Review: Eat Pray Love (2010)


Eat Pray Love dibuka dengan adegan dimana Elizabeth Gilbert (Julia Roberts) yang dalam perjalanan tugasnya ke Bali, berjumpa dengan seorang pria tua, Ketut Liyer (Hadi Subiyanto), yang kemudian memberikannya sedikit ramalan mengenai kehidupannya di masa yang akan datang: ia akan memiliki dua pernikahan, kehilangan seluruh uangnya dan untuk kemudian akan kembali ke Bali untuk bertemu kembali dengan pria tua tersebut. Adegan sepanjang 10 menit ini menggambarkan seluruh kejadian yang dialami Elizabeth di sepanjang film Eat Pray Love. Namun, seperti halnya buku memoir yang menjadi asal naskah cerita film ini, Eat Pray Love bukanlah sebuah film yang hanya disaksikan untuk menyimak kisah perjalanan Elizabeth. Eat Pray Love dibuat agar penonton dapat merasakan pengalaman perjalanan yang sama seperti yang dialami Elizabeth.

Disutradarai oleh Ryan Murphy – yang sebelumnya telah popular lewat arahannya untuk serial televisi musikal, GleeEat Pray Love adalah film yang diadaptasi dari memoir laris karya penulis Elizabeth Gilbert yang berjudul Eat Pray Love: One Woman’s Search for Everything Across Italy, India and Indonesia yang dirilis pada tahun 2006 lalu dan berhasil bertahan dalam daftar buku terlaris The New York Times selama 187 minggu. Proses pembuatannya sendiri, yang salah satu diantaranya dilakukan di Bali, sempat menjadi pemberitaan hangat di Indonesia. Tidak mengherankan jika kemudian film ini menjadi salah satu film asing yang paling ditunggu masa rilisnya di sini.

Memusatkan kisahnya pada karakter Elizabeth Gilbert, Elizabeth sendiri merupakan seorang penulis wanita berusia 32 tahun yang kalau dilihat dari luar, telah memiliki segala hal yang dapat diimpikan seluruh wanita seusianya: karir, materi hingga suami yang menyayanginya. Namun entah mengapa, ada sesuatu hal yang dirasakan Elizabeth hilang dari dirinya, kebahagiaan hati. Ini yang membuat Elizabeth sering merasa galau dan akhirnya memutuskan untuk mengakhiri pernikahannya dengan sang suami, Steven (Billy Crudup). Elizabeth kemudian melakukan perjalanan pribadi selama setahun yang kemudian dibagi dalam tiga segmen seperti yang dituliskan judulnya, Eat Pray Love.

Kisah perjalanan tersebut dimulai di Italia, dimana Elizabeth selama empat bulan menghabiskan waktunya untuk menikmati berbagai sajian lezat yang terdapat di negara Menara Pisa tersebut. Empat bulan kedua Elizabeth habiskan di India, dimana Elizabeth diceritakan berusaha menumbuhkan kembali kedekatan dirinya dengan Tuhan. Bali, Indonesia, adalah tempat dimana Elizabeth merencanakan untuk mengakhiri perjalanannya. Tujuan awal Elizabeth sendiri ke kota tersebut sebenarnya untuk menemui kembali Ketut Liyer yang pernah ditemuinya dahulu ketika ia berwisata ke Bali. Namun, setibanya di Bali, Elizabeth malah bertemu dengan seorang pria yang secara perlahan berhasil memberikannya kesempatan untuk kembali percaya pada keberadaan cinta.

Bagi sebagian orang, sikap Elizabeth yang dengan begitu saja meninggalkan kehidupannya – termasuk dengan menceraikan suaminya — karena kegalauan hati dan kebahagiaan diri sendiri mungkin dipandang sebagai sesuatu hal yang egois. Di sinilah posisi Julia Roberts sangat penting untuk tetap mempertahankan karakter Elizabeth Gilbert sebagai sebuah karakter protagonis yang mudah untuk disukai.

Harus diakui, selain dikenal sebagai salah satu aktris tercantik di Hollywood, Roberts selalu berhasil untuk mempertahankan karisma dirinya untuk kemudian menjadikan karakter yang ia perankan menjadi sama menariknya dengan kepribadian dirinya. Hal ini tidak terkecuali pada apa yang dilakukan Roberts kepada karakter Elizabeth Gilbert. Lewat perantaraan Roberts, karakter Elizabeth mampu terlihat rapuh pada awalnya, namun secara perlahan mulai menemukan kekuatannya dan terlihat semakin kuat di akhir cerita. Roberts menjadikan karakter Elizabeth yang berpotensi dapat menghilangkan simpati penonton, justru semakin jatuh cinta padanya sepanjang film ini berjalan.

Berjalan selama 133 menit, Eat Pray Love bukanlah sebuah film untuk semua orang, dan hal ini harus diakui karena kekurangan sutradara Ryan Murphy untuk mempertahankan intensitas setiap segmen cerita di film ini. Dalam setiap pembagian ceritanya, Eat Pray Love sebenarnya berhasil menjadi sebuah film yang cukup menarik. Namun entah mengapa, setelah beberapa lama dan seiring dengan penambahan detil cerita, setiap segmen kemudian berubah menjadi cenderung membosankan. Sialnya, bagian Love, yang seharusnya menjadi bagian istimewa karena pengisahan karakter Elizabeth yang bertemu kekasih hatinya, justru menjadi bagian yang paling lemah jika dibandingkan dengan dua bagian lagian.

Tidak ada yang salah dengan Bali – Robert Richardson sebagai sang sinematografer berhasil memberikan gambaran yang sangat indah tentang Bali maupun lokasi-lokasi lainnya. Kisah percintaan Elizabeth-lah yang menjadi masalahnya. Kisah cintanya dengan Felipe (Javier Bardem) berjalan kurang menarik. Ini semakin diperburuk dengan kurangnya jalinan chemistry yang terjalin antara Roberts dan Bardem. Roberts malah terkesan lebih pas jika disandingkan dengan Richard Jenkins, yang memerankan karakter Richard ketika karakter Elizabeth berada di India. Untungnya, segmen Love masih memiliki sesosok karakter yang hidup seperti karakter Ketut Liyer. Lewat kemampuan akting Hadi Subiyanto, karakter Ketut Liyer menjadi sangat hidup, lucu dan sukses menjadi pemanis di film ini.

Selain Julia Roberts, Eat Pray Love masih didukung kemampuan akting yang mumpuni dari aktor dan aktris pendukungnya. Nama-nama seperti Richard Jenkins, Javier Bardem, Viola Davis, James Franco, Billy Crudup hingga Christine Hakim berhasil membuat perjalanan dalam menyimak kisah Elizabeth Gilbert menjadi cukup dapat dinikmati. Kisah cerita yang coba dibawakan oleh film ini sendiri juga cukup mampu tersampaikan dengan baik. Pada beberapa bagian, Eat Pray Love bahkan berhasil menjadi sebuah film yang inspirasional lewat dialog-dialog yang dihadirkan. Berhasil memberikan sebuah pengalaman tersendiri bagi mereka yang memang pernah atau sedang berada di posisi yang sama dengan karakter Elizabeth Gilbert.

Untuk sebuah film yang memuat kisah spiritualitas yang cukup berisi, Eat Pray Love harus diakui berhasil melakukan tugasnya dengan baik. Kelemahan film ini murni terletak pada kegagalan Ryan Murphy sebagai seorang sutradara untuk mempertahankan intensitas cerita di sepanjang film. Durasi yang panjang akibat adanya beberapa penambahan detil di sepanjang cerita juga menjadi faktor yang membuat intensitas cerita menjadi kurang terjaga dengan baik, khususnya di segmen akhir film ini. Untungnya Eat Pray Love memiliki jajaran pemeran yang cukup berkualitas. Julia Roberts menjadi nyawa utama film ini dan berhasil memberikan daya tarik yang sangat kuat terhadap karakter yang ia mainkan. Tidak istimewa, namun ditambah dengan berbagai pilihan gambar yang sangat mempesona mata, Eat Pray Love menjadi sebuah perjalanan yang cukup layak untuk disimak kisahnya.

Rating: 3.5 / 5

Eat Pray Love (Plan B Entertainment/Columbia Pictures, 2010)

Eat Pray Love (2010)

Directed by Ryan Murphy Produced by Brad Pitt, Dede Gardner, Jeremy Kleiner, Julia Roberts, Stan Wlodkowski, Tabrez Noorani Written by Ryan Murphy, Jennifer Salt (screenplay) Elizabeth Gilbert (novel) Starring Julia Roberts, Billy Crudup, James Franco, Javier Bardem, Viola Davis, Richard Jenkins, Christine Hakim, Hadi Subiyanto, Sophie Thompson, El Hadji Diouf, David Lyons, Tuva Novotny Music by Dario Marianelli Cinematography Robert Richardson Editing by Bradley Buecker Studio Plan B Entertainment Distributed by Columbia Pictures Running time 133 minutes Country United States Language English, Italian, Hindi, Indonesian

4 thoughts on “Review: Eat Pray Love (2010)”

  1. Eat, Pray, Love menurut saya adalah produk gagal. Bagi yang pernah terpesona dengan novelnya, jangan berharap banyak. Anda akan sangat menyesal menontonnya. Mungkin dapat saya istiliahkan film ini sebagai film serba salah. Dari sisi drama comedy, sama sekali kering. Dari sisi romance, juga begitu… sangat miskin emosi dan chemistry antar pemain yang seakan tidak nyambung. Kalau kita ingin menggali sisi filsafat juga sangat lemah dan hambar. Jadi penonton akan bingung ingin menikmati EPL sebagai apa. Akhirnya penonton akan terjebak dalam kebosanan yang cukup panjang selama menonton film ini, dan bahkan ada sedikit kelegaan ketika film ini berakhir. Penonton dengan harapan yang terlalu tinggi, akan kecewa dengan film ini.

  2. Ho oh… Gue juga kecewa sama film ini. Cuman pengen lihat Bali & Christine Hakim goes to Hollywood aja. Tapi kenyataannya, menurut gue representasi kultur Bali-nya kurang menonjol. Selebihnya gue baru tahu kalo di Amrik kayaknya kagak ada buah rambutan ye? Tuh buktinya Julia Roberts asing banget ama buah itu hehehehe…

Leave a Reply