Review: Saint Maud (2019)


Saint Maud, yang menjadi debut pengarahan serta penulisan naskah cerita film layar lebar bagi Rose Glass, berkisah mengenai dua orang karakter perempuan yang sama-sama sedang bergelut dengan rasa duka. Maud (Morfydd Clark) adalah seorang mantan perawat di sebuah rumah sakit yang masih merasa bersalah akibat kegagalannya dalam menyelamatkan seorang pasien. Setelah kejadian traumatis tersebut, Maud meninggalkan pekerjaannya, menghabiskan waktu untuk mendekatkan dirinya pada sosok Tuhan, dan kemudian memilih bekerja sebagai seorang perawat pribadi. Lewat pekerjaan barunya tersebut, Maud bertemu dengan Amanda Kohl (Jennifer Ehle), seorang mantan penari dan koreografer terkenal yang kini hanya dapat terbaring lemah karena penyakit kanker yang dideritanya. Berbeda dengan Maud, duka yang dirasakan akibat penyakit yang ia derita membuat Amanda Kohl menjadi sosok yang sinis akan segala bentuk kekuatan spritual. Pertemuan tersebut meyakinkan Maud bahwa ia telah ditunjuk oleh Tuhan untuk menyelamatkan jiwa Amanda Kohl sebelum kematiannya menjelang.

Sulit untuk tidak memberikan perbandingan antara Saint Maud dengan sejumlah film horor modern yang dirilis dalam beberapa tahun terakhir oleh nama-nama seperti Ari Aster, Jordan Peele, atau Robert Eggers. Perbandingan tersebut bukan hanya datang karena Glass juga mengeksekusi filmnya sebagai sebuah horor yang menekankan atmosfer kelam nan menyeramkan daripada kehadiran adegan-adegan penuh darah ataupun kejutan. Dengan durasi pengisahan sepanjang 83 menit, Glass tidak pernah menyia-nyiakan waktu untuk mengembangkan konflik maupun karakter yang tampil dalam linimasa pengisahan filmnya. Secara perlahan, Glass membuka tiap lapisan kisah tentang trauma di masa lalu yang dialami oleh sang karakter utama dan bagaimana trauma tersebut lantas memberikan pengaruh kental pada keyakinannya akan sosok Tuhan. Tidak mengherankan jika Saint Maud mampu bekerja sebagai sebuah horor yang mencekam sekaligus drama akan rasa trauma yang terasa begitu tragis.

Misteri yang dipaparkan dalam Saint Maud juga terjaga dengan baik. Film ini secara lihai terus membuat penonton mempertanyakan kondisi sang karakter utama, apakah dia benar-benar merupakan sosok yang “terlahir kembali” berkat keimanannya yang begitu kuat, ataukah ia sebenarnya sedang dirasuki oleh sosok jahat, atau semua pemikirannya hanya terjadi dalam pemikirannya saja. Situasi ini terus mengalir dengan Glass secara efektif memanfaatkan berbagai selipan simbol tentang rasa kesendirian, kesepian, hingga fanatisme akan ketuhanan. Saint Maud juga tidak hanya memberikan fokus pada sosok karakter Maud seorang. Karakter Amanda Kohl – dan segala kegoyahan pemikirannya berkat kondisinya yang sedang sekarat – juga diberikan ruang pengisahan yang luas. Interaksi kedua karakter ini juga yang kemudian membuat Saint Maud semakin intens dalam berkisah. Kedua karakter saling memberikan pengaruh namun, lewat berbagai petunjuk cerita yang diberikan Glass, penonton dapat merasakan bahwa suatu hal yang fatal telah menunggu di akhir garis takdir kedua karakter.

Saint Maud memang tidak mengandalkan adegan-adegan penuh darah atau kejutan-kejutan dalam menonjolkan identitas horor penceritaannya. Meskipun begitu, bukan berarti Glass tidak mampu menyiapkan sejumlah adegan yang akan mampu mengganggu pemikiran para penonton filmnya. Seiring dengan meningkatnya intensitas cerita, Saint Maud tampil dengan ketegangan yang semakin menguat. Adegan yang melibatkan perseteruan antara kedua karakter utama di paruh ketiga film serta adegan akhir yang menjadi penutup film – yang sekaligus cukup menjelaskan mengapa film ini diberi judul Saint Maud –  dieksekusi secara lugas untuk menjadi momen yang akan cukup sukar untuk dilupakan setiap mata yang menyaksikannya. Kualitas produksi film ini juga tampil kuat dalam menunjang kualitas cerita maupun atmosfer kelam dan mencekam yang ingin dihasilkan oleh Glass. Gambar-gambar garapan sinematografer Ben Fordesman mampu terus mengisi ruang cerita dengan kekelaman suasana hati yang dirasakan oleh karakter Maud. Begitu pula dengan iringan musik karya Adam Janota Bzowski yang dapat menghadirkan kesan teror pada banyak adegan tanpa pernah terasa berlebihan.

Saint Maud mungkin tidak akan memiliki kapasitas pengisahan seperti ini tanpa penampilan akting dari Clark. Merupakan penampilan akting perdananya sebagai pemeran utama setelah tampil dalam film-film seperti Pride and Prejudice and Zombies (Burr Steers, 2016), Crawl (Alexandre Aja, 2019), dan The Personal History of David Copperfield (Armando Ianucci, 2019), Clark hadir memikat dalam tiap adegan penceritaan Saint Maud. Kemampuan Clark dalam menghidupkan sosok penyendiri yang stabilitas kejiwaannya digambarkan layak untuk dipertanyakan membuat karakter Maud dengan mudah menyerap simpati sekaligus rasa takut dari siapapun yang melihatnya. Clark juga dengan lugas menterjemahkan sesosok karakter yang begitu terkungkung dengan rasa kesendirian sekaligus kefanatikannya pada sosok Tuhan. Ehle juga hadir dengan penampilan gemilang. Digambarkan sebagai sosok yang apatis dan sinis di awal film, Ehle mampu mengembangkan hubungan yang terjalin antara karakter Amanda Kohl yang ia perankan dengan karakter Maud menjadi hubungan yang begitu penuh misteri. Dua penampilan yang menjadikan Saint Maud begitu mencengkeram.

 

Saint Maud (2019)

Directed by Rose Glass Produced by Andrea Cornwell, Oliver Kassman Written by Rose Glass Starring Morfydd Clark, Jennifer Ehle, Lily Knight, Lily Frazer, Turlough Convery, Rosie Sansom, Marcus Hutton, Carl Prekopp, Noa Bodner Music by Adam Janota Bzowski Cinematography Ben Fordesman Edited by Mark Towns Production companies Escape Plan Productions/Film4 Productions/British Film Institute Running time 83 minutes Country United Kingdom Language English

One thought on “Review: Saint Maud (2019)”

Leave a Reply