Review: Cinderella (2021)


Gadis yatim piatu. Ibu dan saudara tiri yang selalu menyakiti hati. Pangeran yang sedang mencari cinta. Sepatu kaca. Yes, it’s a tale as old as time. Enam tahun semenjak Kenneth Branagh menghadirkan Cinderella (2015) yang tidak hanya mampu meraih kesuksesan komersial di sepanjang masa penayangannya namun juga berhasil mendapatkan pujian luas dari para kritikus film dunia, Kay Cannon (Blockers, 2018) kini menghadirkan interpretasinya atas kisah klasik yang kepopulerannya berawal dari cerita berjudul Cendrillon ou la petite pantoufle de verre yang diterbitkan pada tahun 1697 oleh penulis dongeng asal Perancis, Charles Perrault. Disampaikan dengan struktur pengisahan musikal, presentasi film cerita panjang layar lebar teranyar dari Cinderella yang naskah ceritanya juga ditulis oleh Cannon ini berusaha untuk menghadirkan lingkup cerita dan karakter yang lebih modern dengan sentuhan sudut pandang feminis yang kental. Berhasil?

Dasar pengisahan film ini masih serupa, bercerita tentang seorang gadis yatim piatu bernama Ella (Camila Cabello) yang kini terpaksa tinggal seatap dengan ibu tiri, Vivian (Idina Menzel), serta dua puterinya, Malvolia (Maddie Baillio) dan Narissa (Charlotte Spencer). Meskipun masih digambarkan sebagai karakter-karakter yang sering memberikan kesulitan dalam kehidupan karakter Ella, namun hubungan antara karakter Ella dengan karakter ibu serta dua saudara tirinya dalam film ini digambarkan dengan lebih lembut dan jauh dari kesan semena-mena. Karakter Ella dengan dua karakter saudara tirinya bahkan beberapa kali terlibat dalam interaksi yang bernada komedi. Cannon juga memberikan galian kisah dari masa lalu untuk karakter Vivian lewat perantaraan lirik sebuah lagu yang cukup mampu memberikan gambaran akan dasar dari sikap keras yang selama ini diberikannya pada karakter Ella.

Perombakan gambaran karakter juga berlaku bagi sosok karakter Ella. Karakter tersebut, bersama dengan karakter-karakter perempuan lain yang muncul di linimasa pengisahan Cinderella, disajikan sebagai sosok-sosok karakter yang memiliki kemampuan, harapan, serta mimpi yang besar namun terjebak dalam kehidupan yang monoton akibat lingkungan masyarakat yang tidak pernah menganggap penting keberadaan kaum perempuan. Lihat saja karakter Ella yang, daripada mengharapkan datangnya seorang pangeran untuk menyelamatkan hidupnya, memilih untuk berharap adanya kesempatan agar dirinya dapat mengembangkan bakat serta minatnya sebagai seorang perancang busana. Cannon masih menghadirkan unsur romansa dalam jalan cerita filmnya lewat hubungan yang terjalin antara karakter Ella dengan karakter Prince Robert (Nicholas Galitzine). Namun, kisah percintaan antara keduanya tidak pernah dibentuk sebagai elemen yang memberikan pengaruh krusial bagi kehidupan sang karakter utama.

Perubahan-perubahan yang dihasilkan Cannon harus diakui mampu menjadikan presentasi cerita Cinderella menjadi cukup menyegarkan. Pilihan Cannon untuk mengisi elemen musikal filmnya dengan garapan ulang dari sejumlah lagu-lagu popular seperti Rhythm Nation dari Janet Jackson, Material Girl dari Madonna, Somebody to Love dari Queen, hingga Perfect dari Ed Sheeran, Let’s Get Loud dari Jennifer Lopez, serta beberapa lagu orisinal juga banyak menghasilkan momen yang menyenangkan. Di saat yang bersamaan, sulit untuk benar-benar menikmati Cinderella ketika barisan perubahan yang dihadirkan Cannon tidak mampu diarahkan dengan penataan kisah yang lugas. Perjalanan kisah film ini seringkali tampil dengan penuturan yang tidak konsisten – terburu-buru untuk menggambarkan atau menyelesaikan sebuah konflik pada satu kesempatan dan terasa lamban dan bertele-tele pada satu kesempatan lainnya. Ide-ide cerita yang ingin disampaikan Cannon juga tidak mampu diberikan pengembangan yang layak di sejumlah bagian cerita. Hal ini yang membuat Cinderella tidak pernah mampu terasa utuh dalam bertutur.

Sebagai penampilan akting dalam sebuah film cerita panjang pertamanya, penampilan Cabello harus diakui masih terasa goyah atau berlebihan di beberapa bagian. Bukan sebuah penampilan yang benar-benar buruk karena Cabello sebenarnya memiliki daya tarik yang mudah untuk disukai namun, untuk diposisikan sebagai pemeran sesosok karakter utama, masih tergolong cukup lemah. Chemistry antara Cabello dan Galitzine juga lebih sering terasa hambar daripada meyakinkan. Beruntung, departemen akting film ini diisi dengan sejumlah penampilan pendukung yang mampu mencuri perhatian. Penampilan Menzel dan Billy Porter – yang memerankan sosok karakter Ibu Peri – hadir kuat dan jelas menjadi penampilan terbaik dalam film ini. Penampilan dari Minnie Driver, Pierce Brosnan, dan Tallulah Greive juga melengkapi kualitas penampilan akting di film ini meskipun hadir dalam porsi pengisahan yang tidak terlalu maksimal.

popcornpopcornpopcorn-halfpopcorn2popcorn2

cinderella-camila-cabello-movie-posterCinderella (2021)

Directed by Kay Cannon Produced by James Corden, Leo Pearlman, Jonathan Kadin, Shannon McIntosh Written by Kay Cannon (screenplay), Charles Perrault (story, Cindrellon) Starring Camila Cabello, Idina Menzel, Minnie Driver, Nicholas Galitzine, Billy Porter, Pierce Brosnan, Maddie Baillio, Charlotte Spencer, Rob Beckett, Tallulah Greive, Beverley Knight, Doc Brown, James Acaster, James Corden, Romesh Ranganathan Cinematography Henry Braham Edited by Stacey Schroeder Music by Mychael Danna, Jessica Weiss Running time 113 minutes Countries United Kingdom, United States Language English

One thought on “Review: Cinderella (2021)”

Leave a Reply