Review: Di Bawah Lindungan Ka’bah (2011)


MD Pictures, rumah produksi yang sempat meraih sukses besar ketika merilis Ayat-Ayat Cinta (2008), yang kemudian memulai tren perilisan film-film drama bernuansa reliji di industri film Indonesia, sepertinya sangat berhasrat untuk mengadaptasi novel karya Buya Hamka, Di Bawah Lindungan Ka’bah, menjadi sebuah tayangan film layar lebar. Mereka bahkan rela menghabiskan waktu selama dua tahun untuk menyelesaikan proses produksi dan dana sebesar Rp25 miliar untuk menampilkan tata produksi terbaik untuk mendukung pembuatan versi film dari salah satu karya paling populer di dunia sastra Indonesia tersebut. Hasilnya, Di Bawah Lindungan Ka’bah menjadi sebuah film bertemakan kasih tak sampai dengan tampilan komersial yang sangat akut… seperti yang telah diduga banyak orang ketika nama Hanny R Saputra dilibatkan sebagai sutradara bagi film ini.

Di Bawah Lindungan Ka’bah memulai kisahnya dengan memperkenalkan Hamid (Herjunot Ali), seorang pemuda tampan, cerdas, saleh, berbudi pekerti tinggi namun terlahir dengan keadaan ekonomi yang berada di bawah garis kemiskinan. Untungnya, kehidupan Hamid dan ibunya (Jenny Rachman) selama ini cukup terbantu dengan keberadaan Haji Jafar (Didi Petet), seorang pria dermawan yang saleh serta cukup terpandang di sebuah kampung di provinsi Sumatera Barat yang masyarakatnya memegang teguh adat istiadat dan taat dalam menjalankan ajaran dan aturan agama. Haji Jafar bahkan membiayai pendidikan Hamid di sebuah sekolah agama bergengsi hingga Hamid akhirnya mampu menyelesaikan pendidikannya.

Dilema mulai mewarnai kehidupan Hamid ketika ia jatuh cinta dengan Zainab (Laudya Chyntia Bella), puteri jelita semata mayang dari Haji Jafar. Perbedaan status sosial yang begitu jauh antara keduanya membuat hubungan antara Hamid dan Zainab sepertinya tidak mungkin bersatu, walaupun keduanya sama-sama menyukai satu sama lain. Tidak hanya berhenti disitu, berbagai cobaan mulai mendera hubungan keduanya: mulai dari Hamid yang diusir dari kampungnya setelah dituduh telah ‘menyentuh’ Zainab secara tidak sopan hingga perjodohan Zainab dengan seorang pemuda anak saudagar kaya yang semakin memojokkan posisi Hamid. Hamid yang terusir dari kampung akhirnya meneruskan perjalanannya demi mewujudkan impiannya agar dapat menunaikan ibadah haji di Mekkah. Di saat yang sama, Zainab tetap menunggu kembalinya Hamid agar mereka dapat kembali menjalin hubungan kasih suci mereka yang telah terputus.

Diadaptasi oleh Titien Wattimena (Minggu Pagi di Victoria Park, 2010) dan Armantono (Love Story), kisah cerita Di Bawah Lindungan Ka’bah memang memiliki cukup banyak perbedaan yang berarti jika dibandingkan antara jalinan kisah yang tertulis di novelnya. Kisah mengenai pengusiran karakter Hamid dari kampungnya serta karakterisasi antagonis dari karakter pria yang dijodohkan dengan Zainab merupakan bentuk penyesuaian konflik yang dilakukan Titien dan Armantono untuk menerjemahkan jalan cerita yang berlangsung di masa klasik menjadi sebuah jalan cerita dengan sentuhan yang lebih modern. Dialog-dialog yang terjalin antara setiap karakter juga dibentuk dengan dialog modern daripada menggunakan dialog berbentuk metafora maupun pantun seperti yang digunakan di versi novel – walaupun Titien dan Armantono beberapa kali tetap menyelipkan dialog-dialog bernada klasik tersebut pada beberapa bagian cerita.

Walau berusaha untuk menerjemahkan jalan cerita menjadi modern, Hanny R Saputra tetap mempertahankan latar belakang waktu cerita berada pada kisaran daerah Sumatera Barat di tahun 1920-an. Disinilah dana produksi sebesar Rp25 miliar – mari tidak berdebat dengan pernyataan yang telah dikeluarkan pihak produser tentang jumlah total biaya produksi yang telah dikeluarkan untuk film ini – tersebut banyak digunakan. Tim produksi Di Bawah Lindungan Ka’bah memunculkan banyak properti yang akan memunculkan nuansa klasik daerah Sumatera Barat tersebut, mulai dari tata perkampungan Minang, pasar tradisional, tata kostum yang digunakan oleh setiap orang, bangunan surau dan sebuah kincir air – yang kemungkinan merupakan kincir air yang sama yang muncul pada film Hanny R Saputra sebelumnya, Love Story – hingga perekaan ulang suasana Mekkah lengkap dengan tiruan bangunan Ka’bah-nya. Cukup mampu bekerja dengan baik dalam membangkitkan suasana klasik tersebut, walaupun… dapat dipastikan bahwa tim produksi Di Bawah Lindungan Ka’bah masih menyimpan cukup banyak dana sisa produksi dari total bujet sebesar Rp25 miliar yang disediakan. Just saying.

Beberapa detil dalam penceritaan Di Bawah Lindungan Ka’bah – seperti penggunaan aksen Minang yang tidak konsisten di sepanjang film, dapat ditemukan walaupun tidak akan cukup mengganggu jika penonton tidak begitu menyadari hal tersebut. Namun, proses penceritaan film ini terasa lemah sekali di bagian pertengahan film, ketika karakter Hamid dikisahkan telah keluar dari kampung dan terus menerus digambarkan mengalami penderitaan yang mendalam akibat terpisah dari Zainab. Hanny gagal memberikan poin yang menarik dalam menampilkan sisi kepedihan karakter Hamid dan Zainab selama mereka terpisah. Ditampilkan dengan alur yang terlalu mendayu-dayu – sangat khas seorang Hanny R Saputra, tentunya – bagian ini menjadi begitu menjemukan untuk diikuti. Pun begitu, Hanny cukup berhasil dalam mengemas momen-momen drama tearjerker – sekali lagi, khas Hanny R Saputra, tentu saja – yang seringkali menjadi highlight tersendiri bagi Di Bawah Lindungan Ka’bah.

Herjunot Ali dan Laudya Chyntia Bella cukup mampu menghidupkan karakter mereka dengan baik di sepanjang film. Walaupun begitu, chemistry yang tercipta antara keduanya adalah sangat minim untuk dapat dirasakan penonton. Minimnya percikan daya tarik dari karakter Hamid dan Zainab sebagai pasangan kekasih cukup memberikan pengaruh pada kegagalan jalan cerita Di Bawah Lindungan Ka’bah dalam menjalin hubungan emosional yang mendalam pada penontonnya. Jajaran pemeran mendukung tampil tidak mengecewakan, dengan Jenny Rachman kembali hadir di industri film nasional dan tetap mampu memberikan permainan akting terbaiknya serta Tarra Budiman yang berperan sebagai sahabat Hamid yang sering muncul dan menyita perhatian.

Seperti film-film nasional lainnya yang memanfaatkan nuansa latar belakang daerah Indonesia sebagai bagian dari ceritanya, Di Bawah Lindungan Ka’bah juga memberikan penampilan sinematografi yang cukup memikat. Di bawah arahan Ipung Rachmat Syaiful, tampilan gambar Di Bawah Lindungan Ka’bah tampil mempesona dalam menangkap nuansa alami daerah Sumatera Barat. Tya Subiakto Satrio sendiri juga mengisi deretan tata musik di film ini. Cukup berhasil dalam memberikan kedalaman emosional cerita pada beberapa bagian, namun lebih sering terdengar megah dalam mendayu-dayu pada banyak bagian film.

Dengan menerapkan beberapa baris kisah baru yang diterapkan pada kisah legendaris Di Bawah Lindungan Ka’bah, film yang diharapkan akan mampu mengikuti kesuksesan Ayat-Ayat Cinta ini harus diakui akan banyak mengecewakan para penggemar novelnya. Versi film Di Bawah Lindungan Ka’bah sangat terasa begitu modern dalam penceritaannya terlepas dari usaha Hanny R Saputra untuk mempertahankan nuansa tahun 1920-an di sepanjang penceritaan film ini. Hasilnya, Di Bawah Lindungan Ka’bah lebih terkesan sebagai bagian dari deretan filmografi film-film romansa cengeng Hanny R Saputra daripada sebagai sebuah film yang mengadaptasi sebuah karya sastra bernuansa Islami legendaris. Departemen akting dan tata produksi tampil cukup dinamis, terlepas dari beberapa kekurangan yang muncul, namun karakterisasi yang lemah serta jalan cerita yang cenderung lamban dan bertele-tele membuat Di Bawah Lindungan Ka’bah gagal untuk tampil istimewa seperti yang diharapkan.

Di Bawah Lindungan Ka’bah (MD Pictures, 2011)

Di Bawah Lindungan Ka’bah (2011)

Directed by Hanny R. Saputra Produced by Dhamoo Punjabi, Manooj Punjabi Written by Titien Wattimena, Armantono (screenplay), Buya Hamka (novel) Starring Herjunot Ali, Laudya Cynthia Bella, Niken Anjani, Tarra Budiman, Jenny Rachman, Widyawati, Didi Petet, Leroy Osmani, Ajun Perwira, Akhmad Setyadi Music by Tya Subiakto Satrio Cinematography Ipung Rachmat Syaiful Editing by Yoga Krispratama Studio MD Pictures Running time 121 minutes Country Indonesia Language Indonesian

26 thoughts on “Review: Di Bawah Lindungan Ka’bah (2011)”

  1. Nice movie, touchy, beautiful shot, great music/soundtrack.. just tertanggu dengan kacang garuda, baygon dan gerry chocolatosnya…

  2. Gw gak setuju…menurut gw ini salah satu film indonesia terbaik tahun ini. Semua elemen komplit dalam sebuah film ada di sini. Bahkan sampai detail ejaan bahasa lama seperti kata “masoek” untuk “masuk” di gudang tempat Hamid bekerja dan kata “katjang” untuk kata ‘kacang” di bungkus kacang Garuda diperhatikan dengan baik. Chemistry yang terjalin perlahan tapi pasti, terlihat dari ekspresi herjunot Ali dan Laudya Cinthya Bella. Dari segi penyutradaraan, Hanny R Saputra berhasil karena adegan mendayu2 yang ada di sini mengalir sebagaimana adanya dan tidak selebai seperti adegan mendayu2 di film Heart. Saya penonton yang non muslim saja bisa tersentuh, apalagi penonton yang muslim.

    1. saya tidak ingat tahun 20 an ada kacang garuda nggak ya?? hehehe… gini, aku deal sama si preview. Tambahan, ini film based on novel. Ceritanya di novel nggak cengeng, dan bukan nonjolin cinta, tapi perubahan masyarakat. Menurut saya, sutradara melakukan kesalahan dengan mengubah bagian penting dalam novel menjadi keluar konteks. Bagi yang tidak pernah membaca novelnya akan menganggap film ini luar biasa, namun bagi yang pernah membaca novelnya, akan memaki-maki… hehehehe..

      1. hihi.. bener nih, kenapa filmnya jadi cengeng dan nonjolin cinta bgt.. mungkin buat narik peminat kali yak 😀

  3. wa setuju bro amg reviewnya yg di atas banyak hal yg ganjil di dalemmnya jujur aj. kalo di bandingin ama film islami yg laennya film ini ga begitu nunjukin nilai islaminya lebih ke nilai adat istiadatnya padahal ana harusnya film yg islami. dan masalah yg di tampilkan juga begitu rancu ga bisa di bilang benar dan juga salah banyak hal hal yg ga jelas menurut gua di film ini. kalo masalah grafis ama latar emg gua jempolis tapi kalo masalah alur cerita gua ga bisa ngomong banyak ga ada pujian yang keluar dari mulut gua pas nontonnya.

  4. Kalo mau kasar.. film ini sampah… ngabisin duit aja,
    naik haji, tiba2 mati, dipantai tiba2 mati.. si hamid naik haji kagak disuntik meningitis sih jadi kaya gini, trus si zainab, belajar berenang dong, udah tau jalan buntu dilewatin aja… anehh..
    sorry yang tersinggung, ini pendapat pribadi aja.. atau memang ini bukan tipe film ane

    1. Kalo mau kasar.. film ini sampah… ngabisin duit aja,
      naik haji, tiba2 mati, dipantai tiba2 mati.. si hamid naik haji kagak disuntik meningitis sih jadi kaya gini, trus si zainab, belajar berenang dong, udah tau jalan buntu dilewatin aja… anehh..
      sorry yang tersinggung, ini pendapat pribadi aja.. atau memang ini bukan tipe film ane

      kayanya ente kebanyakan nonton film sampah..mas ini ceritanya jadul..kok jadi lo bawa ke sikon modern, yah banyak ganjilnya dong, bijimane sih ente?.lepas dari kekurangan disana sini,film ini ,gua setuju ame’review at top page’ mampu menampilkan setting minang jadul,beberapa scene sempat membuat basah mata,sebagai sebuah tontonan film layak tonton tapi sebagai hasil karya seni masih perlu ketelitian detail di setting,prop,make up, dialog…

      1. wkwwk…pingin ketawa aja baca komentar “suntik meningitis”. Zaman dahulu,orang berangkat haji memang ga pakai suntik2an,mereka berangkatnya mandiri,tidak diurus pemerintah. Berangkatnya pakai kapal,perjalanannya bisa sampai 6 bulan-1tahun. Berangkat hajinya pun ditest lebih dulu, ditest solat,baca al Quran,dll..trmasuk test bahasa Arab. Jd jangan disamakan dg kondisi skrg. (ini brdasarkan cerita kake saya yg kelahiran 1901 dan berhaji waktu Indonesia belum merdeka).
        Klo menurut saya,penggambaran d film ini sudah sesuai dg kondisi waktu itu..

  5. bagus banget film nya. aku nangis bombay waktu Hamid memeluk ibunya waktu akan meninggal, mengingatkanku saat memeluk Ibundaku waktu kembali ke rahmatulloh….

    ketegaran dan kekuatan cinta Ilahi tetap di atas cinta manusia yang sementara…

  6. so far…film ini punya nilai nilai positif tersendiri bagi yang menontonnya…mungkin dari segi perfilman banyak kekurangan…tapi kita bisa belajar banyak arti kehidupan dari film ini..jarang sekali ada orang yg sesabar dan setaat Hamid pada orang tuanya pada zaman sekarang ini..Hamid tipe pemuda yg bekerja keras baik untuk menuntut ilmu ataupun bekerja untuk menghidupi dirinya. namun kenyataannya sekarang, kebanyakan pemuda itu pintar namun sayangnya tidak taat pada orang tua….

    1. saya setuju dengan anda sdr lulu, yang membuat hati terkesan bukan hanya ilm ini membawa kita back ke nuansa minang jadu aja, tapi nilai-nilai yang tertanam di dalamnya..nilai budi pekerti, akhlak kepada orang tua dan guru serta kesabaran dan kegigihan menjadi satu karakter yang patut dicontoh para pemuda saat ini. kita semua tahu fenomena anak muda saat ini..boro-boro mau bersabar dan menunjukkan rasa cinta kasih pada orang tua…yang ada malah melawan dan selalu menuntuk hak yang gak sesuai dengan kemampuan orang tuanya. so, menurut saya film ini membantu menumbuhkan karakter anak yang baik, soleh, dan BELIEVE sama Allah semata ketika tidak ada siapa-siapa lagi yang mendukung kita didunia ini.

  7. Sangat disayangkan novel ini harus digubah oleh Hanny.R. Saputra ( seorang sutradara yang mungkin tidak membaca banyak tentang suasana Tanah Minang awal abad 20)
    Seharusnya dengan budget yang besar bisa terbayar dengan gambartan detil serta suasana tahun 1920-an..
    Untuk membuat film berlatarbelakang masa lampau, setidaknya kita harus mau “MEMBACA” serta “MENGEKSPLOR” tentang apa yang akan kita tampilkan..
    Absennya tulisan jawi ( arab melayu) yang pada saat itu merupakan hal yang mutlak dalam tradisi tulis menulis di Minang, serta ketidaksingkronan beberapa Ejaan van Ophuijsen ( Pedoman tata bahasa yang kemudian dikenal dengan nama ejaan van Ophuijsen itu resmi diakui pemerintah kolonial pada tahun 1901 hingga pertengahan tahun 40.an) kerap muncul . Selain itu produk-produk abad-20 yg tampil hampir pada setiap adegan(bak iklan) menambah buruk sisi historis dari film ini….

    :(( Saya menunggu “remake” ketiga dari Novel karya Hamka ini… Hvala!

  8. film brtemakan percintaan tpi gk sampe,,

    klo qw ksih nilai film nie 10 jempol..:)
    keliatan bnget nilai2 positifx,,,
    gmna rasa hormat seorang anak pda orang tua,,,

    pkokx i like it,, 😀

  9. Saya terharu dan bagus banget, konsep sumbar tempo dulu bernuansa alami, situasi mekah juga terlihat mengagumkan sesuai zamannya, subhanallah….

  10. film apaan…. religi kok pacaran….. menurut gue film religi indo tuh gak ada yang bermutu… isinya pacaraaaaaaaaaannnnnn aja…… gak ada yang bener… walaupun dengan embel2 religi… religi hanya sebagai daya tarik doang…..

  11. Keganjilan yang utama adalah si merek kacang… Berdasarkan penelurusan saya di Google (iya, saya rajin yah), kacang itu baru diluncurkan pertama kali pada tahun 1987. Nah, seting film ini kan tahun 1920-an, kenapa kacang itu sudah ada? Apakah kacang itu melakukan time travelling?

    Terus, si Zainab kok manggil Hamid dengan sebutan ‘Mas’, ya? Apa saya yang salah dengar? Kenapa enggak manggil dengan sebutan ‘Uda’? Apakah di novel juga demikian?

    Despite all the odds, filmnya lumayan lah meski kedua tokoh utamanya banyak ketawa-ketawa gak jelas sepanjang film.

  12. Kecewa dengan penceritaan film ini yang berbeda dengan cerita di novel. Saya setuju dengan pendapat bro Amir film ini terlalu cengeng. Sebuah film adaptasi yang gagal.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s