Review: Quo Vadis, Aida? (2020)


Ditulis dan diarahkan oleh sutradara asal Bosnia, Jasmila Žbanić, yang sebelumnya sempat memenangkan penghargaan Golden Bear di ajang The 56th Berlin International Film Festival lewat filmnya Grbavica: The Land of My Dreams (2006), Quo Vadis, Aida? memiliki latar belakang waktu pengisahan pada saat musim panas di Bosnia pada tahun 1995 ketika tentara Serbia memasuki kota Srebrenica dan memulai masa pendudukannya. Karakter utama film ini bernama Aida (Jasna Đuričić), seorang guru yang kini bertugas sebagai penterjemah bagi para petugas Persatuan Bangsa-bangsa yang ditempatkan di daerah rawan perang tersebut. Kota Srebrenica sendiri awalnya telah ditetapkan sebagai wilayah aman yang berarti tidak boleh dijadikan lahan pertempuran oleh seluruh pihak yang sedang berperang. Namun, serbuan tentara Serbia yang berniat untuk melakukan pembersihan etnis non-Serbia di lokasi tersebut jelas menimbulkan kepanikan yang mendalam, termasuk kepada Aida yang kemudian berusaha untuk melakukan berbagai cara untuk menyelamatkan suami dan kedua puteranya.

Bertutur tentang kisah nyata akan Genosida Srebrenica yang menewaskan lebih dari delapan juta jiwa manusia dan merupakan tragedi pembantaian paling sadis di Eropa semenjak Perang Dunia II, Žbanić lebih memilih untuk mengedepankan nuansa dan atmosfer kelamnya peristiwa tersebut daripada menyajikannya sebagai tontonan yang brutal dan bersimbah darah. Karenanya, adegan-adegan yang melibatkan terjadinya kekerasan atau pembunuhan tampil cukup minimalis di sepanjang 102 menit durasi pengisahan Quo Vadis, Aida? Di saat yang bersamaan, meskipun dengan penyampaian yang subtil, sulit untuk membantah bahwa Žbanić berhasil menghadirkan gambaran yang mengerikan akan tragedi yang dikisahkan dalam linimasa pengisahan film ini. Rasa kekosongan, keputusasaan, kemuraman, hingga kekejaman mampu dipresentasikan oleh Žbanić lewat tangkapan gambar akan wajah para karakter yang diambil dengan begitu intim.

Dengan fokus yang diberikan secara utuh pada sosok karakter Aida, Quo Vadis, Aida? memang bergerak secara permanen dalam mengikuti setiap arah gerakan maupun tindakan yang diambil oleh sang karakter. Lewat penataan sinematografi yang terus mengikuti pergerakan sosok karakter tersebut serta penampilan sangat kuat yang dihadirkan Đuričić, penonton dapat dengan leluasa merasa bahwa mereka mengikuti setiap gestur tubuh dan pemikiran yang dilakukan karakter Aida, berusaha mengerti setiap pilihan keputusan yang ia ambil dalam berusaha menyelamatkan keluarganya, serta setiap intensitas kepanikan yang ia rasakan ketika waktu yang diberikan padanya (serta orang-orang yang ia sayangi) terus berkurang. Penampilan Đuričić bahkan mampu menghujam hati dan pemikiran setiap mata yang memandang dengan memanfaatkan banyak ekspresi mata dan wajah serta penggunaan dialog yang amat minimal.

Žbanić sepertinya juga berupaya untuk menjadikan Quo Vadis, Aida? sebagai refleksi sosial dan politik dunia akan sejarah kelam di masa yang lalu sekaligus bayangan akan apa yang sedang atau akan terjadi di masa sekarang jika manusia tidak berhati-hati akan setiap keputusan yang mereka ambil. Lihat saja bagaimana Žbanić merangkai plot cerita tentang lemahnya Persatuan Bangsa-bangsa – yang harusnya bertugas untuk melindungi orang-orang Bosnia yang terancam hidupnya – ketika berhadapan dengan krisis. Atau bagaimana dunia yang sepertinya menutup mata tentang apa yang akan terjadi pada para penduduk Srebrenica. Mungkin tidak terbayangkan bagi dunia, setelah apa yang terjadi terhadap lebih dari enam juta penganut Yahudi Eropa selama Perang Dunia II melalui peristiwa Holokaus, sebuah peristiwa genosida lainnya terjadi lagi beberapa dekade setelahnya. Gampang memang untuk bertekad bahwa peristiwa buruk serupa tidak akan terjadi lagi di masa yang akan datang. Namun, di saat yang bersamaan, ketika sejumlah petunjuk tentang akan terulangnya insiden yang sama, banyak diantara kita lebih memilih untuk bungkan dan tidak turut campur selama peristiwa tersebut tidak berhubungan dengan diri kita atau orang-orang yang familiar dengan diri kita.

Quo Vadis, Aida? atau yang berarti Kemana Kau akan Pergi, Aida? merupakan judul yang dipilih oleh Žbanić berdasarkan adegan dalam paruh terakhir film ini yang menggambarkan pilihan hidup sang karakter utama setelah tragedi yang menimpa diri dan keluarganya. Dalam adegan tersebut, karakter Aida digambarkan memilih untuk kembali mengajar sekaligus tinggal di apartemen tempat keluarganya dahulu tinggal meskipun dengan resiko akan berbagai kenangan buruk akan kembali menghampirinya. Jelas sebuah gambaran dari Žbanić tentang sosok yang berusaha untuk tangguh dalam menghadapi masa lalu demi menguatkan diri untuk menjalani masa yang akan datang. Sebuah presentasi yang akan menghantui setiap orang bahkan jauh seusai mereka menyaksikannya.

Quo Vadis, Aida? screened as part of New Horizons International Film Festival 2020.

 

Quo Vadis, Aida? (2020)

Directed by Jasmila Žbanić Produced by Damir Ibrahimović, Jasmila Žbanić Written by Jasmila Žbanić Starring Jasna Đuričić, Izudin Bajrović, Boris Isaković, Johan Heldenbergh, Raymond Thiry, Boris Ler, Dino Bajrović, Emir Hadžihafizbegović, Edita Malovčić, Minka Muftić, Teun Luijkx, Joes Brauers, Reinout Bussemaker, Ermin Bravo, Sol Vinken, Micha Hulshof, Juda Goslinga, Ermin Sijamija, Alban Ukaj Music by Antoni Łazarkiewicz Cinematography Christine A. Maier Edited by Jarosław Kamiński Production company Deblokada Film/Digital Cube/Coop99 Filmproduktion/N279 Entertainment/Razor Filmproduktion/Extreme Emotions/Indie Prod/TordenfilmTRT Running time 102 minutes Country Bosnia and Herzegovina, Romania, Austria, Netherlands, Germany, Poland, France, Norway, Turkey Language Bosnian, English, Serbo-Croatian, Dutch

2 thoughts on “Review: Quo Vadis, Aida? (2020)”

Leave a Reply