Dirilis pada tahun 1980, The Shining yang diarahkan oleh Stanley Kubrick merupakan adaptasi dari sebuah novel popular berjudul sama yang ditulis oleh Stephen King dan diterbitkan pertama kali pada tahun 1977. Walau mendapatkan reaksi yang tidak terlalu hangat pada masa awal perilisannya – termasuk kritikan tajam dari King yang menilai Kubrick telah merusak nilai-nilai penceritaan dari novel yang telah digarapnya, The Shining secara perlahan mulai meraih banyak dukungan dan penggemar hingga akhirnya mampu menjadi salah satu ikon horor paling popular bagi para penikmat film di seluruh dunia. Lebih dari tiga dekade semenjak perilisan novel The Shining, tepatnya di tahun 2013, King merilis Doctor Sleep yang melanjutkan alur cerita bagi karakter-karakter yang ada di dalam garis penceritaan The Shining. Perilisan novel Doctor Sleep jelas turut mendorong Hollywood untuk memproduksi sekuel bagi versi film dari The Shining. Dengan bantuan Mike Flanagan (Ouija: Origin of Evil, 2016) yang bertugas sebagai sutradara sekaligus penulis naskah film, Doctor Sleep jelas harus berusaha keras untuk mengikuti standar tinggi yang telah diterapkan oleh Kubrick melalui adaptasinya akan novel The Shining.
Memiliki latar belakang waktu pengisahan pada tahun 2011, Doctor Sleep memusatkan perhatiannya pada tiga sosok karakter utama. Danny Torrance (Ewan McGregor) kini tumbuh dewasa menjadi seorang alkoholik akibat trauma masa kecil atas berbagai kejadian mengerikan yang ia alami bersama ayah dan ibunya di Overlook Hotel. Sadar bahwa kegemarannya untuk minum minuman keras hanya akan terus mempersulit dirinya, Danny Torrance lantas memulai usaha untuk memperbaiki kembali jalan hidupnya. Karakter kedua, Abra Stone (Kyliegh Curran), adalah seorang remaja yang tengah menyesuaikan diri sekaligus berusaha menutupi kemampuan supranatural yang ia miliki. Doctor Sleep juga membagi fokusnya pada sosok Rose the Hat (Rebecca Ferguson) yang memiliki penampilan wanita rupawan namun merupakan seorang pemimpin bagi kelompok yang dikenal dengan sebutan True Knot yang terobsesi untuk hidup selaanya dengan menghisap energi dari anak-anak dengan kemampuan supranatural khusus yang mereka temui di jalanan. Tiga linimasa cerita dari tiga karakter tersebut secara perlahan mulai bertemu dan mencipakan konflik yang dapat membahayakan bagi nyawa ketiganya.
Tugas yang harus dihadapi oleh Flanagan jelas bukanlah sebuah tugas yang cukup mudah untuk dikerjakan. Selain harus mengadaptasi alur cerita novel Doctor Sleep yang telah diterapkan King, Flanagan tentunya memiliki “kewajiban” untuk meneruskan berbagai konsep serta tema pengisahan yang sebelumnya telah dibentuk oleh Kubrick pada The Shining sebagai film yang menjadi pendahulu bagi Doctor Sleep. Untungnya, Flanagan memiliki kemampuan yang lebih dari cukup untuk menangani materi horor yang harus dieksekusinya. Sebagai kontinuitas – dan pada beberapa kesempatan juga diperlakukan Flanagan sebagai sebuah tribut – dari pengisahan The Shining, Doctor Sleep dibuka dengan sekelumit kisah tentang kehidupan karakter Danny Torrance cilik (Roger Dale Floyd) dan ibunya, Wendy Torrance (Alex Essoe), setelah berhasil keluar dari Overlook Hotel. Penggalan kisah tersebut digarap Flanagan dengan sangat lugas sehingga juga mampu menjadi jembatan bagi para penonton yang berasal dari generasi baru serta mungkin saja masih belum mengikuti penceritaan The Shining. Berbagai integrasi akan adegan-adegan popular dari The Shining ke dalam Doctor Sleep juga mampu dieksekusi dengan mulus. Sangat mengesankan.
Jika Flanagan mampu menggarap elemen tribut kepada tata pengarahan yang diberikan Kubrick terhadap The Shining dengan baik, adaptasi yang dilakukan Flanagan terhadap pengisahan yang dibentuk King untuk novel Doctor Sleep juga jelas tidak mengecewakan. Dengan durasi penceritaan yang mencapai 152 menit, Flanagan menjadikan Doctor Sleep sebagai sebuah sekuel dengan warna penceritaan yang sama kelam dengan film pendahulunya namun dengan raihan dan ruang penceritaan yang jauh lebih luas. Navigasi cerita yang terus berganti antara ketiga karakter sentral cerita mampu ditangani Flanagan dengan baik. Ketiga karakter tersebut masing-masing juga mendapatkan pendalaman karakter yang mumpuni – baik mengenai pergolakan yang terjadi di dalam jiwa mereka, berbagai konflik yang harus dihadapi, hingga obsesi kelam yang terus menghantui. Tidak selamanya mulus. Sebagai presentasi yang berlangsung dengan durasi cukup panjang, Doctor Sleep sempat terasa mengalami stagnasi kisah ketika seluruh konfliknya telah terpapar pada pertengahan paruh kedua film. Meskipun begitu, kemampuan Flanagan untuk menjaga elemen teror dan intensitas cerita berhasil untuk menghindarkan Doctor Sleep untuk terjerembab pada kesan cerita yang datar atau membosankan.
Karakterisasi yang kuat yang diberikan Flanagan pada karakter-karakter dalam jalan ceritanya mendapatkan imbalan penampilan yang fantastis dari para pemeran karakter-karakter tersebut. McGregor hadir dengan penampilan yang kuat sebagai Danny Torrance. Sebuah penampilan yang akan membuat setiap penonton merasa terikat dengan berbagai naik maupun turun perjalanan kehidupan yang dijalani karakter tersebut. Chemistry yang ia jalin dengan Curran juga membuat hubungan antara karakter Danny Torrance dengan Abra Stone menjadi begitu menyita perhatian. Pada beberapa elemen cerita film, perjalanan yang dilakukan keduanya akan membawa penonton pada sebuah petualangan layaknya film-film misteri yang tergarap kuat. Penampilan Ferguson juga jelas akan meninggalkan kesan kuat yang sangat lama bagi setiap mata yang menyaksikannya. Paduan antara kecantikan fisik, kharismanya, serta konsentrasi penuh yang diberikan Ferguson untuk menghidupkan sosok antagonis yang diperankannya menjadikan karakter Rose the Hat mampu memberikan mimpi buruk yang mencekam. Menunggu penampilan Henry Thomas yang sepertinya telah menjadi maskot bagi setiap film arahan Flanagan? Thomas hadir dalam sebuah adegan tribut terhadap The Shining yang ditata Flanagan dengan begitu meyakinkan.
Kecerdasan pengarahan Flanagan – yang sebenarnya secara konsisten selalu ia tunjukkan dalam film-film horor yang ia arahkan sebelumnya seperti Oculus (2013), Hush (2016), Before I Wake (2016), Ouija: Origin of Evil, atau Gerald’s Game (2017) – berhasil menjadikan Doctor Sleep sebagai sebuah presentasi horor yang begitu efektif. Pilihan untuk menjauh dari kehadiran adegan-adegan horor mengejutkan seperti yang dahulu dihadirkan Kubrick dalam The Shining dan memperkuat atmosfer kelam pada pengisahan film juga membuat Doctor Sleep terasa lebih emosional. Yang pasti, jika dibandingkan dengan film-film hasil adaptasi novel karya King lainnya seperti Pet Sematary arahan Kevin Kölsch dan Dennis Widmyer, It Chapter Two arahan Andres Muschietti, dan In the Tall Grass arahan Vincenzo Natali yang seluruhnya dirilis pada tahun ini, Doctor Sleep jelas hadir dengan kelas dan kualitas presentasi yang paling memuaskan.
Stephen King’s Doctor Sleep (2019)
Directed by Mike Flanagan Produced by Trevor Macy, Jon Berg Written by Mike Flanagan (screenplay), Stephen King (novel, Doctor Sleep) Starring Ewan McGregor, Rebecca Ferguson, Kyliegh Curran, Cliff Curtis, Carl Lumbly, Zahn McClarnon, Emily Alyn Lind, Bruce Greenwood, Jocelin Donahue, Alex Essoe, Zackary Momoh, Jacob Tremblay, Henry Thomas, Carel Struycken, Robert Longstreet, Catherine Parker, Met Clark, Selena Anduze, Sadie Heim, KK Heim, Kaitlyn McCormick, Molly Jackson, Roger Dale Floyd, Dakota Hickman, Danny Lloyd, Violet McGraw Music by The Newton Brothers Cinematography Michael Fimognari Edited by Mike Flanagan Production companies Intrepid Pictures/Vertigo Entertainment Running time 152 minutes Country United States Language English
One thought on “Review: Stephen King’s Doctor Sleep (2019)”