Review: The Devil All the Time (2020)


Diadaptasi dari novel berjudul sama karya Donald Ray Pollock – yang juga bertugas sebagai narator bagi jalan pengisahan film ini, The Devil All the Time akan membawa penontonnya ke dalam perjalanan sepanjang dua dekade bersama dengan sejumlah karakter yang jelas merupakan karakter-karakter terburuk – dalam artian sifat, bukan dari kualitas penulisan – yang pernah ditampilkan dalam sebuah linimasa pengisahan sebuah film. Dengan durasi penceritaan sepanjang 138 menit, sutradara Antonio Campos (Christine, 2016) secara perlahan membedah setiap karakter, membangun konflik yang menghubungkan antara satu karakter dengan yang lain, sekaligus menghadirkan kengerian akan berbagai hal buruk yang dapat dilakukan oleh manusia. Bukan sebuah perjalanan cerita yang cukup mudah untuk diikuti – khususnya ketika Campos memilih untuk membalut filmnya dengan atmosfer gambar dan pengisahan yang lumayan kelam. Namun, di saat yang bersamaan, tatanan pengisahan pilihan Campos mampu secara efekif meninggalkan kesan mendalam yang jelas tidak akan mudah untuk dilupakan begitu saja.

Penuturan kisah The Devil All the Time dimulai pada tahun 1945 ketika seorang tentara angkatan laut Amerika Serikat, Willard Russell (Bill Skarsgård) kembali ke kampung halamannya seusai bertugas melawan Jepang di Kepulauan Solomon selama Perang Dunia II. Setibanya di rumah, ibunya, Emma Russell (Kristin Griffith), berusaha menjodohkannya dengan seorang gadis bernama Helen Hatton (Mia Wasikowska). Namun, hati dan perhatian Willard Russell telah jatuh kepada Charlotte (Haley Bennett), seorang pramusaji yang sempat ia temui dalam perjalanan kembali pulang ke rumahnya. Willard Russell lantas menikahi Charlotte dan garis nasib kemudian menjodohkan Helen Hatton dengan seorang pendeta bernama Roy Laferty (Harry Melling). Dua puluh tahun kemudian, mengikuti serentetan tragedi yang membunuh pasangan Willard Russell dan Charlotte serta Roy Lafferty dan Helen Hatton, kedua anak mereka, Arvin Russell (Tom Holland) dan Lenora Laferty (Eliza Scanlen), kini berada dalam perawatan Emma Russell. Berbagai kejadian buruk di masa lampau ternyata memberikan pengaruh mendalam pada keduanya. Pengaruh yang secara perlahan turut menentukan alur kehidupan keduanya.

Dengan naskah cerita yang dikerjakan oleh Campos bersama dengan Paulo Campos, mudah untuk menilai The Devil All the Time sebagai sebuah drama kejahatan dengan penekanan pada berbagai adegan brutal nan berdarah. Namun, di saat yang bersamaan, Campos mampu memanfaatkan adegan-adegan penuh kekerasan dalam filmnya sebagai sebuah lembar pemikiran akan nilai-nilai keluarga, kebenaran, keadilan, hingga iman atau kepercayaan spiritual. Campos memberikan pukulan yang menohok pada mereka yang secara membabi-buta percaya begitu saja pada sebuah kepercayaan (baca: agama) dan lantas gagal menggunakan akal sehat untuk melawan orang-orang yang menggunakan kepercayaan tersebut untuk kepentingan pribadi mereka. Eksekusi Campos terhadap jalan cerita yang berjalan perlahan juga mampu secara kuat mengupas tiap lapisan kisah sekaligus memberikan setiap karakter waktu untuk berkembang dengan seksama sehingga memberikan pengaruh emosional yang lebih mendalam kepada penontonnya.

Memang membutuhkan sejumlah waktu untuk benar-benar memahami sebuah jalan cerita yang dipenuhi oleh karakter-karakter dengan jiwa yang kelam dengan berbagai perilaku dan tindakan yang tidak kalah kelamnya – mulai dari sosok polisi yang korup, pasangan pembunuh berantai, hingga sosok pendeta dengan kelakuan kriminal. All sinners, no saints. Meskipun begitu, The Devil All the Time tidak pernah kehilangan kemampuan untuk mencengkeram perhatian penontonnya dengan utuh. Tidak dengan penampilan brilian dari para pengisi departemen aktingnya. Sebagai sebuah jalinan cerita yang memberikan banyak kesempatan dan ruang cerita bagi tiap karakternya, masing-masing pemeran berhasil hadir dengan kapasitas akting yang mumpuni. Holland, Wasikowska, Bennett, Scanlen, Jason Clarke, Riley Keough, dan Sebastian Stan memberikan penampilan prima dengan Skarsgård dan Melling hadir dengan penampilan yang begitu mencuri perhatian.

Penampilan terkuat dalam The Devil All the Time jelas datang dari penampilan Robert Pattinson. Karakternya sebagai sosok pendeta dengan kegemaran untuk menggoda gadis-gadis di bawah umur memang telah mampu tampil menonjol. Kemampuan Pattinson untuk menghidupkan karakter tersebut dengan atmosfer yang begitu mencekam dalam tiap kehadirannya yang menjadikan penampilan Pattinson begitu istimewa. Yang juga menjadi elemen krusial dalam presentasi The Devil All the Time adalah kualitas produksi yang disajikan Campos untuk mendampingi pengisahan filmnya. Sinematografi garapan Lol Crawley sukses menghasilkan pemandangan dan atmosfer yang mengikat akan suatu daerah terpelosok dan dipenuhi dengan berbagai misteri. Pilihan lagu-lagu bernuansa jazz dan blues yang mengiringi tiap adegan film juga menambah kental nuansa kelam yang ingin dibawakan.

 

The Devil All the Time (2020)

Directed by Antonio Campos Produced by Jake Gyllenhaal, Riva Marker, Randall Poster, Max Born Written by Antonio Campos, Paulo Campos (screenplay), Donald Ray Pollock (novel, The Devil All the Time) Starring Tom Holland, Bill Skarsgård, Robert Pattinson, Riley Keough, Jason Clarke, Sebastian Stan, Eliza Scanlen, Haley Bennett, Mia Wasikowska, Harry Melling, Douglas Hodge, Kristin Griffith, Pokey LaFarge, David Atkinson, Donald Ray Pollock, Drew Starkey, Michael Banks Repeta, Ever Eloise Landrum Music by Danny Bensi, Saunder Jurriaans Cinematography Lol Crawley Edited by Sofía Subercaseaux Production company Nine Stories Productions/Bronx Moving Company Running time 138 minutes Country United States Language English

One thought on “Review: The Devil All the Time (2020)”

Leave a Reply