Review: Dunkirk (2017)


Jelas cukup mudah untuk membayangkan jika film terbaru arahan Christopher Nolan, Dunkirk, merupakan sebuah presentasi drama peperangan yang dipenuhi ledakan, darah dan serpihan tubuh manusia. Tidak mengherankan. Dengan premis yang ingin bercerita tentang kisah nyata evakuasi pasukan sekutu yang berisikan tentara-tentara dari negara Inggris, Perancis, Belgia, dan Kanada ketika mereka terjebak dan dikepung pasukan Jerman di wilayah pantai dan pelabuhan Dunkirk, Perancis pada 26 Mei hingga 4 Juni 1940 semasa Perang Dunia II berlangsung, banyak penikmat film akan mengharapkan (baca: mengira) bahwa Dunkirk akan menjadi Saving Private Ryan (Steven Spielberg, 1998) atau Hacksaw Ridge (Mel Gibson, 2016) dalam filmografi Nolan. Namun, “menjebak” penontonnya dalam teror peperangan sepertinya bukan menjadi fokus utama Nolan dalam menceritakan Dunkirk. Nolan lebih memilih untuk menjadikan Dunkirk sebagai sebuah disaster movie dimana penonton dapat “menikmati” detik-detik ketidakpastian nasib setiap jiwa yang menunggu di pinggiran pantai Dunkirk sekaligus tetap menghadirkan harapan pada kehidupan pada mereka.

Dengan naskah cerita yang ditulis sendiri oleh Nolan, Dunkirk dihadirkan dalam tiga segmen yang mewakili tiga linimasa penceritaan. Dalam segmen The Mole yang berlatarbelakang lokasi penceritaan di daratan dan berlangsung selama satu minggu, Dunkirk bercerita mengenai bagaimana Commander Bolton (Kenneth Branagh) dan Colonel Winnant (James D’Arcy) mengatur strategi usaha penyelamatan para pasukannya. The Mole juga menghadirkan kisah mengenai beberapa tentara yang berusaha untuk mencari jalan keluar dari wilayah pantai Dunkirk untuk kembali ke kampung halaman mereka. Dalam The Sea, yang berlatarbelakang lokasi kisah di lautan dan berlangsung selama satu hari, Dunkirk kemudian berfokus pada kisah patriotik seorang pria bernama Mr. Dawson (Mark Rylance) yang bersama dengan puteranya, Peter (Tom Glynn-Carney), secara sukarela menjawab panggilan Angkatan Laut kepada kapal-kapal sipil untuk menyelamatkan para tentara di Dunkirk. Segmen ketiga Dunkirk, The Air yang berlokasi di udara dan berlangsung selama satu jam, berkisah mengenai dua pilot pesawat tempur asal Inggris, Farrier (Tom Hardy) dan Collins (Jack Lowden), yang berusaha untuk menahan serangan udara pasukan musuh ketika proses evakuasi terhadap para tentara di wilayah pantai Dunkirk sedang berlangsung.

Pilihan Nolan untuk menghadirkan Dunkirk dalam balutan narasi cerita maupun karakterisasi yang terbatas harus diakui membangun tembok tersendiri bagi jalan pengisahan film ini untuk mengikat perhatian penontonnya secara emosional. Tidak ada dramatisasi yang berlebihan pada konflik-konflik yang dihadirkan di sepanjang presentasi Dunkirk. Karakter-karakter yang tampil mengisi alur pengisahan film juga hadir dalam kapasitas “seadanya” tanpa pernah diberikan muatan karakterisasi yang mendalam. Tidak ada karakter yang menjadi sosok pahlawan yang akan dipuja maupun dielu-elukan penonton. Tidak terdapat pula sosok musuh yang digambarkan secara eksplisit berusaha untuk menyudahi perlawanan orang-orang yang bertentangan dengan mereka. Nolan bahkan tidak berminat untuk menyajikan deretan adegan penuh tumpahan darah ketika menggambarkan banyak tentara yang menjadi korban gempuran senjata musuh.

Namun, di saat yang bersamaan, Nolan mendorong kekuatan teknis dari filmnya untuk menghasilkan kekuatan penceritaan yang secara perlahan akan mampu merasuki pemikiran setiap penontonnya untuk turut terjebak dalam situasi kacau (dan mematikan) yang dialami karakter-karakter dalam pengisahan film. Kekuatan tersebut jelas merupakan sebuah pengalaman yang, one way or another, secara otomatis melibatkan sisi emosional para penonton. Kekuatan pengarahan Nolan pada ceritanya tampil begitu dominan. Tiga linimasa penceritaan yang pada awalnya berjalan dalam barisannya masing-masing secara perlahan akhirnya mencapai titik temu dimana mereka kemudian saling mendorong kekuatan pengisahan satu dengan yang lain. Segmen The Air dari Dunkirk, yang merupakan satu-satunya segmen yang mengandung banyak adegan aksi, juga tereksekusi dengan sangat baik. Tapi, tentu saja, hal tersebut bukanlah sebuah kejutan dari ketika datang dari sesosok sutradara sekelas Nolan.

Kredit jelas layak disematkan pada sosok-sosok di balik layar yang berhasil memberikan Dunkirk pencapaian terbaiknya. Sinematografer Hoyte van Hoytema menghasilkan deretan gambar yang tidak hanya mampu menonjolkan keindahan namun juga begitu ekspresif dalam mendalami setiap konflik yang muncul dalam linimasa pengisahan Dunkirk. Begitu pula dengan tata gambar arahan Lee Smith yang, di saat yang bersamaan, mampu membuat tiga linimasa penceritaan berjalan di jalurnya masing-masing namun tetap hadir beriringan dan saling terkoneksi di sepanjang film. Komposer Hans Zimmer juga memberikan kontribusi yang begitu esensial bagi presentasi Dunkirk. Garapan musik Zimmer, yang menyertakan bunyi dentingan jarum jam sebagai penanda menit-menit krusial dalam kehidupan banyak karakter di penceritaan Dunkirk, memicu begitu banyak momen-momen menegangkan. Sebuah sentuhan inovatif yang jelas menjadi salah satu komposisi musik terbaik yang pernah dihasilkan Zimmer.

Meskipun pengisahan Dunkirk tidak bertumpu secara utuh pada perjalanan cerita karakter-karakternya namun Nolan tetap menghadirkan kualitas penampilan terbaik dari departemen akting filmnya. Diisi oleh mayoritas tampang-tampang muda dan masih belum terlalu popular seperti Fionn Whitehead, Glynn-Carney, Lowden, Harry Styles, Barry Keoghan dan Aneurin Barnard, para pengisi departemen akting Dunkirk tampil meyakinkan dalam menghidupkan setiap karakter yang mereka perankan. Dukungan penampilan dari Hardy, Branagh, D’Arcy dan Rylance – serta Michael Caine yang hanya menghadirkan vokalnya – semakin mempersolid kekuatan kualitas film. Dengan pola pendekatan penceritaan yang tidak se-straightforward film-film arahan Nolan sebelumnya ataupun film-film bertema sama lainnya, Dunkirk mungkin akan lebih mudah dikagumi untuk pencapaian teknisnya daripada disukai maupun dicintai untuk kisah yang disajikannya. Meskipun begitu, tidak dapat disangkal, keputusan Nolan yang lantang dalam penyampaian visinya berbuah manis dengan Dunkirk yang tampil begitu istimewa dan layak untuk dirayakan. [B]

dunkirk-christoper-nolan-movie-posterDunkirk (2017)

Directed by Christopher Nolan Produced by Emma Thomas, Christopher Nolan Written by Christopher Nolan Starring Fionn Whitehead, Tom Glynn-Carney, Jack Lowden, Harry Styles, Aneurin Barnard, Barry Keoghan, Kenneth Branagh, Cillian Murphy, Mark Rylance, Tom Hardy, Michael Caine Music by Hans Zimmer Cinematography Hoyte van Hoytema Editing by Lee Smith Studio Syncopy Inc. Running time 106 minutes Country United Kingdom, United States, France, Netherlands Language English

9 thoughts on “Review: Dunkirk (2017)”

Leave a Reply