Seperti halnya Si Doel the Movie (Rano Karno, 2018) – yang sejatinya merupakan sebuah novel karya Aman Datuk Majoindo berjudul Si Doel Anak Betawi yang kemudian diadaptasi menjadi sebuah film berjudul sama (Sjuman Djaja, 1972) namun mencapai popularitas yang lebih besar ketika diadaptasi menjadi sebuah serial televisi berjudul Si Doel Anak Sekolahan (1994 – 2008), perjalanan kisah Wiro Sableng juga dimulai sebagai seri novel garapan Bastian Tito sebelum akhirnya diadaptasi menjadi sejumlah film layar lebar yang dirilis pada akhir tahun ‘80an dan serial televisi yang cukup terkenal ketika ditayangkan pada pertengahan ‘90an hingga awal tahun 2000an. Film layar lebar terbaru Wiro Sableng sendiri diarahkan oleh Angga Dwimas Sasongko (Buka’an 8, 2017) dengan Vino G. Bastian – yang merupakan putera dari Tito – berperan sebagai sang karakter sentral. Sasongko, sekali lagi, berhasil menonjolkan kemampuan yang apik dalam tatanan pengarahannya. Namun, jelas penampilan Bastian yang menjadi jiwa dan memberikan kehidupan bagi alur pengisahan Wiro Sableng yang berdurasi 123 menit ini.
Berdasarkan naskah cerita yang ditulis oleh Sheila Timothy, Tumpal Tampubolon (Tabula Rasa, 2014), dan Seno Gumira Ajidarma (Pendekar Tongkat Emas, 2014), Wiro Sableng memulai petualangannya ketika seorang pendekar bernama Wiro Sableng (Bastian) ditugaskan oleh sang guru, Sinto Gendeng (Ruth Marini) untuk menangkap dan meringkus seorang pendekar yang dikenal dengan nama Mahesa Birawa (Yayan Ruhian) dan menggunakan kekuatannya untuk berbagai tujuan jahat. Bersama dengan dua pendekar yang baru dikenalnya selama berada dalam perjalanan mencarti Mahesa Birawa, Anggini (Sherina Munaf) dan Bujang Gila Tapak Sakti (Fariz Alfarazi), Wiro Sableng kemudian justru terlibat dalam sebuah konspirasi besar yang bertujuan untuk merebut singgasana dari kekuasaan Raja Kamandaka (Dwi Sasono) dan jelas membuat Wiro Sableng semakin kewalahan untuk memenuhi tugas dari gurunya.
Harus diakui, usaha Sasongko untuk menghidupkan Wiro Sableng tidak selalu berjalan mulus. Banyak bagian dari presentasi film Indonesia pertama yang proses produksinya didukung oleh 20th Century Fox ini tergarap dengan kurang mulus. Dalam keberhasilan departemen produksi dan artistik film untuk menciptakan desain tampilan lingkungan pengisahan yang megah dan meyakinkan, efek visual pada beberapa adegan masih tampil kurang matang. Koreografi aksi yang diarahkan oleh Ruhian bersama dengan Chan Man-ching – yang telah bekerjasama dengan aktor laga Jackie Chan dalam banyak filmnya – tampil memukau namun entah kenapa seringkali terasa hampa atau kurang bertenaga.
Naskah cerita garapan Timothy, Tampubolon, dan Ajidarma yang sederhana memang memberikan ruang yang lebih luas bagi kehadiran adegan laga namun, di saat yang bersamaan, membuat pengembangan beberapa konflik dan karakter yang sebenarnya krusial menjadi terhambat. Dan sebagai film yang juga menonjolkan elemen komedi dalam aliran ceritanya, tim penulis naskah cerita Wiro Sableng jelas terasa kurang begitu mampu untuk memberikan olahan yang tepat bagi deretan guyonan yang ingin disampaikan melalui dialog-dialog yang dihadirkan oleh film ini. Kredit tambahan layak disematkan bagi kemampuan naskah cerita Wiro Sableng untuk menyelipkan beberapa komentar sosial yang tampil begitu relevan dengan iklim sosial maupun politik di Indonesia saat ini.
Namun, Wiro Sableng sesungguhnya jelas bukanlah sebuah film yang buruk. Terlepas dari beberapa kekurangannya tersebut, Sasongko mampu memberikan pengarahan yang membuat pengisahan film terasa berjalan padu dan tidak pernah terasa membosankan untuk diikuti. Setiap intrik yang dilalui oleh durasi pengisahan film ini – termasuk yang tergolong lemah sekalipun – tetap mampu dikemas dengan menarik. Beberapa elemen produksi juga tampil menonjol dan semakin menunjang kualitas pengisahan. Tata gambar dari Teguh Raharjo berhasil tampil prima dalam mengangkat atmosfer pengisahan film sebagai sebuah tampilan film silat yang apik. Begitu pula dengan tata musik garapan Aria Prayogi yang seringkali mencuri perhatian dan mengisi banyak adegan dengan sentuhan emosional yang membuat banyak bagian Wiro Sableng terasa megah dan gagah untuk terus melangkah bercerita.
Jika Sasongko sukses memimpin di balik layar, maka Bastian menjadi alasan bagi Wiro Sableng untuk tampil kuat di hadapan para penontonnya. Meskipun penampilan komikalnya sering terasa tidak (belum?) seluwes penampilan Herning Soekendro yang memerankan karakter Wiro Sableng dalam serial televisi – dan tampil sebagai cameo dalam satu adegan film ini, namun Bastian memberikan kharisma kuat bagi karakter yang ia perankan untuk tampil mencuri hati sekaligus menarik perhatian penonton dan mengikatnya dengan erat di sepanjang pengisahan. Bastian juga mampu dengan lugas menghantarkan adegan-adegan laga bagi Wiro Sableng yang semakin mengokohkan penampilannya sebagai nyawa utama yang turut membantu film ini bergerak secara dinamis. Penampilan Ruhian sebagai karakter antagonis utama yang harus dihadapi oleh karakter Wiro Sableng juga sukses menjadi penyeimbang bagi penampilan Bastian. Meskipun karakternya tampil minimalis – seperti halnya banyak karakter dalam jalan cerita Wiro Sableng – namun Ruhian mampu membuat setiap adegan penampilannya menjadi begitu hidup.
Departemen akting Wiro Sableng juga diperkuat oleh penampilan apik dari Lukman Sardi dan Teuku Rifnu Wikana – yang mungkin akan memberikan efek déjà vu bagi mereka yang telah menyaksikan penampilan Sardi dan Wikana dalam Sultan Agung (Hanung Bramantyo, x.Jo, 2018), Marsha Timothy, Aghniny Haque, dan Andy /rif. Berperan sebagai dua pendekar yang mendampingi karakter Wiro Sableng dalam perjalanannya, Alfarazi dan Munaf mampu menampilkan chemistry yang erat dan meyakinkan sehingga ketiga karakter tersebut terasa begitu menyenangkan dalam setiap kehadiran adegan-adegan mereka. Sebagai film kedua yang dibintangi Munaf dalam hampir dua dekade – setelah sebelumnya mencuri hati dan perhatian seluruh pecinta film Indonesia lewat penampilannya sebagai aktris cilik dalam Petualangan Sherina (Riri Riza, 2000), Munaf harus diakui masih terasa kaku dalam beberapa penghantaran gestur tubuh dan dialog karakternya. Tetap saja, sosoknya yang begitu mudah disukai membuat karakter Anggini yang ia perankan tampil menjadi begitu mempesona. [B-]
Wiro Sableng (2018)
Directed by Angga Dwimas Sasongko Produced by Sheila Timothy Written by Sheila Timothy, Tumpal Tampubolon, Seno Gumira Ajidarma (screenplay), Bastian Tito (novels, Wiro Sableng) Starring Vino G. Bastian, Yayan Ruhian, Fariz Alfarazi, Ruth Marini, Marsha Timothy, Sherina Munaf, Marcella Zalianty, Teuku Rifnu Wikana, Yusuf Mahardika, Aghniny Haque, Lukman Sardi, Dwi Sasono, Happy Salma, Marcell Siahaan, Andy /rif, Cecep Arif Rahman, Dian Sidik, Yayu Unru, Cuping Topan, Mardi, Habibie, Asta, Hanata Rue Music by Aria Prayogi Cinematography Ipung Rachmat Syaiful Editing by Teguh Raharjo Studio Lifelike Pictures/Fox International Productions Running time 123 minutes Country Indonesia Language Indonesian
suka sama filmnya, …sekalipun ” masih banyak kekurangannya…tapi film ini sudah berhasil menampilkan ” bukan film laga indonesia biasa”…saya salut banget buat Mbak Sheila Timothy yang punya passion buat film ini….cuma ya itu banyak yang harus diperbaiki dari sisi cerita dan action scene serta fighting scenennya, style berantemnnya udah ok banget …nampilin gaya silat infonesia …hanya masih terkesan lamban…trus juga adegan dewa tuak dan anggini turun dari pohon masih terkesan ” digantung pakai tali”…harus banyak peratiin film film silat hpngkong dan film marvel buat terbang2 nya….jangan liat film silat hongkong yang halus model chinese crouching tiger…tapi kayaknya silat indonesia tu ke arah yang lebih natural….kungfu cult jet li…,captain america winter soldier….civil war dan avenger infinity war bisa tu jadi referensi action scenenya dan fighting scenenya…dan coba liat berantemnya bourne ultimatum …itu kalo bisa ngemixnya dengan silat Indonesia…pasti jadi srru banget….masih saya harap ada sequelnya nanti dan bisa lebih bagus dari yang pertama…