Review: Sympathy for Delicious (2010)


Dean O’Dwyer atau yang lebih dikenal sebagai Delicious D (Christopher Thornton) telah merasakan depresi di sepanjang hidupnya karena kelumpuhan yang ia alami. Berbagai cara untuk menyembuhkan kelumpuhan tersebut telah ia coba, termasuk dengan mendatangi pertemuan keagamaan yang dihadiri para faith healer yang mengaku dapat menyembuhkan berbagai jenis penyakit – walaupun ia sama sekali tidak percaya dengan keberadaan Tuhan maupun adanya keajaiban yang dapat saja terjadi dalam hidup. Namun, tak satupun cara pengobatan yang ia tempuh mampu mengeluarkannya dari kursi roda di mana ia hidup di kesehariannya.

Tuhan sepertinya ingin menunjukkan keberadaannya pada Dean. Suaru hari, secara tidak sengaja, sentuhan Dean berhasil menyembuhkan penyakit salah seorang sahabatnya yang semenjak lama menderita sakit. Beredar dari mulut ke mulut, kemampuan Dean akhirnya menyebar ke banyak orang. Father Joe (Mark Ruffalo), yang selama ini merawat Dean, kemudian mulai menyadarkan Dean bahwa kemampuan tersebut adalah berkah dari Tuhan dan harus dimanfaatkan untuk membantu banyak orang. Dean setuju dan kemudian mengikuti saran Father Joe. Walau begitu, Dean ternyata tidak dapat memanfaatkan keajaiban yang ia miliki untuk mengobati dirinya sendiri. Penat melihat setiap orang selain dirinya dapat sembuh dari penyakit mereka, Dean akhirnya memilih untuk mengkomersialkan kemampuannya dengan bergabung bersama sebuah band yaang dipimpin oleh Stain (Orlando Bloom) walau tidak mendapat persetujuan dari Father Joe.

Naskah yang ditulis oleh Thornton – sahabat Ruffalo yang dalam kehidupan nyata juga merupakan seorang penderita lumpuh akibat sebuah kecelakaan yang ia miliki – sebenarnya memiliki premis yang cukup menarik. Berbicara soal keberadaan Tuhan dan keajaiban, Sympathy for Delicious nyatanya bukanlah sebuah film yang ditujukan untuk pangsa pasar penggemar film-film bertema relijius dengan keberadaan banyak adegan yang ‘menentang aturan agama’ berada di dalamnya. Sayangnya, keberanian Thornton untuk melawan arus tersebut justru yang juga menjai titik lemah bagi film ini ketika Thornton gagal untuk mengembangkan setiap intrik cerita yang ada di dalam Sympathy for Delicious menjadi lebih menarik.

Karakter Father Joe sendiri mengambil bagian cerita yang hampir sebesar bagian cerita yang dimiliki oleh karakter Dean. Sayangnya, naskah cerita tidak pernah memberikan penggalian karakter yang lebih dalam terhadap Father Joe. Kisahnya yang mengawal Dean untuk menjadi penyembuh orang-orang yang memiliki penyakit untuk kemudian mengutip sedikit sumbangan untuk gereja dihadirkan hanya sebagai intrik pelengkap tanpa pernah memberikan keterangan yang jelas mengenai apa motif Father Joe sebenarnya. Bumbu-bumbu romansa yang sedikit dihadirkan antara karakter Dean dan rekan di band-nya, Ariel Lee (Juliette Lewis), juga tak pernah kunjung berhasil untuk ditampilkan dengan sentuhan yang menarik. Hasilnya, Sympathy for Delicious lebih sering menawarkan banyak intrik menarik tanpa sanggup untuk menggalinya lebih dalam lagi.

Sebagai salah satu aktor yang cukup memiliki nama atas talenta yang ia miliki, rasanya tidak mengherankan untuk melihat banyak nama-nama populer Hollywood yang kemudian mendukung Mark Ruffalo dalam debut pengarahannya. Dan hal tersebut berdampak cukup baik pada kesolidan departemen akting Sympathy for Delicious. Mulai dari Orlando Bloom, Juliette Lewis, Laura Linney hingga Noah Emmerich memberikan penampilan yang cukup meyakinkan untuk karakter yang mereka perankan. Di bangku aktor utama, walau memiliki nama yang kurang populer dari jajaran pemeran lainnya, Christopher Thornton juga tampil sama meyakinkannya dan mampu membawakan Sympathy for Delicious dengan sangat baik.

Masalah terbesar dari Sympathy for Delicious – film yang menandai kali pertama Mark Ruffalo duduk di kursi sutradara dan mengarahkan rekan-rekan aktor dan aktrisnya – adalah naskah film ini seperti terlalu berhasrat untuk menyampaikan sesuatu hal yang lebih besar dari kapasitas yang sebenarnya dimiliki oleh naskah cerita tersebut. Menyinggung berbagai hal yang berkaitan dengan kepercayaan seseorang terhadap keberadaan Tuhan serta adanya keajaiban dalam hidup, Ruffalo mampu membuktikan bahwa ia memiliki bakat yang cukup baik dalam mengarahkan para aktornya, namun ia juga membutuhkan sebuah material yang memiliki penceritaan yang lebih mendalam untuk membuktikan bakat pengarahan ceritanya. Sympathy for Delicious sama sekali bukanlah karya yang buruk. Film ini hanya kekurangan banyak daya tarik yang dapat membuat paraa penontonnya bertahan di sepanjang 96 menit masa penceritaannya.

Sympathy for Delicious (Corner Store Entertainment/Super Crispy Entertainment/Volume One Entertainment, 2010)

Sympathy for Delicious (2010)

Directed by Mark Ruffalo Produced by Mark Ruffalo, Matt Weaver, Andrea Sperling, Scott Prisand, Christopher Thornton Written by Christopher Thornton Starring Christopher Thornton, Mark Ruffalo, Juliette Lewis, Laura Linney, Orlando Bloom, Noah Emmerich, John Carroll Lynch Cinematography Chris Norr Editing by Pete Beaudreau Studio Corner Store Entertainment/Super Crispy Entertainment/Volume One Entertainment Running time 96 minutes Country United States Language English

2 thoughts on “Review: Sympathy for Delicious (2010)”

  1. Malam paman amir, sorry ganggu.. 😀

    ikutan Blog Award di sigilahoror.com yuk…ada dua kategori Blog Favorit dan Desain Blog Terbaik… yang menang nanti bakalan dapat hadiah DVD Original lho…

    caranya klik aja Banner Daftar di blog gw…

    ditunggu yah sampai tanggal 21 Agustus ini..

    Thanks

    1. Walahhh… ternyata masih buka yah? Kirain kemaren pendaftarannya udah tutup. Telat mendaftar! Baiklah! Segera mendaftar!

Leave a Reply