Review: DreadOut (2019)


Menyusul Timo Tjahjanto yang telah mengarahkan Sebelum Iblis Menjemput (2018) dan The Night Comes for Us (2018) secara solo, belahan jiwa Mo Brothers lainnya, Kimo Stamboel, kini memamerkan kemampuan penyutradaraannya lewat DreadOut. Diatas kertas, premis yang ditawarkan film ini jelas terdengar menarik. Bukan sebuah film horor biasa, jalan cerita DreadOut diadaptasi dari sebuah permainan video bertema horor buatan Indonesia yang telah cukup popular di kalangan para penikmat permainan video baik dalam skala lokal maupun dalam skala internasional – yang menjadikan DreadOut sebagai film adaptasi permainan video pertama di Indonesia. Begitu pula dengan deretan pengisi departemen aktingnya yang dipenuhi nama-nama aktor dan aktris muda Indonesia seperti Jefri Nichol, Caitlin Halderman, Marsha Aruan, hingga Susan Sameh yang jelas telah memiliki kredibilitas kemampuan akting yang cukup meyakinkan. Then what could go wrong? Banyak hal, ternyata… khususnya ketika penceritaan film tidak mendapatkan dukungan kualitas naskah cerita yang solid.

Jalan cerita DreadOut sendiri dimulai dengan memperkenalkan enam remaja karakter utamanya, Linda (Halderman), Erik (Nichol), Jessica (Aruan), Alex (Ciccio Manassero), Dian (Sameh), dan Beni (Irsyadillah). Dengan tujuan untuk mendapatkan popularitas di akun sosial media, keenamnya lantas berangkat ke sebuah apartemen terbengkalai yang telah terkenal akan keangkerannya untuk merekam video yang diharapkan dapat menampilkan fenomena supranatural di lokasi tersebut. Seperti yang dapat diduga, tidak hanya dapat merasakan adanya fenomena supranatural di tempat tersebut, Linda, Erik, Jessica, Alex, Dian, dan Beni juga terseret ke dalam sebuah dunia asing dimana mereka kemudian diburu oleh sesosok wanita berkebaya merah (Rima Melati Adams). Hanya waktu yang dapat menjawab apakah keenam remaja tersebut dapat keluar dan menyelamatkan diri atau selamanya terjebak di alam gaib yang mematikan tersebut.

Harus diakui, kemampuan pengarahan Stamboel menjadi elemen yang sangat esensial dalam kehidupan aliran cerita DreadOut. Berbekal tunjangan kualitas teknikal yang mengesankan – mulai dari tata efek khusus, sinematografi, desain suara dan musik, hingga kualitas departemen artistik – Stamboel sukses menggarap filmnya untuk hadir dengan atmosfer horor yang tidak hanya memuaskan untuk dilihat dan dirasakan namun juga seringkali benar-benar mampu untuk mencekam. Cukup disayangkan jika kemudian keunggulan DreadOut di bidang teknis kemudian ditenggelamkan oleh kualitas penulisan naskah cerita film yang cenderung berantakan – jika tidak ingin menyebutnya sebagai sebuah presentasi cerita yang buruk. Naskah cerita garapan Stamboel tidak pernah benar-benar mampu memahami apa yang ingin dikisahkan oleh DreadOut, seluk-beluk dunianya, berbagai aturan dan konflik yang ada, hingga gambaran dan perjalanan setiap karakter. Seringkali berbenturan antara satu dengan yang lain.

Padahal, Stamboel sebenarnya dapat saja menjadikan film horor Silent Hill (Christophe Gans, 2006) yang juga diadaptasi dari sebuah permainan video sebagai “bahan pembelajaran.” Dengan pola penceritaan yang hampir serupa, Silent Hill berhasil mengkreasikan sebuah semesta penceritaan horor yang menarik dan jauh dari kesan repetitif seperti yang disajikan Stamboel dalam penggambaran usaha karakter-karakternya untuk menghadapi deretan teror yang menghadang mereka. Dan, tentu saja, DreadOut alur penceritaan DreadOut jelas akan terasa tampil lebih dinamis jika karakter-karakter pendukung serta karakter horor dalam linimasa pengisahannya dapat diberikan penggalian karakter yang lebih dalam daripada hanya sekedar tampil sebagai karakter-karakter penggembira (atau penderita).

Dengan karakter Linda yang hadir mendominasi di sepanjang pengisahan film, Halderman mampu membuktikan bahwa dirinya memiliki kekuatan akting yang tepat untuk hadir sebagai sosok pemeran utama yang meyakinkan. Meskipun karakternya acapkali tampil dalam galian cerita yang tidak terlalu mendalam, Halderman berhasil menjadikan karakter Linda sebagai satu karakter yang terus dapat mengikat perhatian. Para pemeran lain tampil dalam kapasitas yang terbatas. Karakter yang diperankan Manassero dan Mike Lucock mungkin diniatkan sebagai comic relief bagi jalan cerita DreadOut. Tidak terlalu berhasil, sayangnya, sehingga lebih sering terasa sebagai dua karakter yang bodoh dan cenderung mengganggu. Naskah cerita juga tidak memberikan ruang yang terlalu besar bagi pergerakan karakter Erik yang diperankan Nichol meskipun sang aktor jelas telah berusaha untuk menjadikan karakternya tetap tampil menonjol di berbagai adegan. Hannah Al Rashid juga hadir memperkuat departemen akting film dengan sosok karakter yang sebenarnya krusial namun terbuang sia-sia akibat usaha memberikan pelintiran cerita yang terpendam terlalu lama.

Sebuah adaptasi dari medium yang sebelumnya belum pernah dilirik oleh industri film Indonesia jelas merupakan sebuah langkah yang layak mendapatkan apresiasi. Namun, dengan apa yang dihantarkannya dalam DreadOut, Stamboel justru menambah panjang daftar film-film yang diadaptasi dari permainan video yang dikenal selalu hadir dengan kualitas yang mengecewakan. [D]

dreadout-jefri-nichol-film-indonesia-movie-posterDreadOut (2019)

Directed by Kimo Stamboel Produced by Edwin Nazir, Wida Handoyo, Kimo Stamboel, Kwonsik Kim, Yeonu Choi, Justin Kim, Hyerim Oh Written by Kimo Stamboel (screenplay), Digital Happiness (video game, DreadOut) Starring Caitlin Halderman, Jefri Nichol, Marsha Aruan, Ciccio Manassero, Susan Sameh, Irsyadillah, Miller Khan, Mike Lucock, Cathy Natafitria Fakandi, Hannah Al Rashid, Salvita Decorte, Rima Melati Adams Music by Fajar Yuskemal Cinematography Patrick Tashadian Edited by Bobby Prabowo Production company GoodHouse Production/CJ Entertainment/Sky Media/Nimpuna Sinema/Lyto Running time 95 minutes Country Indonesia Language Indonesian

3 thoughts on “Review: DreadOut (2019)”

Leave a Reply