Review: Selesai (2021)


Merupakan film cerita panjang kedua yang diarahkan oleh Tompi (Pretty Boys, 2019) sekaligus menandai kali kedua kolaborasinya bersama dengan penulis naskah Imam Darto, Selesai adalah sebuah drama (drama komedi?) yang akan membawa para penontonnya ke sebuah perseteruan rumah tangga yang berlangsung antara karakter-karakternya. Linimasa pengisahannya bermula ketika Ayu (Ariel Tatum) yang berniat untuk menuntut cerai dan meninggalkan rumah yang ia tempati bersama suaminya, Broto (Gading Marten), setelah mengetahui bahwa sang suami kembali menjalin hubungan asmara dengan Anya (Anya Geraldine) yang sebenarnya telah menjadi sosok ketiga dalam pernikahan mereka dalam dua tahun terakhir. Langkah Ayu untuk keluar dari rumah terhenti ketika, di saat yang bersamaan, ibu mertuanya, Bu Sri (Marini), datang dan memilih untuk tinggal bersama anak dan menantunya guna menghabiskan masa isolasi wilayah yang sedang dilakukan pemerintah untuk mengendalikan penyebaran infeksi di masa pandemi. Ayu lantas memberikan sejumlah waktu pada Broto untuk dapat menjelaskan kondisi pernikahan mereka pada sang ibu sebelum ia benar-benar angkat kaki dari rumah tersebut.

Harus diakui, cukup sukar untuk mengetahui apa yang sebenarnya ingin disampaikan Tompi dan Darto lewat Selesai. Film ini sebenarnya dibangun berdasarkan sejumlah ide yang cukup menarik akan sebuah pernikahan. Ide akan dua sosok karakter yang terjebak dalam sebuah ikatan pernikahan yang kemudian diterjemahkan dengan sebuah narasi yang berlangsung hanya dalam satu latar lokasi pengisahan memang terdengar cukup menarik ketika dipaparkan diatas kertas. Namun, seperti halnya yang terjadi pada Pretty Boys, ide tersebut gagal untuk digali secara matang oleh Darto dan, sialnya, jalan crita kemudian secara membabi-buta berusaha untuk menyentuh berbagai isu ataupun warna penceritaan yang jelas mematikan fokus yang seharusnya ditempatkan pada aliran kisah yang berlangsung pada dua karakter utama.

Ngalor-ngidul-nya tata pengisahan bahkan telah dapat dirasakan semenjak beberapa menit awal film ini berkisah. Ketika Selesai mulai untuk memperkenalkan konflik yang terjadi pada pernikahan antara karakter Ayu dan Broto – yang, tentu saja, bernuansa drama bernada serius, film ini kemudian memasukkan karakter Yani (Tika Panggabean), karakter pembantu rumah tangga yang digambarkan tidak pernah melewatkan satu momen pun untuk mengeluarkan lontaran-lontaran yang sepertinya diniatkan Darto untuk memberikan sentuhan komedi pada jalan cerita film. Apakah dosa besar untuk menghadirkan deretan guyonan dalam alur cerita yang berkisah tentang tragedi akan sebuah jalinan pernikahan? Tentu tidak. Namun ketika Darto memilih untuk terus menyelipkan kehadiran karakter Yani – yang, sekali lagi, tidak pernah melewatkan satu momen pun untuk mengeluarkan lontaran-lontaran konyol – bahkan pada saat momen-momen drama sedang terbentuk, Selesai lantas berakhir sebagai presentasi yang gagal untuk membangun rasa empati terhadap karakter-karakter yang berada dalam pengisahan.

Buruknya lagi, bayangan akan kehadiran guyonan yang mampu untuk menghadirkan senyum atau bahkan tawa di wajah para penonton sepertinya hanya ada di kepala Darto. Tak satupun guyonan yang hadir dalam penuturan dialog film ini berhasil tampil jenaka. Tidak dari celotehan yang diujarkan oleh karakter Yani, tidak dari kehadiran karakter Bambang (Darto), tidak juga dari sikap yang dibentuk untuk karakter Bu Sri – dimana Marini terlihat tidak nyaman dengan sejumlah dialog bernada seksual yang diberikan pada karakternya. Hal ini masih ditambah dengan keberadaan plot sampingan tentang hubungan romansa antara karakter Yani dan Bambang yang entah apa kegunaan kehadirannya selain untuk menambal durasi yang terasa sekali berjalan hampa akibat kekurangan materi penceritaan. Lemahnya tata penulisan naskah Selesai jelas memberikan andil yang sangat kuat pada berantakannya ritme penceritaan film ini.

Problematika terbesar dari alur pengisahan Selesai sendiri hadir dari cara film ini menggambarkan serta mengembangkan karakterisasi para tokohnya. Sulit untuk memungkiri kehadiran kesan seksisme dan misoginis dari penuturan cerita ketika karakter-karakter perempuan dalam film ini secara keseluruhan nyaris digambarkan dari sudut pandang kaum lelaki yang menganggap dirinya lebih superior dan tidak pernah salah. Lihat saja di bagian pertengahan film ketika dikisahkan bahwa karakter Ayu juga terlibat dalam sebuah perselingkuhan. Jalan cerita yang tadinya berfokus pada karakter Ayu yang berusaha melepaskan diri dari karakter Broto yang terus menerus mengkhianati dirinya kemudian berbalik menjadi ajang penunjukan karakter Ayu sebagai sosok peselingkuh. Broto bahkan terus berusaha menyudutkan karakter Ayu yang dilakukan dengan melakukan penyadapan telepon hingga kekerasan verbal dan fisik demi “membenarkan” tindakan perselingkuhannya. Dua karakter yang sama-sama melakukan tindakan perselingkuhan namun Selesai terus menitikberatkan bahwa karakter perempuan adalah sosok yang paling salah dalam kejadian tersebut.

Tompi dan Darto memang dapat saja beralasan bahwa apa yang dihadirkannya adalah gambaran akan sebuah kenyataan yang dapat saja terjadi di kehidupan. Dan Selesai jelas juga tidak memiliki kewajiban untuk memberikan “pesan moral” akan satu nilai yang benar atau yang salah. Namun, nafas “kelaki-lakian” yang begitu kental dalam pengisahan film ini juga tidak pelak memberikan kesan glorifikasi atas sikap-sikap yang ditampilkan tersebut. Hal sama yang juga terasa ketika karakter Anya hanya dijadikan sebagai sosok karakter penggoda berbekal paras cantik dan tubuh moleknya atau ketika karakter Ayu dijadikan fantasi bagi karakter Bambang yang tidak lagi mampu menahan nafsu seksualnya.

Pilihan untuk menghadirkan satu permasalahan baru tentang masalah kejiwaan untuk menuntaskan misteri dari konflik yang telah dibangun semenjak awal cerita juga terasa janggal. Tanpa adanya penyokong kisah yang jelas, satu karakter lantas dideklarasikan mengidap gangguan kejiwaan – yang lantas semakin menyudutkan keberadaan karakter tersebut. Alur ini kemudian digunakan Tompi dan Darto untuk menyelesaikan seluruh narasi dari film mereka. Sebuah langkah terburu-buru dan berakhir menggampangkan masalah begitu saja.

Jika saja didukung dengan kualitas penataan cerita yang jauh lebih baik, Selesai mungkin dapat menghadirkan kesan yang lebih kuat dan mendalam akan konflik yang coba dipaparkannya. Meskipun jauh dari kesan istimewa, penampilan-penampilan akting yang hadir dalam film ini jelas tidak mengecewakan. Pilihan gambar yang didominasi kesan kekuningan memang cukup aneh dan mengganggu. Meskipun begitu, seperti yang ditunjukkannya pada debut penyutradaraan filmnya terdahulu, Tompi masih dapat memberikan momen-momen kuat yang dapat memamerkan insting akan pengarahan ceritanya. Sayangnya, tanpa dukungan kualitas cerita yang memadai, Selesai kemudian terpuruk dalam presentasinya dan bahkan berakhir dengan meninggalkan cita rasa yang kurang mengenakkan.

Selesai (2021)

Directed by Tompi Produced by Nesha Aurea Hanzdima Written by Imam Darto Starring Gading Marten, Ariel Tatum, Anya Geraldine, Marini, Tika Panggabean, Imam Darto, Farish Nahdi Music by Ricky Lionardi Cinematography Wirawan Sanjaya Edited by Cesa David Luckmansyah, Apriady Fathullah Sikumbang Production company Beyoutiful Pictures Running time 83 minutes Country Indonesia Language Indonesian

2 thoughts on “Review: Selesai (2021)”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s