Review: First Cow (2019)


Diadaptasi dari novel The Half Life yang ditulis oleh Jonathan Raymond, First Cow memiliki latar belakang waktu pengisahan di tahun 1820 dan bercerita tentang persahabatan antara seorang juru masak bernama Otis Figowitz atau yang lebih sering dipanggil dengan sebutan Cookie (John Magaro) dengan seorang imigran asal Tiongkok bernama King-Lu (Orion Lee). Mengetahui bahwa sahabatnya memiliki latar belakang pekerjaan sebagai seorang asisten pembuat roti, King-Lu lalu mengusulkan agar Cookie memasak kue agar mereka dapat menjualnya di pasar. Untuk memperkaya rasa kue yang dibuat oleh Cookie, kedua pria tersebut secara sembunyi-sembunyi memeras susu dari sapi yang dimiliki oleh seorang pria kaya yang dikenal dengan sebutan Chief Factor (Toby Jones) dan menggunakannya dalam olahan kue tersebut. Berhasil! Kue buatan Cookie dengan segera laris terjual ketika dijajakan di pasar serta menjadi bahan perbincangan banyak pihak karena keenakan rasanya. Kepopuleran tersebut dengan segera menambah pundi-pundi uang yang dimiliki Cookie dan King-Lu serta, di saat yang bersamaan, juga memberikan ancaman pada nyawa keduanya karena mereka harus terus mencuri susu dari satu-satunya sapi yang berada di wilayah tempat tinggal mereka.

Mereka yang telah khatam akan film-film arahan Kelly Reichardt seperti Wendy and Lucy (2008), Meek’s Cutoff (2010), atau Certain Women (2016) jelas akan cukup tahu “tantangan” narasi macam apa yang akan mereka dapatkan ketika menyaksikan First Cow. Tidak banyak kandungan dialog dalam film ini karena Reichardt, seperti biasa, lebih gemar untuk bercerita lewat tiap tindakan yang diambil oleh karakter-karakter dalam filmnya atau melalui gambar-gambar yang dihadirkan oleh barisan adegan film ini. Tenang, senyap, namun memiliki kemampuan untuk bertutur secara mendalam dan seksama. Bahkan, melampaui batasan cerita yang berlatar waktu di abad 19, First Cow dengan lugas berbincang tentang perang kelas yang kerapkali ditemukan dalam sistem ekonomi kapitalisme serta sangat, sangat akrab bagi kehidupan sosial di era modern saat ini. Bukan sebuah hal baru, tentu saja, mengingat karakter-karakter yang bertarung melawan kapitalisme tidak pernah luput dikisahkan dalam film-film yang ia sutradarai sebelumnya.

Tema cerita mengenai kaum pekerja yang harus berjuang keras untuk bertahan – bahkan dengan memanfaatkan berbagai kelemahan kaum borjuis – yang dipaparkan oleh naskah cerita garapan Reichardt dan Raymond memiliki nilai-nilai yang familiar dengan pengisahan Parasite (Bong Joon-ho, 2019) atau Hustlers (Lorene Scafaria, 2019). Masih ingat dengan konflik antara keluarga Kim dengan keluarga Park atau cerita tentang sekumpulan penari erotis yang membodohi sejumlah pelanggan kayanya? Karakter Cookie dan King-Lu juga melakukan hal yang sama terhadap karakter Chief Factor – tentu saja tanpa iringan adegan pesta ulang tahun berdarah ataupun iringan lagu Gimme More milik Britney Spears. First Cow berkembang secara perlahan. Satu jam pertama durasi pengisahan film ini bahkan dihabiskan untuk perbincagan tentang mimpi dan harapan yang terjalin antara kedua karakter utamanya. Reichardt baru memberikan dorongan ritme pengisahan yang terasa normal pada jam kedua dari presentasi film ini dimana deretan konflik yang harus dihadapi dan diselesaikan oleh kedua karakter utama mulai memberikan aksi serta reaksi pada linimasa penceritaan. Perlahan, namun tidak pernah menimbulkan kesan monoton dan membosankan.

Konflik yang dihadirkan dalam 121 menit durasi penceritaan First Cow memang begitu simpel. Namun, penataan ritme cerita yang lamban serta perlahan berhasil memberikan ruang pengembangan yang luas dan menjadikannya tampil kokoh. Dengan sokongan akting yang solid dari Magaro dan Lee, jalinan kisah persahabatan antara dua karakter yang mereka perankan akan mampu menghadirkan ikatan emosional yang kuat kepada penonton. Cukup mudah untuk menaruh simpati pada usaha keras yang dilakukan keduanya dalam bertahan hidup terlepas dari berbagai pertanyaan moral mengenai benar atau tidaknya langkah yang mereka ambil – lagi, efek yang selaras dengan efek pengisahan yang dihadirkan Parasite atau Hustlers. Keberhasilan Reichardt untuk menyajikan dua sosok karakter dengan pengembangan yang utuh juga menjadi elemen krusial bagi sejumlah momen menegangkan yang hadir ketika kedua karakter utama tersebut terlibat dalam belitan konflik yang rumit.

Kualitas produksi yang dihadirkan Reichardt dalam First Cow juga layak mendapatkan apresiasi tersendiri berkat kemampuannya dalam menghantarkan siapapun yang menyaksikannya ke abad 19 yang menghanyutkan. Lewat gambar-gambar pilihan sinematografer Christopher Blauvelt yang memiliki pewarnaan yang khas, First Cow dapat menonjolkan nuansa kesendirian maupun kerasnya kehidupan di era dimana teknologi bahkan masih belum menjadi sebuah mimpi. Nuansa musik folk yang dihadirkan oleh komposer William Tyler juga menjadi pengiring yang tepat bagi tiap adegan film guna menghasilkan sentuhan emosional yang semakin erat. First Cow, secara keseluruhan, adalah sebuah penuturan cerdas yang dihadirkan secara begitu bersahaja yang menjadikannya sebagai salah satu presentasi film terbaik untuk tahun ini.

 

First Cow (2019)

Directed by Kelly Reichardt Produced by Neil Kopp, Vincent Savino, Anish Savjani Written by Kelly Reichardt, Jonathan Raymond (screenplay), Jonathan Raymond (novel, The Half Life) Starring John Magaro, Orion Lee, René Auberjonois, Toby Jones, Ewen Bremner, Scott Shepherd, Gary Farmer, Lily Gladstone, Alia Shawkat, Dylan Smith, Stephen Malkmus, Mitchell Saddleback, Jared Kasowski Music by William Tyler Cinematography Christopher Blauvelt Edited by Kelly Reichardt Production companies FilmScience/IAC Films Running time 121 minutes Country United States Language English

2 thoughts on “Review: First Cow (2019)”

Leave a Reply