Review: Dream House (2011)


Cukup sulit untuk menerima kanyataan bahwa Dream House adalah sebuah film yang diarahkan oleh Jim Sheridan, penerima enam kali nominasi Academy Awards, baik sebagai penulis naskah, produser maupun seorang sutradara, yang telah memberikan pecinta film dunia film-film seperti My Left Foot (1989), In the Name of the Father (1993), In America (2003) atau Brothers (2009). Merupakan sebuah psychological thriller pertama yang diarahkan oleh Sheridan, Dream House sama sekali tidak memiliki kedalaman kisah seperti film-film Sheridan sebelumnya – cukup wajar, mungkin, mengingat Sheridan sama sekali tidak terlibat dalam penulisan naskah film ini. Dream House terlihat terlalu familiar untuk mampu memberikan kejutan sebuah thriller berkualitas pada para penontonnya. Diisi dengan rentetan kisah drama yang tidak pernah benar-benar berhasil mampu untuk tampil menarik, Dream House adalah sebuah film yang dipastikan akan begitu cepat menghilang dari ingatan banyak penonton segera seusai mereka selesai menyaksikan film ini.

Dengan naskah cerita yang ditulis oleh David Loucka, Dream House berkisah mengenai pasangan Will (Daniel Craig) dan Libby Atenton (Rachel Weisz) yang bersama kedua puteri mereka, Trish (Taylor Geare) dan Dee Dee (Claire Geare), baru saja pindah ke sebuah rumah sederhana di pinggiran kota. Momen tersebut menjadi salah satu momen paling penting dalam pernikahan Will dan Libby karena bersamaan dengan kepindahan tersebut, Will melepaskan pekerjaannya sebagai seorang editor di sebuah perusahaan percetakan ternama demi mengejar mimpinya untuk dapat menuliskan sebuah novel sekaligus menghabiskan waktu lebih banyak bersama keluarganya. Kebahagiaan kemudian mendatangi kehidupan pasangan Will dan Libby di masa awal kehidupan mereka di rumah tersebut… sampai akhirnya beberapa keanehan mulai terjadi.

Dimulai dengan Dee Dee yang menyaksikan seorang pria asing sedang mengamati rumah mereka hingga sekumpulan remaja yang menjadikan basement rumahnya sebagai sebuah tempat pemujaan, Will mulai mencurigai ada sesuatu yang aneh dalam rumah barunya. Setelah menyelidiki selama beberapa saat, Will akhirnya menemukan fakta bahwa rumah yang baru mereka beli adalah sebuah rumah yang dulunya menjadi lokasi tempat terbunuhnya satu keluarga dengan dugaan bahwa sang suamilah yang telah membunuh isteri dan kedua puterinya. Awalnya, Will berniat menyimpan fakta tersebut dari istrinya, Libby. Namun, setelah keanehan demi keanehan terus menghampiri kehidupan keluarganya, Will akhirnya memberi tahu Libby mengenai apa yang sebenarnya terjadi sekaligus berusaha untuk melindungi keluarganya dari ancaman yang datang kepada mereka.

Percayalah. Plot yang tertulis diatas hanyalah sepenggal dari deretan plot cerita yang coba dihadirkan oleh David Loucka dalam naskah cerita yang ia tuliskan – jika ingin membuka satu plot penting lainnya, Anda dapat dengan mudah mengetahuinya dengan menyaksikan trailer film ini yang entah kenapa, dengan bodohnya, membuka seluruh misteri yang seharusnya menjadi kunci utama dalam menikmati film ini. Pun begitu, plot kisah misteri yang dihadirkan Loucka sendiri dalam Dream House bukanlah suatu hal yang baru. Dan ketika tabir misteri utama Dream House akhirnya dibuka di pertengahan film, di momen itu pula Dream House secara perlahan kehilangan daya tariknya. Notasi penceritaan Dream House sendiri kemudian berubah menjadi drama misteri yang berkaitan dengan masa lalu beberapa karakternya. Diceritakan dengan ritme yang lamban dan penuh dengan lapisan kisah yang kurang esensial, Dream House terlihat sebagai sebuah kereta api yang berjalan dengan begitu santai, dan akhirnya gagal untuk menghantarkan para penumpangnya ke tempat tujuan mereka.

Jelas atraksi utama dari film ini adalah penampilan dari para pemerannya, yang merupakan deratan aktor dan aktris papan atas Hollywood. Sayangnya, tidak satupun diantara Daniel Craig, Rachel Weisz dan Naomi Watts mampu menghadirkan penampilan yang cukup meyakinkan untuk menghidupkan karakter mereka. Well… kesalahan sebenarnya tidak berada pada para jajaran pemeran film ini. Karakterisasi dari para tokoh yang dihadirkan di dalam jalan cerita Dream House harus diakui terasa begitu dangkal dan tanpa kehadiran pola penceritaan yang tepat. Karakter-karakter pendukung yang hadir di sepanjang film ini juga sama tidak berartinya. Loucka seringkali secara tiba-tiba menghadirkan pengisahan seorang karakter namun kemudian menghilangkannya untuk kemudian memegang sebuah peranan penting dalam satu adegan berikutnya. Jelas sedikit mengesalkan melihat talenta-talenta yang mendukung film ini terbuang dengan percuma.

Dangkal, lamban dan hadir hampir sama sekali tanpa keberadaan jalinan kisah yang mampu menawarkan ikatan emosional yang berarti – kecuali adegan akhir film yang harus diakui cukup mampu tampil menyentuh – Dream House jelas adalah sebuah produk yang dapat dikategorikan sebagai produk yang gagal. Naskah cerita film ini terlalu bergantung pada deretan plot cerita yang terlalu familiar untuk mampu menghadirkan sebuah kejutan pada penontonnya yang kemudian diperumit dengan beberapa kisah misteri yang sayangnya juga gagal untuk mampu tampil menarik. Pengarahan dari Jim Sheridan sekaligus penampilan para pengisi departemen akting film ini juga terasa begitu dingin dan jauh dari berkesan. Murni adalah sebuah kegagalan.

popcorn-half

Dream House (Cliffjack Motion Pictures/Morgan Creek Productions, 2011)

Dream House (2011)

Directed by Jim Sheridan Produced by James G. Robinson, David C. Robinson, Daniel Bobker, Ehren Kruger Written by David Loucka Starring Daniel Craig, Rachel Weisz, Naomi Watts, Marton Csokas, Claire Geare, Taylor Geare, Rachel Fox, Mark Wilson, Jonathan Potts, Lynne Griffin, Elias Koteas, Gregory Smith, Chris Owens, Jane Alexander,  Sarah Gadon,  Marlee Otto, Joe Pingue, David Huband, James Collins Music by John Debney Cinematography Caleb Deschanel Editing by Barbara Tulliver Studio Cliffjack Motion Pictures/Morgan Creek Productions Running time 92 minutesCountry United States, Canada Language English

3 thoughts on “Review: Dream House (2011)”

  1. kayak nya gak sejelek itu juga deh film ny. lumayan bagus. cukup mempersulit penonton dg menebak2 pelaku nya. siapa si ini,siapa si itu. kalau saya.. saya kasih nilai tambah setengah lagi pop corn ny.

Leave a Reply