Review: Candyman (2021)


Seperti halnya Halloween (David Gordon Green, 2018) yang alur pengisahannya bertugas sebagai sekuel bagi Halloween (John Carpenter, 1978) dengan mengacuhkan film-film lain dalam seri Halloween lainnya yang telah dirilis, garapan terbaru sutradara Nia DaCosta (Little Woods, 2018) bersama dengan produser Jordan Peele (Us, 2019) untuk film Candyman juga akan bertindak sebagai sekuel serta memiliki alur pengisahan yang terkoneksi dengan alur pengisahan film perdana Candyman (1992) arahan Bernard Rose dengan tidak memiliki keterkaitan cerita apapun terhadap film lain dalam seri Candyman yang berada diantaranya. Dengan naskah cerita yang ditulis oleh DaCosta bersama dengan Peele dan Win Rosenfeld, Candyman (2021) memberikan pengembangan yang lebih mendalam terhadap sosok karakter Candyman yang dahulu digambarkan pada Candyman (1992) dan menjadikan kisahnya tampil relevan dengan berbagai perbincangan tentang isu sosial dan politik seputar ras di era sekarang.

Berlatar belakang waktu pengisahan di tahun 2019 – 27 tahun semenjak berbagai konflik yang dikisahkan terjadi pada Candyman (1992), film ini memulai pengisahannya dengan memperkenalkan penonton pada sosok Anthony McCoy dewasa (Yahya Abdul-Mateen II) yang dalam kesehariannya berprofesi sebagai seorang perupa. Dalam usahanya untuk mendapatkan inspirasi bagi karya teranyarnya, Anthony McCoy menelusuri jejak perumahan kumuh Cabrini-Green yang memiliki reputasi sebagai tempat tinggal bagi kaum miskin hingga para penjahat. Pertemuannya dengan seorang warga setempat, William Burke (Colman Domingo), mengenalkannya pada legenda Candyman yang digambarkan sebagai sosok supranatural yang akan datang jika seseorang menyebut namanya sebanyak lima kali dan sekaligus akan membunuh orang tersebut. Seperti yang dapat diduga, Anthony McCoy yang awalnya tidak percaya dengan kisah legenda tersebut kemudian menyebutkan nama Candyman sebanyak lima kali. Dan Candyman-pun akhirnya datang.

Seperti film pendahulunya, serta senada dengan dua film arahan Peele, Get Out (2017) dan Us, Candyman bukanlah sebuah presentasi yang hanya mementingkan adegan-adegan horor guna memantik rasa ketakutan dari para penontonnya. Diadaptasi dari naskah cerita yang ditulis Rose untuk Candyman (1992) yang sendirinya merupakan adaptasi dari cerita pendek berjudul The Forbidden yang ditulis oleh Clive Barker, film ini menyentuh banyak isu sosial dan politik yang berkaitan dengan ras, khususnya yang berkaitan dengan kehidupan komunitas kulit hitam di Amerika Serikat saat ini – mulai dari isu ketimpangan sosial dalam masalah perumahan umum garapan pemerintah yang selalu berkesan tidak berpihak pada komunitas masyarakat kulit hitam hingga perlakuan kekerasan yang dilakukan oleh pihak kepolisian.

Candyman menjadikan sosok Candyman sebagai simbol dari para pria berkulit hitam yang mendapatkan perlakuan tidak adil dari mereka yang kerap memandang rendah orang-orang berkulit hitam. Film ini bahkan menggunakan semboyan “say my name” yang jelas akan mengingatkan banyak penonton pada semboyan bernada serupa yang digunakan oleh komunitas kulit hitam di Amerika Serikat untuk mengingat mereka yang menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh pihak kepolisian. Tema pengisahan yang cukup bernilai ambisius ini memang tidak selalu dapat diterjemahkan dengan mulus oleh naskah cerita garapan DaCosta, Peele, dan Rosenfeld. Di sejumlah bagian pengisahan, penekanan terhadap berbagai isu yang dibawakan oleh jalan cerita film membuat Candyman terasa preachy dalam menyampaikan pesan-pesannya. Banyak ide cerita yang ingin disampaikan oleh Candyman juga tidak mampu disampaikan secara utuh. Akhirnya, banyak konflik dalam linimasa penceritaan film terasa tumpang tindih antara satu dengan yang lain.

Terlepas dari sejumlah kekurangan yang terdapat pada eksplorasi serta pengembangan jalan ceritanya, arahan DaCosta cukup mampu menjadikan Candyman dapat meninggalkan kesan yang lumayan mendalam. Ritme pengisahan yang tertata dengan baik mampu membuat tiap lapisan cerita film tampil lugas dalam berkisah. Pilihan grafis maupun penataan visual film juga menjadikan Candyman tidak pernah terasa membosankan untuk diikuti penuturannya. Meskipun tidak pernah benar-benar terasa mengerikan, atmosfer kelam yang terus terjaga di sepanjang penceritaan film – yang terwujud berkat iringan musik garapan Robert A. A. Lowe serta tata sinematografi dari John Guleserian – lumayan berhasil menghadirkan kesan horor yang kental. Eksekusi yang dilakukan DaCosta terhadap momen-momen kematian para korban dalam jalan cerita Candyman juga hadir kuat. Brutal, namun tidak pernah terasa berlebihan ataupun dipaksakan keberadaannya.

DaCosta juga mendapatkan dukungan yang sangat solid dari penampilan para pengisi departemen aktingnya. Abdul-Mateen II tampil kuat dalam menghidupkan sosok pria yang sedang menghadapi tantangan emosional dan secara perlahan mulai mempengaruhi sikapnya terhadap orang-orang yang berada di sekitarnya. Abdul-Mateen II dapat menjadikan perjalanan karakternya yang terperosok ke sisi gelap kehidupan hadir mengerikan tetapi tetap terasa begitu humanis. Karakter-karakter lain dalam penceritaan Candyman memang tidak mendapatkan eksplorasi cerita seluas yang diberikan terhadap karakter Anthony McCoy. Meskipun begitu, penampilan Domingo dan Teyonah Parris jelas berhasil membuat karakter yang mereka perankan tampil meyakinkan. Kehadiran Vanessa Williams dan Tony Todd yang kembali memerankan karakter yang mereka perankan dalam Candyman (1992) juga dapat menghasilkan momen kuat bagi film ini.

popcornpopcornpopcornpopcorn-halfpopcorn2

candyman-yahya-abdul-mateen-movie-posterCandyman (2021)

Directed by Nia DaCosta Produced by Ian Cooper, Win Rosenfeld, Jordan Peele Written by Jordan Peele, Win Rosenfeld, Nia DaCosta (screenplay), Bernard Rose (original screenplay, Candyman), Clive Barker (short story, The Forbidden) Starring Yahya Abdul-Mateen II, Teyonah Parris, Nathan Stewart-Jarrett, Colman Domingo, Kyle Kaminsky, Vanessa Williams, Hannah Love Jones, Rodney L. Jones III, Rebecca Spence, Miriam Moss, Carl Clemons-Hopkins, Christiana Clark, Heidi Grace Engerman, Breanna Lind, Torrey Hanson, Cedric Mays, Nancy Pender, Pam Jones, Virginia Madsen, Tony Todd Cinematography John Guleserian Edited by Catrin Hedström Music by Robert A. A. Lowe Production companies Metro-Goldwyn-Mayer/Bron Creative/Monkeypaw Productions Running time 91 minutes Countries United States, Canada Language English

Leave a Reply