Review: Alice in Wonderland (2010)


Cerita populer Alice in Wonderland pertama kali diperkenalkan pada dunia dalam bentuk novel oleh novelis asal Inggris, Lewis Carroll, pada tahun 1865. Karya-karya Carroll pada zamannya memang dikenal sangat berani, karena kecenderungan Carroll untuk bermain di dalam kisah fantasi yang seringkali memainkan logika pembacanya, termasuk untuk kisah yang Carroll tulis di Alice’s Adventure in Wonderland (judul asli Alice in Wonderland).

Namun, justru karena permainan fantasi yang dilengkapi dengan karakter-karakter lucu (walaupun seringkali memiliki latar belakang gelap) itulah, karya Carroll menjadi dapat dinikmati oleh seluruh kalangan, baik kalangan anak-anak maupun kalangan dewasa.

Alice in Wonderland sendiri adalah salah satu karya Carroll yang sangat populer di dunia. Begitu populernya, sudah tidak terhitung lagi berapa kali novel ini telah diadaptasi ke berbagai bentuk media. Untuk versi karya Tim Burton ini sendiri, Burton bekerjasama denganWalt Disney Pictures dan memanfaatkan teknologi Disney 3D untuk lebih menghidupkan berbagai karakter dan suasana yang ada di dalam jalan cerita.

Naskah film ini sendiri diadaptasi oleh penulis naskah veteran Walt Disney, Linda Woolverton (yang juga menulis naskah Beauty and the Beast, The Lion King dan Mulan), berdasarkan novel Lewis Carroll, Alice’s Adventure in Wonderland, dan novel sekuelnya, Through the Looking-Glass.

Berkisah mengenai Alice Kingsley (Mia Wasikowska) yang di kisah ini diceritakan bukanlah seorang gadis cilik lagi. Namun merupakan seorang gadis remaja berusia 19 tahun yang baru saja ditinggal mati oleh sang ayah. Tanpa menyadari bahwa dirinya dijebak oleh sang ibu, Helen (Lindsay Duncan) dan sang kakak, Margaret Manchester (Jemma Powell),  bahwa ia akan dibawa ke sebuah pesta pertunangan dirinya, Alice akhirnya dilamar oleh seorang jutawan, Lord Hamish Ascott (Leo Bill). Alice akhirnya melarikan diri dari pesta pertunangan tersebut. Dalam pelariannya, ia melihat seekor kelinci putih yang memakai jas dan sebuah jam (The White Rabbit – Michael Sheen), dan mengikutinya. Tanpa sadar, Alice terjatuh ke dalam sebuah lubang yang berakhir sebuah tempat bernama Underland (namun lebih populer sebagai Wonderland, bagi para penghuninya).

Ternyata, Alice pernah  mengunjungi tempat ini, sepuluh tahun sebelumnya, namun ingatannya akan tempat ini benar-benar sudah hilang. Di Wonderland, ia kembali bertemu dengan The Mad Hatter (Johnny Depp), yang meminta pertolongannya untuk membantu White Queen (Anna Hathaway) menyingkirkan Red Queen (Helena Bonham Carter) yang baru saja merebut tahta dari tangan White Queen. Mad Hatter juga memberitahu Alice bahwa hanya dialah yang mampu membunuh The Jabberwock (Christopher Lee), seekor naga milik Red Queen yang menakuti seluruh penduduk Wonderland.

Sebagai seorang sutradara, Tim Burton selama ini memang dikenal sebagai seorang yang ahli dalam menggarap gambar-gambar yang unik dan menakjubkan serta selalu menerapkan beberapa selipan humor yang mungkin akan sedikit terasa aneh bagi beberapa orang. Di lain pihak, Lewis Carroll, lewat karya-karyanya, selalu dikenal sebagai seorang novelis yang mampu menggambarkan suatu daya khayal tingkat tinggi lewat kata-kata yang ia tuliskan. Wajar saja, jika dengan kemampuan yang ditunjukkan Burton selama ini, ia dianggap akan dapat mewujudkan daya khayal Carroll tersebut secara akurat lewat penggunaan teknologi visual tercanggih yang ada saat ini.

Dan harus diakui, Burton berhasil melakukannya. Wonderland di tangan Burton adalah sebuah alam mimpi dimana segala sesuatu hal yang mungkin tidak pernah dibayangkan seseorang dapat terwujud, sama seperti halnya visi Wonderland yang ingin disampaikan oleh Carroll. Tidak seperti ehmmm… Pandora, Wonderland dipenuhi oleh berbagai warna dan diisi oleh banyak karakter unik yang akan semakin membuat para penontonnya jatuh hati pada dunia mimpi ini.

Pemanfaatan teknologi 3D sendiri oleh Burton sepertinya hanya menjadi sebuah gimmick di film ini. Beberapa adegan memang sangat terbantu oleh teknologi 3D tersebut, namun kebanyakan, pemanfaatan teknologi 3D di Alice in Wonderland tidaklah semaksimal apa yang dilakukan James Cameron lewat Avatar. Secara keseluruhan, teknologi 3D cukup membantu penonton untuk merasakan tingkatan keindahan yang lebih dalam daripada ketika film ini disaksikan dalam bentuk 2D, walau hal tersebut tidaklah begitu mengganggu.

Tidak seperti pencapaian visualnya, karya-karya Tim Burton memang seringkali dipenuhi oleh beberapa titik dimana jalan cerita film-filmnya terasa mengalami sedikit perpanjangan tanpa memberikan sesuatu yang berarti. Hal ini tidak terkecuali pada apa yang terjadi di Alice in Wonderland. Jalan cerita film ini berjalan cukup memikat semenjak film ini mulai berputar. Ditambah dengan iringan musik karya Danny Elfman, penonton akan dapat begitu menikmati jalan cerita dan ketegangan awal yang ditawarkan. Namun, ketika Alice mulai menjelajahi Wonderland, disitu pula tempo film ini sepertinya berjalan di tempat, terasa kekurangan konflik serta hanya berputar-putar di permasalahan yang sama. Untungnya, naskah cerita kemudian berjalan lagi seiring konflik akhir ketika White Queen akan segera berhadapan dengan Red Queen mulai bergulir.

Walau begitu, Burton beruntung ia memiliki bakat dalam memilih jajaran talenta yang pas untuk menghidupkan filmnya. Dipenuhi dengan nama-nama yang telah dikenal memiliki kualitas akting tingkat atas, para jajaran pemeran Alice in Wonderland berhasil menghidupkan setiap karakter unik yang ada di dalam jalan cerita secara komikal. Helena Bonham Carter akan membuat setiap orang terpukau dengan caranya menginterprestasi Red Queen dengan teriakan-teriakan khasnya. Anne Hathaway juga melakukan suatu hal yang unik lewat caranya menggambarkan White Queen: seorang wanita cantik dan jelita seperti yang ia pernah gambarkan di The Devil Wears Prada namun memiliki kepribadian gelap seperti yang pernah ia gambarkan di Rachel Getting Married. Johnny Depp, seperti biasa, akan selalu mampu menangani karakter komikal seperti The Mad Hatter. Aktris Mia Wasikowska, yang berperan sebagai Alice dan memiliki jam terbang lebih rendah daripada aktor dan aktris senior lainnya, ternyata juga mampu memberikan padanan akting yang sesuai dan tidak mengecewakan. Pemeran pendukung lainnya, yang kebanyakan hanya menampilkan talenta suara mereka, juga mendukung agar film ini menjadi sangat dapat dinikmati dan menghibur.

Mungkin, tidak akan ada seorangpun di dunia ini yang akan mampu mambawa visi Lewis Carroll lewat cerita Alice in Wonderland secara keseluruhan. Ketika beberapa orang sutradara mencoba menyerap penuh cerita yang diberikan, mereka sepertinya terhalang akan visualisasinya. Ketika mencoba menampilkan visualisasi yang berlebih, sisi cerita malah sedikit kedodoran. Dan apa yang telah diberikan Burton, walau terasa sedikit lemah di naskah cerita, namun secara keseluruhan Burton berhasil membuat Alice in Wonderland sebagai sebuah film yang sangat menghibur. Tidak hanya dari sisi visual, namun juga dari penampilan para pemerannya.

Rating: 4 / 5

Alice in Wonderland (Roth Films/The Zanuck Company/Team Todd/Walt Disney Pictures, 2010)

Alice in Wonderland (2010)

Directed by Tim Burton Produced by Richard D. Zanuck, Joe Roth, Suzanne Todd, Jennifer Todd Written by Linda Woolverton (screenplay), Lewis Carroll (book) Starring Mia Wasikowska, Johnny Depp, Anne Hathaway, Helena Bonham Carter, Crispin Glover, Stephen Fry, Alan Rickman, Michael Sheen, Christopher Lee, Timothy Spall, Michael Gough, Barbara Windsor, Paul Whitehouse Music by Danny Elfman Cinematography Dariusz Wolski Editing by Chris Lebenzon Studio Roth Films/The Zanuck Company/Team Todd Distributed by Walt Disney Pictures Release date(s) March 5, 2010 Country United States

k untuk kisah yang Carroll tulis di Alice’s Adventure in Wonderland (judul asli Alice in Wonderland).Namun, justru karena permainan fantasi yang dilengkapi dengan karakter-karakter lucu (walaupun seringkali memiliki latar belakang gelap) itulah, karya Carroll menjadi dapat dinikmati oleh seluruh kalangan, baik kalangan anak-anak maupun kalangan dewasa.

8 thoughts on “Review: Alice in Wonderland (2010)”

  1. yg membuat saya kepengen nonton alice cuma karena warna2nya itu.. dan ternyata memang memuaskan.. baiklah, akan segera ditonton! 😀 jadi lebih baik 2D atau 3D saja nih kk, btw? 😀

    1. Kalau mbak Kania kepengen nonton film ini karena visualisasinya, mungkin lebih bagus untuk langsung nonton 3D-nya. Lebih terasa aja visualnya.

  2. Saya nonton film ini karena pingin liat Johnny Depp-nya hwahaha.
    versi 3Dnya menurut saya bagus kok (tapi tentu tidak seoke Avatar, hiyaaaa:D)

    Dan saya suka lagu penutupnya pas credit title.

  3. Saya sudah nonton versi 3-D nya, ternyata warnanya agak turun dibanding 2-D nya. Cenderung lebih gelap. Tapi saya nontonya di XXI, belum dengar yg dr penonton Blitz, mgkn di sana gk turun. Saya sih menyarankan nonton yg 2-D saja, warna2nya menarik bgt soalnya. Sayang kalau dilewatkan.

  4. Alice in Wonderland dibawah ekpektasi saya sih, pertama mungkin sayanya yang agak tolol, bela2in nonton langsung 3d and wtf…butuh waktu mencerna omongan dengan british accent itu (the best part yang bikin melongok adalah gumanan Depp yang gak saya ngerti)
    and that’s 3D effect, not as good as i imagine, saya nonton di blitz tapi tetep kok gak bagus2 amat, mungkin karna actionnya juga sedikit ya,
    Kritik Cameron benar sekali, pemindahan format 2D ke 3D nggak akan menghasilkan gambar yang sebagus dengan penggunaan kamera 3D langsung
    it;s just stunning secara visual tetapi dari segi cerita, akting (kecuali untuk duo ratu yang lucu dan lebay itu), film ini kualitasnya dibawah film2 Burton yang dulu
    sama seperti komen yang lain, disarankan lebih baik yang 2D aja 😀

Leave a Reply