Review: Ambu (2019)


Merupakan film yang menjadi debut penyutradaraan bagi Farid Dermawan, Ambu berkisah mengenai hubungan antara ibu dan anak yang terjalin antara tiga karakter dari tiga generasi yang berbeda. Dengan latar belakang kehidupan Orang Baduy di Provinsi Banten yang terbiasa mengisolasi diri mereka dari dunia luar, jalan cerita Ambu dimulai ketika hubungan antara Fatma (Laudya Chynthia Bella) dan ibunya, Misnah (Widyawati), merenggang akibat ketidaksetujuan sang ibu akan jalinan asmara yang dibangun Fatma dengan seorang pemuda bernama Nico (Baim Wong) yang berasal dari Jakarta. Fatma lantas memilih untuk meninggalkan sang ibu, menikah dengan Nico dan memulai hidup barunya di Jakarta. Kini, hampir dua puluh tahun semenjak ia meninggalkan sang ibu dan setelah rumah tangganya dengan Nico berakhir, Fatma memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya dengan membawa puteri tunggalnya yang telah beranjak remaja, Nona (Luthesha). Tidak mengejutkan, kedatangan Fatma dan Nona disambut dingin oleh Misnah. Fatma tidak menyerah begitu saja. Ia ingin Nona untuk tidak mengulangi kesalahannya dan berharap agar ibunya mau menerima kehadiran sang cucu dalam kehidupannya.

Sebenarnya, Ambu menyimpan potensi yang begitu besar untuk menjadi sebuah presentasi drama yang tidak hanya kuat namun juga mampu untuk menyentuh. Hal tersebut dapat begitu dirasakan dari performa akting yang diberikan oleh tiga pemeran utamanya, Bella, Widyawati, dan Luthesha. Bella dan Widyawati sukses menghadirkan dua sisi karakter ibu yang berasal dari dua masa yang berbeda – jika karakter ibu yang diperankan oleh Widyawati adalah sosok tradisional yang memendam rasa amarah dan kesal terhadap sang puteri maka karakter ibu yang diperankan oleh Bella adalah sosok modern dengan latar belakang kehidupan tradisional dengan beban rasa penyesalan akibat kesalahan yang ia lakukan di masa lalu. Di saat yang bersamaan, karakter Fatma dan Misnah juga mampu digariskan sebagai sosok ibu yang penuh kasih yang jelas masih memiliki ruang besar di hati mereka guna kehadiran sebuah harapan akan masa depan yang lebih bahagia.

Meskipun tampil berhadapan dengan dua sosok aktris yang memiliki pengalaman akting lebih banyak, Lutesha sukses menghadirkan penampilan akting terbaiknya yang cukup berimbang. Sajian karakter yang memiliki lebih banyak garapan emosional juga menjadi sokongan bagi penampilan Lutesha untuk seringkali tampil mencuri perhatian. Bella, Widyawati, dan Lutesha juga hadir dengan chemistry yang meyakinkan sebagai tiga orang wanita dengan hubungan darah dan kerumitan akan hubungan dari masa lalu maupun masa sekarang. Ambu benar-benar tampil hidup berkat penampilan dinamis ketiganya. Penampilan apik yang diberikan Endhita – yang memberikan banyak sentuhan hiburan bagi linimasa pengisahan Ambu – dan Andri Mashadi – yang menjadi sosok love interest bagi karakter yang diperankan Lutesha – juga penampilan singkat nan menawan dari Wong semakin memperkuat kualitas cemerlang dari departemen akting Ambu.

Cukup disayangkan jika kemudian kualitas prima penampilan akting para pemeran film ini harus tersia-siakan dalam kualitas penceritaan film yang lumayan dangkal. Dengan naskah cerita yang digarap oleh Titien Wattimena (Dilan 1991, 2019) – dan mungkin merupakan salah satu naskah cerita terlemah yang pernah dihasilkannya, Ambu menghadirkan pengolahan konflik dan karakter yang terasa setengah matang. Durasi penceritaan sepanjang 118 menit yang dimiliki oleh film ini nyaris hanya diisi dengan konflik yang tak berkembang antara karakter Fatma dengan Misnah atau antara Fatma dengan Nona hingga hubungan bernuansa romansa yang terasa dangkal antara karakter Nona dengan Jaya yang diperankan oleh Mashadi. Berputar dari dan ke titik-titik kisah yang sama sebelum akhirnya mulai terasa bergerak untuk menghadirkan penyesaian konflik pada paruh ketiga film. Jelas tampil sebagai sajian cerita yang hadir monoton.

Wattimena juga tidak dapat menghindarkan dirinya dalam “mengeksplotasi” konflik tentang sebuah penyakit yang dikisahkan mendera salah satu karakter. Paparan tentang penyakit ini menjadi fokus pada paruh kedua hingga penghujung film dan, sayangnya, tidak pernah mampu dikelola dengan tanggung jawab medis yang akurat – suatu hal yang bahkan akan dapat dirasakan mereka yang tidak begitu familiar dengan dunia medis. Kehadiran konflik tentang penyakit tersebut lantas dimanfaatkan oleh Wattimena dan Dermawan untuk menghadirkan “momen-momen menyentuh” pada penonton. Beberapa momen tersebut harus diakui tereksekusi dengan baik. Namun, dengan ketiadaan garapan pengisahan yang lebih kokoh, momen-momen tersebut secara perlahan mulai terasa sebagai pengulangan demi pengulangan yang jelas membuat Ambu gagal menghasilkan kesan yang lebih mendalam. Kualitas produksi yang dihadirkan Dermawan untuk film arahan perdananya tampil tidak mengecewakan. Seandainya alur cerita garapan Wattimena mampu hadir dengan pengisahan yang lebih berkelas, Ambu mungkin akan sukses tampil sebagai drama yang kuat. [C-]

ambu-film-indonesia-laudya-chynthia-bella-widyawati-movie-posterAmbu (2019)

Directed by Farid Dermawan Produced by Farid Dermawan, Titien Wattimena Written by Titien Wattimena Starring Laudya Cynthia Bella, Widyawati, Lutesha, Baim Wong, Endhita, Andri Mashadi Music by Andi Rianto Cinematography Yudi Datau Edited by Wawan I. Wibowo, Lilik Subagyo Production company Skytree Pictures Running time 118 minutes Country Indonesia Language Indonesian

2 thoughts on “Review: Ambu (2019)”

  1. Dari trailernya, sangat mengganggu pengucapan dialog dengan basa Sunda nya. Engga natural dan kaku. Seenggaknya buat orang Sunda yang nonton. Tapi entah kalo full movie nya. Tapi karena trailernya, jadi skip dulu aja. :p

Leave a Reply