Review: The Invisible Man (2020)


Di tahun 2017, menjelang perilisan versi buat ulang dari The Mummy (Alex Kurtzman, 2017) yang dibintangi Tom Cruise, Universal Pictures mengumumkan bahwa pihaknya akan merilis sejumlah film yang nantinya akan mengumpulkan dan mempersatukan versi teranyar dari film-film klasik bertema monster milik studio film tersebut seperti The Invisible Man, Wolf Man, Frankeinstein dan Dracula, untuk nantinya dikisahkan dalam satu semesta penceritaan yang disebut dengan Dark Universe. Universal Pictures bahkan telah mengumumkan keterlibatan sejumlah nama aktor papan atas Hollywood seperti Johnny Depp, Russell Crowe, dan Javier Bardem untuk membintangi film-film dalam semesta pengisahan tersebut. Sial, ketika The Mummy yang digadang menjadi pembuka bagi Dark Universe dirilis, film tersebut tidak hanya mendapatkan reaksi negatif dari para kritikus film namun juga gagal untuk menarik perhatian banyak penonton. Singkat cerita, kerugian finansial yang diperkirakan mencapai US$95 juta akibat kegagalan The Mummy membuat Universal Pictures lalu mengakhiri pengembangan lanjutan Dark Universe serta mengubah secara total strategi pengisahan dan perilisan film-film yang tadinya terkait dalam semesta penceritaan tersebut.

Awalnya akan menghadirkan Depp sebagai sang karakter utama, The Invisible Man lantas mendapatkan pembaharuan dengan perubahan sudut pandang cerita serta pengisahan yang tidak lagi terkait dengan film bertema serupa yang nantinya akan dirilis Universal Pictures di masa yang akan datang. Naskah cerita yang digarap oleh sutradara film ini, Leigh Whannell (Insidious: Chapter 3, 2015), memang masih menitikberatkan alur kisah pada novel berjudul sama yang ditulis oleh H. G. Wells. Namun, daripada memberikan fokus pada sang karakter yang menjadi judul film, Whannell menghadirkan garapan kontemporer pada naskah ceritanya dengan balutan tema kisah yang jelas terasa lebih modern. Hasilnya, The Invisible Man arahan Whannell tidak hanya mampu diracik menjadi sebuah sajian horor yang mampu memberikan ketegangan maksimal kepada para penontonnya. The Invisible Man, secara mengejutkan, berhasil berbicara kuat dan mendalam tentang isu kekerasan dan manipulasi – khususnya pada kaum perempuan – yang seringkali terjadi dalam setiap hubungan.

Fokus cerita The Invisible Man berada pada sosok Cecilia Kass (Elisabeth Moss) yang setelah bertahun-tahun berusaha mempertahankan hubungan rumah tangga dengan suaminya yang abusif, Adrian Griffin (Oliver Jackson-Cohen), kemudian dengan berani mengambil langkah untuk melarikan diri dan meninggalkan sang suami. Namun, penderitaan Cecilia Kass tidak lantas berhenti dengan begitu saja. Trauma yang mendalam akan kekerasan sikap sang suami membuat Cecilia Kass merasa tertekan dan ketakutan pada setiap orang yang berusaha mendekatinya. Bahkan, ketika adiknya, Emily Kass (Harriet Dyer), mengabarkan bahwa Adrian Griffin telah ditemukan tewas akibat bunuh diri, Cecilia Kass tidak dapat mempercayainya begitu saja dan merasa bahwa berita tersebut hanyalah sebuah taktik Adrain Griffin untuk dapat melacak keberadaan dirinya. Benar saja. Ketika banyak orang telah menganggap bahwa Adrian Griffin telah meninggal dunia, teror yang dahulu pernah dirasakan oleh Cecilia Kass ternyata kembali hadir dan seolah terus mengikuti kemanapun dirinya pergi.

Jangan tertipu dengan pengisahan film yang seolah hanya memberikan fokus cerita pada karakter Cecilia Kass. Bahkan dengan jumlah karakter yang tergolong minimalis, Whannell berhasil memberikan garapan yang cerdas dalam menghadirkan sejumlah konflik dengan intrik yang berlapis. Naskah cerita garapan Whannell tidak hanya sekedar ingin menghadirkan cerita tentang seorang karakter perempuan yang berusaha untuk melarikan diri dari sosok yang selama ini telah mengekang dan berlaku keras padanya. Lebih dalam, aliran kisah Whannell memberikan penggalian secara lugas akan gambaran sebuah hubungan yang abusif serta berbagai pengaruh fisik dan mental yang mendera sosok korban dalam hubungan tersebut. Whannell juga tidak hanya mendalami pengisahan dari sudut pandang yang monoton. Garapan cerita yang luas juga memberikan pandangan bagaimana para korban dari sebuah hubungan yang abusif seringkali kesulitan untuk memberikan atau mendapatkan rasa kepercayaan dari orang-orang yang berada di sekitarnya akibat trauma dari masa lalu mereka. Sebuah pengisahan yang kelam dan mampu dituturkan secara kuat.

Pengarahan yang diberikan Whannell sendiri juga menghasilkan tatanan cerita yang efektif dalam menghadirkan kesan horor dan ketegangan secara terus menerus. Lewat bantuan tata kamera dan sinematografi dari Stefan Duscio, Whannell seringkali menghadirkan gambar dengan sudut pandang lebar yang menampilkan banyak ruang kosong guna menumbuhkan rasa penasaran pada penonton tentang keberadaan sosok misterius yang menemani karakter Cecilia Kass di ruangan tersebut. Kamera juga bergerak secara dinamis dalam menunjang efektivitas pengambilan gambar tersebut – bergerak cepat menangkan tiap situasi dari sudut ke sudut sehingga mampu menjadikan penonton sebagai saksi mata bagi tiap momen yang sedang berlangsung. Tata musik arahan Benjamin Wallfisch juga menjadi elemen krusial dalam pembangunan atmosfer ketegangan dalam banyak adegan. Memang, dengan durasi pengisahan yang mencapai 124 menit, The Invisible Man sempat terasa mengendur intensitasnya pada akhir paruh kedua film akibat naskah cerita Whannell yang berusaha mempertahankan misteri cerita lebih lama dengan menghadirkan sebuah pelintiran kisah. Mengendur namun, jangan salah, Whannell tidak pernah membiarkan penceritaan The Invisible Man untuk tampil jenuh ataupun membosankan. Tidak ada bagian cerita yang terasa percuma dalam presentasi film ini.

Kemampuan The Invisible Man untuk membuat detak jantung setiap penontonnya berdegup lebih kencang – atau menahan nafas mereka secara konstan – jelas juga hadir akibat penampilan prima dari Moss. Layaknya penceritaan Whannell, penampilan Moss memahami benar akan luka psikologis yang dialami dan dirasakan oleh karakternya.  Dalam setiap lirikan mata maupun gerakan tubuhnya, Moss mampu menghadirkan elemen tersebut dan membuat penonton merasakan kekhawatiran maupun ketakutannya. Akting Moss dalam film ini akan mengingatkan penonton pada penampilan sempurna dari Toni Collette dalam Hereditary (Ari Aster, 2017) yang sekalipun berada dalam lingkungan pengisahan horor namun menampilkan akting yang jauh dari kesan horor atau berusaha menakut-nakuti para penontonnya tetapi tetap berhasil membuat setiap mata yang menyaksikannya merasakan teror yang begitu mendalam. Bukan sebuah penampilan akting yang mengejutkan dari Moss – Moss jelas adalah salah seorang aktris terbaik yang dimiliki Hollywood saat ini – namun jelas akan membuat nama Moss terus dibicarakan di sepanjang tahun ini.

Departemen akting The Invisible Man juga mendapatkan dukungan solid dari para pemeran lainnya. Peran-peran lain yang berada di sekitar karakter yang diperankan Moss memang tampil hanya sebagai pemeran pendukung bagi kisah yang benar-benar terpaku pada sosok karakter Cecilia Kass namun penampilan para pemerannya membuat karakter-karakter tersebut mampu meninggalkan kesan yang kuat terhadap alur pengisahan yang sedang berjalan. The Invisible Man adalah sebuah presentasi yang tereksekusi secara cerdas, elegan, dan jelas berhasil dalam memberikan sensasi kengerian yang efektif bagi setiap penonton. Excellent.

popcornpopcornpopcornpopcornpopcorn2

the-invisible-man-elisabeth-moss-movie-posterThe Invisible Man (2020)

Directed by Leigh Whannell Produced by Jason Blum, Kylie du Fresne Written by Leigh Whannell (screenplay), H. G. Wells (novel, The Invisible Man) Starring Elisabeth Moss, Aldis Hodge, Storm Reid, Harriet Dyer, Oliver Jackson-Cohen, Michael Dorman, Benedict Hardie, Amali Golden, Sam Smith, Zara Michaels, Anthony Brandon Wong, Myles Rice Music by Benjamin Wallfisch Cinematography Stefan Duscio Edited by Andy Canny Production company Blumhouse Productions/Nervous Tick/Goalpost Pictures Running time 124 minutes Country United States, Australia Language English

2 thoughts on “Review: The Invisible Man (2020)”

Leave a Reply