di saat yang bersamaan, Nolan mendorong kekuatan teknis dari filmnya untuk menghasilkan kekuatan penceritaan yang secara perlahan akan mampu merasuki pemikiran setiap penontonnya untuk turut terjebak dalam situasi kacau (dan mematikan) yang dialami karakter-karakter dalam pengisahan film. Kekuatan tersebut jelas merupakan sebuah pengalaman yang, one way or another, secara otomatis melibatkan sisi emosional para penonton. Kekuatan pengarahan Nolan pada ceritanya tampil begitu dominan. Tiga linimasa penceritaan yang pada awalnya berjalan dalam barisannya masing-masing secara perlahan akhirnya mencapai titik temu dimana mereka kemudian saling mendorong kekuatan pengisahan satu dengan yang lain. Segmen The Air dari Dunkirk, yang merupakan satu-satunya segmen yang mengandung banyak adegan aksi, juga tereksekusi dengan sangat baik. Tapi, tentu saja, hal tersebut bukanlah sebuah kejutan dari ketika datang dari sesosok sutradara sekelas Nolan.
The Florida Project
(Sutradara: Sean Baker | Cre Film / Freestyle Picture Company / Cinereach / June Pictures, 2017)
Lewat kemampuan pengarahan dan penceritaannya, Baker membuktikan dirinya adalah seorang sutradara kreatif yang benar-benar tahu apa yang ia ingin tampilkan dalam filmnya. Kelihaiannya dalam bercerita yang ia wujudkan melalui pengarahan akting para pemeran filmnya menjadikan The Florida Project sebagai sebuah potret suka duka kehidupan yang indah sekaligus sangat menyentuh.
(Sutradara: Jordan Peele | Blumhouse Productions / QC Entertainment / Monkeypaw Productions, 2017)
Naskah cerita Get Out yang ditulis oleh Peele secara cerdas mampu mengangkat isu rasisme tersebut dengan membangun lapisan demi lapisan dalam setiap karakter yang ia hadirkan dalam penceritaan film. Lapisan demi lapisan tersebut secara perlahan kemudian dibuka yang sekaligus membentuk deretan misteri yang membuat warna pengisahan Get Out tampil begitu menarik. Pengarahan Peele yang kuat juga memegang peranan penting dalam keberhasilan Get Out untuk menjadi sebuah thriller yang handal. Peele memanfaatkan durasi penceritaan filmnya untuk membangun atmosfer ketegangan dalam filmnya – tidak pernah terasa terburu-buru atau terlalu lamban dalam bergerak. Ketika atmosfer misteri dan ketegangan tersebut telah terbangun cukup kuat, Peele lantas memenuhi Get Out dengan deretan adegan yang jelas akan membuat adrenalin penonton filmnya akan berpacu dengan kencang. Kelihaian Peele dalam mengendalikan ritme penceritaan Get Out yang membuat film ini sukses dalam pengisahannya.
(Sutradara: Theodore Melfi | Fox 2000 Pictures / Chernin Entertainment / Levantine Films / TSG Entertainment, 2016)
Kejeniusan Hidden Figures bukan berasal dari keorisinalitasan naskah cerita atau inovasi dalam pengarahannya namun hadir dalam kemampuan Melfi untuk menghadirkan Hidden Figures dalam alur pengisahan yang tepat sekaligus hangat serta penampilan para pengisi departemen aktingnya yang hadir dalam penampilan yang benar-benar hidup. Penonton akan dapat dengan mudah merasakan kemana alur cerita Hidden Figures membawa mereka namun, di saat yang bersamaan, film ini juga akan mampu mengikat dan menghanyutkan mereka dalam sebuah jalinan kisah yang kuat – dan, pada satu titik, mungkin akan dapat menginspirasi mereka.
Lady Bird
(Sutradara: Greta Gerwig | Scott Rudin Productions / Management 360 / IAC Films, 2017)
Dalam film yang menjadi debut pengarahannya, Gerwig menghadirkan Lady Bird sebagai sebuah film coming-of-age yang mampu bercerita dengan kuat kepada setiap penontonnya. Tema cerita yang dibawakan film ini mungkin terasa klise dan telah berulangkali dieksplorasi oleh Hollywood. Namun, dengan naskah cerita cerdas yang juga digarap oleh Gerwig, Lady Bird mampu tampil lugas dalam bercerita sekaligus membawa penonton dalam perjalanan masa-masa menemukan jati diri yang menyentuh. Penampilan dua aktris utamanya, Saoirse Ronan dan Laurie Metcalf, yang berperan sebagai pasangan ibu dan anak, juga membawa kualitas penceritaan film ini terus bersinar di sepanjang 93 menit durasi pengisahannya.
(Sutradara: Damien Chazelle | Gilbert Films / Impostor Pictures / Marc Platt Productions, 2016)
Untuk setiap kelemahan yang dimiliki oleh naskah ceritanya, Chazelle berhasil menutupinya dengan konsep penyampaian cerita yang berhasil tereksekusi dengan luar biasa baik. Mulai dari tampilan a la musikal klasik Hollywood yang benar-benar mencuri perhatian, warna-warna terang yang menjaga suasana menyenangkan di banyak bagian film hingga tata sinematografi yang mampu menangkap atmosfer Los Angeles dengan seksama. Berbicara mengenai deretan lagu yang disajikan oleh film ini, komposer Justin Hurwitz yang berkolaborasi dengan duo penulis lagu, Benj Pasek dan Justin Paul, berhasil menghadirkan deretan lagu yang jelas akan melekat kuat di ingatan banyak penonton hingga lama seusai mereka menyaksikan film ini. Chazelle benar-benar hadir dengan konsep yang matang untuk musikalnya dan, dengan cerdas, mampu mengeksekusi setiap detil konsep tersebut untuk menjadi sebuah cinematic experience yang begitu mempesona.
(Sutradara: James Gray | Plan B Entertainment / Keep Your Head Productions / MICA Entertainment / MadRiver Pictures, 2017)
Gray menghadirkan The Lost City of Z dengan alur pengisahan yang cukup sederhana – jika tidak ingin disebut sebagai lamban – di sepanjang 140 menit durasi pengisahan film ini. Meskipun begitu, pilihan tersebut menjadi sebuah pilihan yang efektif ketika Gray mampu menggulirkan pengisahan filmnya dengan baik sekaligus menjadikan deretan karakter dan konfliknya hadir begitu mengintimidasi. Keberhasilan pengisahan Gray juga didukung oleh eksekusi teknis film yang sangat berkelas. Tata sinematografi arahan Darius Khondji mampu memberikan gambar-gambar yang mendukung atmosfer kemisteriusan, kekelaman sekaligus keindahan penceritaan film. Arahan musik dari Christopher Spelman juga berhasil memberikan tambahan emosi dalam berbagai adegan. Deretan pencapaian tersebut mungkin susah untuk dapat dibayangkan berhasil digapai oleh Gray jika melihat sekilas dari filmografinya terdahulu. Namun, Gray membuktikan bahwa dirinya adalah seorang sutradara handal dengan kemampuan luar biasa dalam mewujudkan ambisinya.
Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak
(Sutradara: Mouly Surya | Cinesurya / Shasha & Co Production / Cinesurya Pictures / Kaninga Pictures / Astro Shaw / HOOQ / Purin Pictures, 2017)
Seperti yang dijalani oleh sang karakter utama dalam film ini, Surya menjadikan Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak sebagai sebuah perjalanan bagi para penontonnya – baik untuk menikmati eksotisnya keindahan pemandangan Sumba maupun menjalani dan merasakan sendiri kerasnya perjuangan dari karakter Marlina. Dengan kehandalan pengarahannya, Surya menyajikan penceritaan filmnya secara gemilang – lembut dalam bertutur namun tegas dalam menyatakan pemikirannya. Another win from one of Indonesia’s most exciting directors today.
mother!
(Sutradara: Darren Aronofsky | Paramount Pictures / Protozoa Pictures, 2017)
Apa yang dipresentasikan Artonofsky dalam mother! mungkin layak digelari dengan sebutan “gila.” Namun, datang dari seorang sutradara yang terus berusaha menerobos batasan penceritaan melalui film-film seperti Requiem for a Dream (2000), The Fountain (2006), atau Black Swan (2010), mother! jelas terasa sebagai sebuah langkah yang lebih tegas dan berani dari Aronofsky. Dukungan solid dari para pengisi departemen akting filmnya – mulai dari Michelle Pfeiffer, Ed Harris, Javier Bardem, serta Jennifer Lawrence yang tampil sempurna – menambah kekuatan kualitas penceritaan film yang dipastikan akan menghantui benak para penontonnya hingga jauh seusai mereka menyaksikan film ini.
Pengabdi Setan
(Sutradara: Joko Anwar | Rapi Films / CJ Entertainment, 2017)
Dari sisi pengisahan, Anwar memberikan rekonstruksi pengisahan yang cukup radikal terhadap jalan cerita versi Pengabdi Setan klasik. Meskipun begitu, terlepas dari berbagai perubahan yang dilakukan tersebut, Anwar secara cerdas tetap mempertahankan atmosfer sunyi dan kelam yang sukses menjadikan versi pendahulu dari Pengabdi Setan tampil begitu efektif dalam menakuti para penontonnya. Keberhasilan tersebut berhasil dicapai oleh Anwar berkat dorongan tata sinematografi arahan Ical Tanjung yang mampu menangkap suasana kemuraman lingkungan lokasi berlangsungnya jalan cerita serta gabungan desain suara dan tata musik garapan Khikmawan Sentosa, Aghi Narottama, Bemby Gusti, dan Tony Merle yang mampu memberikan dorongan psikologis yang lebih mendalam pada penonton untuk merasakan teror penceritaan film ini. Sebuah kompilasi teknikal yang jelas tidak sederhana namun mampu ditangani Anwar dengan handal.
(Sutradara: Edwin | Palari Films, 2017)
Edwin mampu memberikan pengarahan yang semakin memperkokoh kekuatan penceritaan yang telah dibentuk oleh naskah cerita garapan Gina S. Noer. Secara seksama, Edwin menjaga ritme penceritaan filmnya agar mampu menghasilkan perkembangan ikatan emosional yang kuat pada penonton – Edwin bahkan memilihkan lagu No One Can Stop Us milik Dipha Barus dan Dan… milik Sheila on 7 untuk mengisi dua adegan krusial filmnya yang sekaligus memperkuat ikatan emosional tersebut. Paduan tata sinematografi karya Batara Goempar serta iringan komposisi musik buatan Mar Galo dan Dave Lumanta harus diakui turut memberikan andil dalam membentuk atmosfer pengisahan yang tepat di sepanjang 102 menit durasi presentasi film ini. Dan meski dilabeli sebagai film komersial pertamanya, tidak dapat disangkal bahwa berbagai sentuhan khas Edwin masih menghiasi berbagai sudut pengisahan Posesif. Nuansa sunyi yang selalu dapat dirasakan dari film-filmnya, khususnya, masih terasa kental kehadirannya dalam presentasi Posesif dan bahkan menjadi elemen penting dalam pengisahan film.
(Sutradara: Guillermo del Toro | Sidney Wolinsky / Double Dare You Productions, 2017)
Tidak diragukan, The Shape of Water merupakan garapan del Toro yang paling romantis diantara film-film lain yang berada di filmografinya. Tetap mempertahankan kesan penceritaan yang kelam, del Toro menghadirkan The Shape of Water sebagai sebuah pengisahan yang indah dan emosional dengan bantuan penampilan Sally Hawkins yang begitu memikat. Definitely one of the year’s best – and most memorable.
(Sutradara: Martin Scorsese | SharpSword Films / AI Film / Emmett/Furla / Oasis Films / CatchPlay / IM Global / Verdi Productions / YLK Sikelia / Fábrica de Cine, 2016)
Epik mungkin adalah kata perdana dan yang paling tepat untuk menggambarkan Silence. Bagaimana tidak. Dengan durasi pengisahan yang mencapai 161 menit, Scorsese berhasil menggarap Silence sebagai sebuah film yang brutal, indah sekaligus meditatif mengenai bagaimana manusia mampu bertahan hidup dan berjuang demi kepercayaan yang mereka pegang teguh. Tidak semenitpun dari hampir tiga jam perjalanan durasi penceritaan Scorsese akan Silence terbuang dengan sia-sia. Paruh pertama pengisahan Silence diisi Scorsese dengan mengenalkan wilayah Jepang pada masa terdahulu yang cukup terisolasi dari dunia luar – bayangkan The New World (Terrence Malick, 2005) namun tanpa segala sentuhan puitisnya. Paruh kedua kemudian diisi dengan renungan kejiwaan sang karakter utama akan keyakinan yang ia pegang: Apakah keyakinan tersebut pantas untuk tetap diperjuangkan ketika banyak orang menjadi korban akibat keberadaan keyakinan tersebut? Sementara patuh ketiga Silence menandai datangnya seorang narator cerita yang baru sekaligus perubahan sikap yang dialami oleh sang karakter utama. Setiap bagian pengisahan tersebut mampu diolah Scorsese dengan begitu apik, rapi dan akan membuat setiap penonton turut menyelami perjalanan rohaniah sang karakter utama.
Three Billboards Outside Ebbing, Missouri
(Sutradara: Martin McDonagh | Blueprint Pictures / Fox Searchlight Pictures / Film4 Productions / Cutting Edge Group, 2017)
McDonagh secara cerdas berhasil menggulirkan cerita filmnya sebagai refleksi kondisi sosial di era sekarang dimana setiap tindakan kebencian kemudian dibalas dengan tindakan kebencian lainnya yang akhirnya justru merusak tatanan sosial di kalangan itu sendiri. Terdengar serius namun, tentu saja, McDonagh menghadirkannya dengan elemen black comedy yang akan mampu membuat setiap penonton tertawa lepas – yang kemungkinan besar akan diikuti perasaan bahwa mereka sebenarnya sedang menertawakan kondisi diri mereka sendiri. Frances McDormand sendiri mengisi setiap elemen emosional yang dihadirkan oleh karakternya dengan sempurna.
(Sutradara: Matt Reeves | Chernin Entertainment , 2017)
Seperti halnya dua film pendahulunya, kesuksesan War of the Planet of the Apes jelas berasal dari kualitas naskah ceritanya yang begitu berkelas. Tidak hanya mampu memberikan pendalaman kisah yang memadai bagi karakter-karakternya, naskah cerita garapan Reeves dan Mark Bomback semakin lihat dalam menggarap tema-tema yang menyentuh kondisi sosial dan politik teranyar yang memang telah diterapkan dalam pakem penceritaan Rise of the Planet of the Apes maupun Dawn of the Planet of the Apes. Hasilnya, War of the Planet of the Apes mampu disajikan dengan sentuhan emosional yang begitu kuat – baik yang muncul akibat interaksi antar karakter dalam ceritanya maupun berkat koneksi yang berhasil terjalin mulus dengan para penontonnya. Durasi penceritaan yang mencapai 140 menit – 10 menit lebih panjang daripada Dawn of the Planet of the Apes dan 35 menit lebih panjang daripada Rise of the Planet of the Earth – memang dapat saja dipangkas dengan menghilangkan beberapa cabang penceritaan yang kurang esensial. Meskipun begitu, tidak dapat disangkal, War for the Planet of the Apes berhasil menjadi titik puncak kualitas penceritaan bagi trilogi film ini.
(Sutradara: Taylor Sheridan | Acacia Entertainment / Savvy Media Holdings / Thunder Road Pictures / Film 44, 2017)
Sekilas, mudah untuk memandang Wind River sebagai sebuah crime thriller dengan rangka kisah whodunit yang telah begitu sering diproduksi Hollywood. Namun, meskipun menghadirkan deretan karakter, plot serta latar belakang lokasi pengisahan yang begitu minimalis, Sheridan mampu mengeksplorasi elemen-elemen pengisahan filmnya untuk menghasilkan kekuatan cerita yang begitu maksimal. Lihat saja bagaimana karakter-karakter dalam jalan cerita Wind River tampil tegas dalam penggambaran setiap karakteristiknya. Hubungan yang terjalin antara satu karakter dengan yang lain hadir secara dinamis yang membuat setiap kisah yang mereka bawakan hadir kuat dan menggugah. Penggambaran intrik sosial berupa jejak konflik antar ras dalam jalan cerita film juga berhasil dihadirkan Sheridan secara halus, tidak pernah terasa bersifat konfrontatif namun akan tetap mampu dirasakan oleh setiap penonton. Wind River berhasil tergarap sebagai sebuah pengisahan yang mampu memberikan sentuhan emosional yang luar biasa mendalam.
MOVIE OF THE YEAR
(Sutradara: Luca Guadagnino | Frensy Film Company / La Cinéfacture / RT Feature / Water’s End Productions, 2017)
Guadagnino menggarap Call Me by Your Name tidak melulu hanya berkisah mengenai jalinan romansa yang terjalin antara dua karakter utamanya. Lebih dari itu, lewat bantuan naskah yang digarap oleh James Ivory, Call Me by Your Name lebih kental terasa sebagai sebuah kisah pendewasaan dari karakter Elio. Dalam 132 menit durasi pengisahan film, Guadagnino memberikan bangunan yang kokoh bagi karakter Elio: bagaimana hubungan sang remaja dengan kedua orangtuanya, nafsu dan gairahnya sebagai seorang remaja yang berusaha untuk menemukan jati dirinya, sekaligus persinggungan pertamanya dengan rasa manis yang diakibatkan dari sebuah perasaan jatuh cinta. Elemen pengisahan inilah yang kemudian membuat alur pengisahan Call Me by Your Name terasa begitu universal terlepas dari kisah romansa yang dikedepankannya. A new coming-of-age classic.