Review: Minggu Pagi di Victoria Park (2010)


Setelah memulai debut penyutradaraannya pada film Betina (2006), butuh waktu dua tahun bagi aktris Lola Amaria untuk menyelesaikan film keduanya. Waktu yang relatif lama tersebut terjadi karena alasan klise, masalah dana. Seperti yang diungkapkan Lola dalam sebuah wawancara, tim produksi Minggu Pagi di Victoria Park sepenuhnya mengandalkan kucuran dana dari pihak independen, dan tanpa adanya sponsor. Walau begitu, jika melihat apa yang ia hasilkan di film ini, rasanya tidak akan ada yang keberatan untuk menunggu dua tahun lagi asalkan Lola mampu menghasilkan karya yang lebih baik atau mampu menyamai apa yang diraihnya disini.

Tema cerita yang diangkat oleh Lola sendiri terdengar cukup segar jika dibandingkan dengan film-film lain yang diproduksi oleh sineas Indonesia. Lewat naskah yang ditulis oleh Titien Wattimena (Menebus Impian), Lola ingin mengangkat seputar kehidupan para Tenaga Kerja Wanita Indonesia yang bekerja di Hong Kong. Judul Minggu Pagi di Victoria Park sendiri diperoleh dari kebiasaan para TKW yang tinggal di daerah Hong Kong untuk saling berkumpul dan bercengkerama bersama di Victoria Park pada setiap hari Minggu — hari dimana mereka dibebastugaskan.

Mendengar bahwa film ini akan membahas seputar permasalahan para TKW, mungkin sebagian penonton akan membayangkan mengenai kisah seputar para “pejuang devisa” tersebut yang disiksa atau diperlakukan secara semena-mena oleh majikannya. Namun, Minggu Pagi di Victoria Park sama sekali tidak menampilkan permasalahan tersebut. Kisah film ini lebih berfokus pada sibling rivalry yang terpendam sejak lama antara kedua tokoh utamanya, Mayang (Lola Amaria) dan adiknya, Sekar (Titi Sjuman).

Oleh sang ayah, Mayang didaftarkan untuk menjadi TKW di Hong Kong. Tujuannya bukan untuk mencari uang, melainkan untuk mencari sang adik, Sekar, yang semenjak lama telah tidak memberikan kabar ke kampung halamannya. Mayang sendiri tidak terlalu antusias untuk menemukan Sekar. Telah semenjak lama sang ayah memperlakukan mereka dengan berbeda, dan menganggap Sekar adalah puteri yang lebih superior dari Mayang.

Untungnya, perantauan Mayang di Hong Kong tidak berjalan begitu sulit. Tidak seperti yang banyak diberitakan, Mayang mendapatkan sebuah keluarga yang baik sebagai majikannya. Ia juga mulai dapat membaur dengan teman-teman sesama Tenaga Kerja Wanita yang bekerja di daerah tersebut. Secara perlahan, Mayang mulai mengumpulkan informasi untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dengan adiknya itu.

Diantara dangkalnya ide cerita yang diangkat para sineas perfilman Indonesia, adalah sangat menyenangkan untuk melihat sebuah film secemerlang Minggu Pagi di Victoria Park. Film ini sebenarnya memiliki dasar cerita yang sederhana. Namun dengan pengembangan yang tepat, cerita yang sederhana tersebut mampu diolah menjadi sebuah sajian yang berisi dan, setidaknya, mampu memberikan sedikit gambaran yang lebih besar terhadap kehidupan para TKW di tempat perantauannya.

Film dengan masa penggarapan selama lebih dua tahun sudah seharusnya tampil lebih rapi dan teliti dalam menyajikan presentasi naskah ceritanya. Selaku sang sutradara, Lola Amaria memiliki kemampuan yang mumpuni untuk menerjemahkan naskah yang telah ditulis oleh Titien Wattimena, dan kemudian menyusunnya secara hati-hati untuk kemudian menghasilkan jalinan jalan cerita yang walau memiliki banyak pesan “berat”, namun tetap terkesan ringan dan dapat diserap dengan mudah. Ditambah dengan beberapa adegan kilas balik untuk mendukung unsur dramatis film ini, Lola berhasil membuat Minggu Pagi di Victoria Park menjadi sebuah tayangan drama yang sangat efektif.

Keefektifan drama yang terkandung di dalam jalan cerita menjadi lebih bermakna lagi ketika jajaran pemeran yang mengisi departemen akting film ini terdiri dari para aktris dan aktor yang mampu memerankan karakternya dengan sangat baik. Menduduki posisi sutradara, Lola Amaria juga tidak mengurangi totalitasnya dalam berakting. Walau kebanyakan tampil dalam ekspresi datar, yang merupakan ciri dari karakternya dan bukan karena kegagalan Lola dalam memerankannya, Lola mampu menghidupkan tokoh Mayang menjadi tokoh protagonis utama di film ini. Lola di film ini didampingi oleh aktris Titi Sjuman, yang baru saja menanjak namanya semenjak tampil dalam film Mereka Bilang, Aku Monyet. Dan lewat penampilannya sebagai Sekar, Titi kembali menampilkan kelebihannya dalam mengaduk-aduk perasaan para penontonnya lewat penjiwaannya akan karakter Sekar yang cenderung depresif itu. Jajaran pendukung lain, walau tak tampil menonjol, juga mampu menopang penampilan dua karakter utamanya dan membuat Minggu Pagi di Victoria Park semakin mengesankan.

Titi Sjuman tidak hanya berperan sebagai Sekar di film ini. Ia, bersama suaminya, Aksan Sjuman, juga bertanggung jawab atas penyusunan iringan music score yang terdengar di sepanjang film ini. Dan lewat iringan musik yang mereka hasilkan ini, sebagian dari emosi yang ingin disampaikan film ini kepada para penontonnya berhasil tersalurkan dengan baik. Bahkan, harus diakui, begitu kuatnya pengaruh tata musik yang ada di film ini, beberapa adegan justru dapat tampil dengan tampilan emosi yang lebih menyentuh akibat eksistensi tata musik yang disediakan. Melengkapi kualitas tata produksi film ini, penonton juga akan disajikan tata sinematografi yang cukup menarik mengenai lingkungan sekitar Hong Kong yang cukup memberikan tambahan mengenai gambaran mengenai bagaimana kehidupan para TKW kita di negara orang.

Bagi beberapa yang ingin menilai sinis, mungkin Minggu Pagi di Victoria Park akan dinilai sebagai sebuah film yang hanya mampu mengkail sebagian kecil mengenai kehidupan para TKW Indonesia di luar negeri, khususnya Hong Kong. Tentu saja, masih banyak kehidupan TKW Indonesia yang lebih menderita daripada kehidupan yang dialami baik Mayang maupun Sekar. Namun, naskah yang dituliskan Titien Wattimena sebenarnya tidak hanya ingin menyinggung mengenai hal tersebut. Rasa kebersamaan ketika yang lain sedang membutuhkan, persaudaraan antara dua kakak adik, persahabatan hingga cara bertahan hidup adalah beberapa pesan lain yang ingin disampaikan film ini. Jelas, tidak ada karya yang sempurna. Beberapa kelemahan masih tampak di beberapa bagian. Walau begitu, secara keseluruhan, Minggu Pagi di Victoria Park adalah sebuah film dengan kualitas yang amat langka ditemukan di negara ini dalam beberapa tahun terakhir. Dikerjakan dengan sederhana dan menghantarkan pesannya dengan cara yang sederhana pula, Minggu Pagi di Victoria Park muncul sebagai salah satu kontender terkuat sebagai calon film terbaik di sepanjang tahun ini.

Rating: 5 / 5

Minggu Pagi di Victoria Park (Picklock Production, 2010)

Minggu Pagi di Victoria Park (2010)

Directed by Lola Amaria Produced by Sabrang Mowo Damar Panuluh, Dewi Umaya Rachman Written by Titien Wattimena Starring Lola Amaria, Titi Sjuman, Donny Alamsyah, Donny Damara, Imelda Soraya, Permata Sari Harahap Music by Aksan Sjuman, Titi Sjuman Cinematography Yadi Sugandi Studio Pic[k]lock Production Running time 97 minutes Country Indonesia Language Indonesian

11 thoughts on “Review: Minggu Pagi di Victoria Park (2010)”

  1. tulisannya bagus, paman amir. Jadi makin penasaran sama film ini. Harus sempat nonton nih saya 😀

    1. Iya, paman Gal. One of the best Indonesian movies in years. Paman harus nonton nih! Ntar buat review sendiri yak… 🙂

  2. Great movie, gw dah nonton, ternyata masih ada yg bisa biki film bagus di Indonesia, Salut buat Lola Amaria dan Titien Watimena….

  3. Waduh,wkt film ini muncul saya mash di hk,meski jalurnya bkan PRT. Wkt itu di kash tau teman blogger kalo ada film bgus ttg tkw hk.tp sayang mpek skrg lupa mo nnton 😀

Leave a Reply